Asilum : Part 2



(Sebelumnya baca : Part 1)

Aku tidak pernah merasa terikat dengan pasien pasien di bangsal ini. Setiap siang, aku menempati kursiku yang berada dua-tiga baris di pojokan tanpa menggubris sekelilingku. Tanpa menghiraukan mereka yang berteriak hingga telingaku pekak. Ada beberapa pasien yang bisa aku anggap teman, walau kami tidak pernah bercakap.

Laki laki yang selalu menunjuk dan menatap ke arah semburat kotoran burung di atap kaca itu ternyata adalah bekas pengusaha yang pernah kaya raya dari Surabaya. Sekarang bangkut dan menengadah kearah langit. Berharap Tuhan menjatuhkan kepalan rupiah ke lantai bumi. 

Marjorie berasal dari Sydney. Sebelas tahun silam, ia adalah seorang peselancar professional berumur 29 tahun. Bagi seseorang yang mencari sesuap nasi dari hobinya, Marjorie adalah pribad yang penuh pencapaian, tidak terkecuali kehidupan pribadinya. Malam itu, tanggal 12 Oktober 2002, Marjorie tidak tahu bahwa sang kekasih menyembunyikan sekotak cincin di balik punggungnya. Ia juga tidak sadar, bahwa detik setelahnya, punggung sang kekasih akan melebur. Yang tersisa dari malam itu hanyalah cincin bermata berlian dan safir biru berkarat darah pekat. Marjorie masih kenakan di jari manis setiap kali aku bertemu dengannya. Saat entah bertemu di lorong kamar atau di ruang makan, saat ia menghadap piringnya yang selalu kosong. Pengasuh bilang semenjak kejadian di Poppies ia enggan makan. Sekalian dan sebetulnya, enggan untuk hidup.

Sedangkan gadis manis yang tidak berhenti menggeliat, aku tidak tahu namanya. Hanya saja aku tahu kenapa ia harus senantiasa dibius. Dibius oleh para pengasuh wanita saja. Aku mengetahui bahwa gadis ini pernah dilecehkan oleh sepupunya. Semenjak itu, ia merasa risih dengan keberadaan laki laki. Baik yang berusaha mendekatinya sebagai teman, teman yang lebih dekat lagi atau beberapa laki laki yang pikirannya sedikit belang yang mengajaknya lebih intim. Namun, bukan pelecehan yang membuat dirinya dikirim di asilum. Pelecehan itu sudah ia kubur dalam dalam, lebih kurang separuh umur hidupnya yang baru dua puluh. Kewarasan itu habis setelah keluarganya mengetahui hubungan gelap gadis ini dengan pacarnya--ya, pacarnya yang seorang perempuan juga.

Aku duduk disini sambil mengunyah apelku yang tinggal separuh. Aku sadar bahwa hidupku tidak pernah dikelilingi oleh orang yang begini menarik. Dulu hidupku hanyalah berkisar di balik meja kerja atau diatas ranjang sendiri menyepi, ditengah ditengahnya adalah kereta komuter. Memang aku berada ditempat yang orang anggap penuh dengan depresi, tapi aku tidak pernah salah lagi. Aku ditempat sebetulnya dimana orang berada. Tempat yang penuh dengan cerita. Maka dari itu, aku bersyukur.

Diantara cerita cerita yang aku temui disini, dibandingkan cerita hidupku sendiri, adalah cerita dia yang membuatku setengah mati penasaran.

Dia, pria asing yang berpuluh puluh senti tingginya menjulang dari tubuhku. Mungkin ada satu kaki selisih tinggi badan kami. Pria itu entah hilang kemana. Sudah dua minggu. Dua minggu aku berjumpa dengannya lalu kemudian ia menghilang. Dua minggu. Takut takut aku simpulkan, mungkin saja aku sedikit rindu. Meski aku merangkum keberadaanya begitu singkat. Sangat singkat, bahkan perjumpaan kami tidak layak disebut sebagai kenangan. Kenangan yang baik setidaknya. Hanya bola bekel di dadanya dan kaki panjangnya yang menjuntai dari bibir sofa. Mungkin saja aku terobsesi. Mungkin saja aku memang gila.

Sesudah makan siang, aku bawa diriku menuju ruang tengah. Menghadap lembar lembar yang merayu minta aku rayapi sekujurnya dengan tulisan. Tapi kertas kertas itu melolong kearahku. Hampa. Semenjak dua minggu. Selama itu pula, aku menghabiskan hariku dengan tidur siang yang panjang.

Tidurku memang panjang, tapi tidak pernah lelap. Aku berbaring ke satu sisi, kemudian sisi yang lain. Nafasku seakan tercekat, alih alih kamar tidurku yang lapang. Malam itu aku putuskan untuk keluar saja, mencari angin.

Para pengasuh tahu kondisiku dan beberapa pasien lain. Mereka tidak menganggap kami sepenuhnya sebagai pasien. Sebagai tamu lebih tepatnya. Tapi tidak bisa leluasa seperti tamu kebanyakan-ah, aku juga tidak paham. Mungkin aku memahaminya seperti keadaan seorang gadis remaja yang baru tumbuh dewasa, yang baru diberikan kepercayaan oleh orang tua untuk keluar malam minggu bersama teman temannya. Asal jangan pulang melebihi pukul sembilan malam. Begitulah.

Seperti malam kebanyakan. Lorong yang aku susuri nampak sunyi. Hanya beberapa pengasuh yang mondar mandir yang nampak acuh, meski mereka sadar akan keberadaanku. Aku menyusuri jalan setapak diujung lorong. Dimana hutan lindung itu berada. Hutan yang sama mengitari gelas kaca ruang makan kami.

Aku tegak diantaranya. Diantara pohon pohon yang menjulang. Mereka melindungiku rindang. Sampai aku menyadari, aku tidak sendirian. Ada seseorang yang menyertaiku. Bulu romaku bergidik.

Sosok hitam tampil disebelahku. Tidak ada sehelai rambut pun yang menyisiri kepalanya. Bayangan itu nampak menengadah. Kemudian bergerak, dadanya, seiring dengan tarikan nafas. Manusia, kah?

Ia tidak menyadari, bahwa keberadaannya sedang ku awasi. Akankah ia mengawasiku juga? Apapun itu, aku tidak merasa khawatir. Karena, aku tidak merasa dia asing. Begitu setelah aku pandangi. Selisih tinggi badan kami tidaklah jauh. Satu kaki.

Mungkin, keberadaanku sedikit mengusik. Maka, ia berusaha menjauh setelah ia mempelajari gerak bayangku. Bagaimana ia bisa salah. Aku adalah pasien yang termungil di asilum ini. Rambutku panjang sebahu dan poniku jatuh tebal nyaris menutupi alis mataku. Tidak ada yang menyerupaiku disini, dan tiga hari yang lalu kita sempat bertemu. Bukan pertemuan yang baik, tapi memberi bekas.

Mungkin, itu adalah hal yang menyebabkannya untuk menghidar, setelah aku berteriak, "Hei--" aku tidak tahu namanya, aku tidak tahu siapa dia. Namun, ia sudah menghilang dan meninggalkanku sendirian di jalan setapak ini. Sendirian menengadah kearah pohon pohon yang memayungi kami berdua.

Bisakah dia aku kirimi salam?

...

Aku bangun lagi dari tidurku. Untuk yang kesekian kalinya. Diatas sofa yang sama berlapiskan kain batik biru tipis. Aku tidak merasa dingin, karena hari itu sudah terlanjur petang. Matahari sudah berada diufuknya. Beginilah aku. Aku tidak pernah bangun lebih telat dari jam lima subuh. Karena, aku percaya semua yang aku lakukan hari ini, sekecil apa pun, setepat apa pun, akan menghasilkan sesuatu. Ada yang mengingatkanku, bahwa setiap hari, aku patut berjuang tanpa meminta balasan. Ketika aku tatapi jam dinding yang bertengger di pucuk arah pandangku. Sudah pukul dua belas siang.

Kepalaku terasa dipelintir. Perlahan aku turunkan kedua kakiku ke atas lantai, kemudian aku tatapi saja.

Sekelibat, aku menyadari sesuatu. Aku tegakkan pandanganku ke depan. Mesin tik ku tidak berada di ditempatnya. Sontak aku panik. Aku remas kain batikku dan aku membantingkan bantalan kursi, seolahnya mesin tik dapat bersembunyi di tempat seminim itu.

"Pagi," aku dengar suara memanggilku. Aku menoleh ke sumber suaranya. Dan disitu, ia duduk di kursi sebelah tanpa sempat aku gubris. Rambut cokelatnya kini dipangkas tipis nyaris menyentuh kulit kepalanya. Ia mengenakan kaus tanpa kerah berbahan katun, yang nampak nyaman dikenakan. Dan celana tiga perempat berwarna cokelat muda. Ada tasbih, atau kalung serupa yang bergantung dilehernya. Mesin tik ku berada di pangkuannya dan beberapa tumpuk kertas berada di meja kopi.

Aku raih kertas kertas tersebut. Entah sudah berapa lama ia duduk disana, tapi ada 10 lembar kertas ditanganku dan aku baca satu satu.

Aku tidak tahu apa yang mesti aku jawab untuk ini, tapi aku setengah berbisik, "Maaf--"
"Maaf, untuk apa?"
"Untuk tiga hari ini."
Ia tersenyum, "Saya tidak paham."

Setelah kejadian itu kau menghilang dua minggu, batinku. Selanjutnya aku kehabisan kata kata. Kertas itu masih berada di genggamanku.

"Saya tidak bisa membuat tulisan secantik tulisanmu, tapi setidaknya saya mencoba. Saya begitu penasaran tentang kelanjutannya dan sedikit sakit hati ketika kamu berhenti menulis."

Aku hanya memandanginya tanpa berkata kata. Perasaanku berkecamuk, tapi yang aku rasakan nyaris sepenuhnya hanya geram. Setidaknya sampai ketika ia mengulurkan tangan. Bukan untuk berdamai, tapi untuk menyebutkan nama. Seperti tanda permisi.

"Mikhail," sapanya begitu.

Comments

Popular Posts