Asilum : Part 6



Sebelumnya baca part 5

Jejak kakiku menapak dan membalap jalan setapak ditengah belukar ini. Setelah setengah jam aku mencari, aku tidak menemukan Mikhail di dalam asilum. Pikiranku tertuju kemari. Kesini. Kemana lagi selain pondok tempat kami berlari. Baru pertama kali, aku kunjungi tapi rasanya sangat familiar. Kakiku bergerak dengan sadarnya sendiri, tanpa perlu aku perintah ragu. Makin dekat instingku, aku makin membalap. Walau aku sadar, jalan setapak ini tidak akan pernah bergerak.

Kosong.

Pondok di depanku kosong. Lampu lampu tidak menyala. Sudah aku tebak, tidak semudah itu menemukan Mikhail.  

Kini, kakiku tidak tahu lagi akan bergerak kemana. Rupanya kita berdiri di garis akhir yang salah. Aku menghadap hamparan hutan yang berdiri dibelakang pondok. Hutan yang tadi pagi aku pertanyakan. Apa mungkin Mikhail berada di dalam sana?

Dengan yakin, aku bergerak lagi maju. Semakin ke depan aku bergerak, makin banyak ranting liar yang menelisik lenganku. Langkahku satu satu, karena jalan setapak itu dijalari rumput liar. Hutan ini kian mengepungku, tapi aku tetap bergerak. Walau rasanya langkahku makin tercekik. Aku kubur dalam dalam rasa panik.

Kakiku lemas saat aku mendengar bunyi yang menelisik dari balik semak. Saat itu aku berhenti bergerak. Mematuhi bahasa yang terdengar disekitarku. Terdengar bunyi yang riuh dan melengking. Seperti suara binatang. Suara perut yang bergemuruh,

Kemudian tawa.

Tawa.

Rupanya hanya sekumpulan manusia. Kumpulan yang mengenakan atasan putih dan kain batik dibawahnya. Ada tiga laki laki dan dua perempuan dalam satu lingkaran. Aku mengatur langkahku perlahan untuk keluar, melingkari batangan pohon lebar tempatku bersembunyi. 

Aku keluar dan berada di jarak pandang mereka. Kalau jeli, mereka bisa mendapatiku sekarang di samping belukar. Dari kejauhan, mereka nampak duduk berkeliling kepada satu sumbu. Aku putar lagi langkahku untuk mengetahui apa yang berada ditengah-tengah itu.

Bong.

Sebuah bong dengan pipa yang mereka hisap bergantian. Aku tidak tahu apa yang berada di dalamnya. Mungkin saja ganja, yang masih lumrah. Tapi apa pun itu, tetap saja isi bong tersebut membuat mereka tidak sadar diri. Ada yang tertawa, ada yang bergelayutan di bahu satu sama lain.

Baru saat aku memutuskan untuk kabur dan bergerak kebelakang. Bahuku ditarik. Jantungku berhenti berdegup untuk sesaat. Kemudian, bergerak lagi memompa. Aku kini kembali berada di belakang semak dengan Mikhail yang meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.

Mikhail menuntun langkahku tanpa berisik hingga kami keluar dari hutan belukar. Kemudian kami bergerak masuk ke dalam dan duduk berhadapan dan bersila di ruang tengah.

"Did you know about all that?" tunjukku keluar, tak tahu kearah mana, yang jelas aku merujuk kepada kumpulan pengasuh yang mabuk di pekarangan belakang.

"Calm down," ujar Mikhail, yang bukan satu satunya orang yang menyadari bahwa nada suaraku meninggi walau tidak memekik. Namun, semua mata menunju kepadaku. Dibuat aku canggung. "Yes, I know. That's why they let me set up the hut." lanjut Mikhail.

Kata kata hendak tergelincir dari lidahku namun tertahan. "Wha-- are you having a deal with them"
"It has been a long time--"
"Why do you need a freaking hut in the middle of nowhere?" sambungku makin lantang
"Well, I need time to think and be alone. I don't like being surrounded by people who screams directly at my ears... and it is not in the middle of nowhere, it is just right there, at the backyard." ia membalasku tak kalah nyaring. Begitu kemudian, kami menyita perhatian pasien lain. Kami disangka gila oleh orang orang ini, yang memelototi kami dengan bibir mereka yang terkunci.

Pandangan mata kami saling mengunci ke satu sama lain. Nafas kami berderu. Jelas, emosi kami melampau dari permasalahan. Tidak perlu dibawa sejauh ini.

"Right at the backyard," aku menggumam ucapannya.
"Somebody seems upset." sindirnya.
"Of course I am,"
"Well, it is their business. Just let them be. Is it about the joint? People smoke joint, ganja, marijuana all the time!" meski lantang ia eja nama barang haram itu, untung saja pasien lain dari tadi sudah menarik muka enggan mengikuti debat kami yang nampaknya tidak menarik.
"I get it. I get it!" aku menyeru sambil membuka kedua telapak tangan ke udara. "These people and their habits are the new normal."

Aku masih mengunci matanya dengan tatapanku. Begitu pula sebaliknya. Hanya saja emosi kami sudah mengendur.

"It is just like.... I felt betrayed." ucapku lesu.
Seakan mencerna perkataanku, ia membalasku dengan nada suara yang lesu namun lebih keprihatin. "Why? Why do you feel so?"
"I don't know," aku mendengar suaraku sendiri yang mulai sengau. Kepalaku menengadah ke langit langit. Aku biarkan lendir di hidungku masuk kembali ke rongganya, agar aku merasa sedikit nyaman. "It is like we are living in a manipulated little world, Mikhail. Everything is not what they seem to be. I have a belief that this asylum is a halfway like heaven. Where we eat nothing but veggie. We don't do violent. We don't kill. It is like everything is sin-free."
"So you think that smoking a joint is a sin,"
"I cannot tell, and... why are you defending marijuana? It is not my point. Are you one of those that wants it to be legalised?"
"Have you tried that before?" ia menyeringai kepadaku.
"Yes," jawabku. "It was okay."
Kemudian Mikhail tertawa lepas, seakan-akan ia baru menghisap marijuana.
"It is not a sin, but it taints everything. I thought some of them are composed, because it is just their nature. But it turns out, it is not. They are just the same as people who are insecure and so depressed to be happy and they do everyway possible to achieve happiness. They do not put any effort. They do not read. They do not sing. But instead they smoke a joint or eating a special brownies!" protesku.
Tiba tiba saja, Mikhail menggapai tanganku dan menjabatnya. "Congrats!"
"What is this for?!" tanyaku setengah protes, tapi tetap saja tidak melepas cengkaram tangannya.
"You learn something today, and I hope you learn more."
"Are you being sarcastic? What do I learn?"
"You said, everything is not what they seem to be." ada ketegasan dari suara Mikhail. "This is just a beginning, child."

Perlahan aku mulai meninggalkan matanya yang mengunciku. Aku mengumbar senyum untuk membalasnya. Tanganku masih berada di genggamannya, dan masih belum terlepas.

Seorang pengasuh menghampiri kami. Ia mengatakan bahwa konsultasiku dengan Dr. Saras dimulai sekarang. Aku mengiyakan. Baru saat itu genggaman tangan Mikhail terlepas dariku. Semua nampak hati hati dan perlahan dimataku, seperti kali terakhir aku mengisap ganja. Detik detik nampak melambat. Aku berdiri dengan kakiku dan memutar badan.

Padahal, aku hafal betul, konsultasiku dengan Dr. Saras dimulai dua jam lagi dan aku bisa menunda.

Tapi aku mengiyakan dan bergerak menjauh dari Mikhail.

...

Perempuan dihadapanku ialah Dr. Saras Boer.

Rambutnya selalu dicepol kebelakang dan menggunakan baju batik dibalik jaket putihnya. Tubuhnya tinggi dan tegap. Warna kulitnya sawo matang sama seperti kebanyakan dari kami, namun matanya menjorok kedalam seperti mata Mikhail. Dr. Saras adalah peranakan Indo-Belanda. Tidak heran.

"Halo, Seruni," sapanya akrab.
"Hai, Dok." balasku.
Ia mempersilahkanku duduk di hadapan meja kerjanya.
"Terimakasih," balasku.

Dr. Saras sedang asyik membersihkan memorabilia perjalanannya. Yang aku ketahui, travelling adalah hobinya.

"Ibu barusan menjenguk?" ia menoleh kepadaku seraya menaruh patung Yesus mini, memorabilia yang terakhir ia letakkan di atas rak. Lalu, ia berjalan ke meja kerjanya dan duduk merebahkan diri ke hadapanku.

"Betul."

"Saya tadi melihat beliau, kalau dilihat lihat kok kamu ga mirip ibu kamu ya?" tanyanya dengan canda, aku pun ikut mengiringi dengan tawa.

"Biasa itu. Dimana-mana, anak perempuan selalu cenderung mengikuti persamaan fisik ayah, sedangkan yang laki laki selalu mirip ibu."

Dr. Saras memanggut mengikuti perkataanku. "Kata ibumu, ia senang melihat perkembangan kamu selama disini." tambahnya.

"Betul?"

Dr. Saras mengangguk. "Dan kami juga mendukung perkataan Bu Sekar. Saya juga mendapati interaksi sosial kamu makin membaik. Kamu sudah mencoba bergaul."

Aku merasakan bahwa Dr. Saras merujuk kepada Mikhail. Satu satunya teman akrabku di asilum.

"Oleh karena itu, mulai besok. Kamu bisa pulang dari asilum."

Aku terperanjat. Ketika badanku tegak, kursi yang aku duduki tertolak ke belakang. Aku dibuat tidak berkata kata. Dan aku bisa membaca bagaimana wajahku berekspresi dari wajah Dr. Saras. Panik dan tertekan.

"Seruni," panggilnya.
Aku menyisir rambutku ke belakang gugup. "Ya." jawabku.
"Kamu baik baik saja?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Saya masih butuh waktu yang lebih lama di asilum ini."
"Untuk apa?"
"Boleh saya bertahan lebih lama?" tanyaku

Dr. Saras bergerak dari kursinya dan mendekat kearahku. Kedua tangannya melekat dibahuku. "Saya tahu kamu gugup. Tapi, saya bisa pastikan bahwa kamu sudah siap, Seruni. Kamu adalah salah satu tamu istimewa yang saya punya. Dan, kamu berbeda diantara pasien saya yang benar benar... berbeda. Sebetulnya, dari awal kamu tidak perlu berada disini karena kamu seharusnya berada diluar sana. Saya hanya memberi kesempatan kamu untuk berfikir dan menenangkan jiwa disini. Dan, saatnya kamu pulang."

Kedua tangan itu kini merangkul kedua pipiku. Gurat gurat wajah Dr. Saras nampak jelas begitu juga kemilau hijau matanya yang menerawang.

"Dokter, saya hanya punya satu pertanyaan."
"Apa?"
"Will I learn more out there?"
"What do you mean,"

Terus aku membisu, menyadari pertanyaanku yang bodoh. "Nothing, tidak ada apa apa."

Saatnya aku keluar dari ruangan Dr. Saras dan mengucap terimakasih. Begitu seterusnya aku membalikkan badan, sebelum aku lupa aku menyampaikan sebuah pertanyaan.

"Dok, apa asilum ini menggunakan barang narkotika sebagai obat terapi?"
"Marijuana," jawabnya datar, "bukan narkotika tapi psikoterapi, jangan salah. Kenapa?"
Aku membundarkan mulut dan melafalkan, "O"
"Kenapa?" ulang Dokter Saras.
"Backyard," ucapku. "Check your backyard," kemudian aku menutup pintu sambil berlalu.

Comments

Popular Posts