Asilum : Part 4


(Sebelumnya baca Part 3)


"Ladies first,"

Begitu kata Mikhail saat ia meminta diri keluar dari taman. Aku tidak tahu apakah ucapannya boleh aku pegang. Karena separuh siang hari itu aku habis kan menunggu di bangku meja makan. Aku sengaja mengasingkan diri dari teman satu mejaku. Sang mantan pengusaha, Marjorie dan si gadis lesbian itu. Ruang kosong didepanku sengaja aku sisakan untuk Mikhail. Yang mungkin saja, menangkapku lewat ekor matanya. Yang mungkin, akan duduk di depanku dan  memulai bualan saat makan siang. Mungkin ia akan mengeluh rebusan kentang ini terlalu matang, atau ada serutan daging asap yang tercampur di dalam saladnya. Kemudian, ia akan melepihkan santapannya dihadapanku. Dan aku akan menyerngit, jijik.

Tapi itu semua mungkin, kalau ia menyertaiku siang ini.

Sementara aku hanya menelan omong kosongnya di meja makan. Meski aku ingat Mikhail tidak pernah berjanji kepadaku. Ia tidak berjanji untuk menemuiku saat makan siang. Hanya saja, rasanya lebih baik untuk bertemu dengannya. Ada cerita yang hampir berhasil dia keruk. Bongkahan kisah yang aku kubur dan tidak tergali. Bukan aku yang melarang manusia untuk menggali. Hanya saja tidak ada yang mau bersedia dan sanggup. Tidak ada yang mau tahu. Kini, cerita itu sudah terangkat dan bertengger diujung lidah. Berat untuk aku tahan, seperti bandul yang melekat kepada jalinan tali yang tinggal rapuh seutas. Perlahan akan jatuh bebas ke lantai. Dan dia berjanji akan berada di dasarnya, menangkap semua yang jatuh. Ah, aku terlalu puitis nampaknya.

Piringku siang itu sama kosongnya dengan Marjorie. Ia bahkan membelalak menatapku heran. Aku berlalu dari meja makan dan melanjutkan tidurku. Tidur siangku yang panjang, tidak tahu mau bangun sampai kapan.

Lelapku tersapu begitu aku rasakan guncangan dipundakku. Dari celah jendela, matahari tidak lagi  timbul melainkan terkubur. Mikhail meraih pundakku.

"You, sleepyhead." candanya begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata. Belum sempat aku bangun dengan sempurna, ia sudah menyeret lenganku. Kepalaku pusing. Darahku berdesir hingga ke ubun ubunku, dan lenganku berada di cengkraman Mikhail yang kukuh. Telapak tangannya terasa kasar di kulitku. Entah kemana dia akan membawaku. Aku ikuti punggung yang bergerak di depanku. Masih aku pertanyakan kenapa ia memangkas rambut cokelat bergelombangnya itu. Tapi aku tidak keberatan.

"Do you know when you sleep too much, your body will expand?" ujarnya setelah ia melepaskan lenganku. Kini kami berada di jalan setapak yang melingkari hutan lindung asilum.

Aku mengikutinya dari belakang, lalu mencoba mengejar langkahnya yang panjang panjang sambil meletakkan kedua tanganku diatas pinggang. "Do you know that it is extremely rude to comment about a woman's body? Especially if she is your recent acquaintance." kemudian, aku biarkan ia melangkah lebih jauh. "You know what, you are rude, Mikhail."

Aku biarkan ia terus melangkah sampai ia membalikkan badan. Mungkin ia sadar jarak kami makin berjauhan. Ia nampak seperti bayangan kurus botak dihadapanku. Hanya setitik rupa dari apa yang tersisa di jarak pandangku.

"And you are a sleepyhead..." aku bisa mendengar sayu sayup suaranya. "But, I do not want to make you cry anymore. I am sorry."

Entahlah, aku belum mengenal siapa Mikhail sebenaknya. Di benakku, ia aku gambarkan sebagai malaikat. Jelmaan alam yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata kata. Begitu pertama kali aku melihatnya, aku tertarik dan ingin mengetahui lebih dekat. Tapi, di tengah belantara ini, mungkin aku harus kembali pertanyakan siapa laki laki yang tengah aku ikuti. Celetukannya yang ringan kadang bisa membuatku geram, dan tergelitik. Mikhail adalah terjemahan hatiku, interpretasi dari rasa ingin tahuku  dan bukanlah sosoknya yang sebenarnya. Aku tidak tahu apakah Mikhail betul betul periang, misterius atau  oportunis. Ia masih asing. Tapi, aku tetap mengikutinya dari belakang. Disaat aku tahu, aku musti berhenti.

Aku menjaga jarakku sambil menatapi jalan setapak yang dipenuhi ranting. Segalanya nampak gelap, hingga lama kelamaan jalan setapak itu makin terlihat jelas ,begitu pula ranting ranting yang patah karena aku pijak.

Dihadapanku bergantung pendar cahaya dari sebuah tenda. Bukan sepenuhnya menyerupai tenda, tapi atap tipis yang dibuat dari jala jala kain. Pondok itu berpilar empat dan beralaskan panggung rendah yang terbuat dari kerat botol minuman. Panggung itu berlapiskan kasur yang tidak lebih tinggi dari satu buku jariku dan ada kain putih mendekapnya. Disekeliling pondok kecil itu tersusun buku buku yang usang karena sering dibaca.

Aku menyertai Mikhail yang naik ke atas panggung dan ia bersila diatasnya. Aku masih mengikutinya. Kami diam sejenak, sampai ia memecah keheningan.

"So, aren't you going to tell me about your story. Why are you here?" tanyanya.
"Why did you chop your hair?" aku membalas dengan pertanyaan.
Mendengarnya Mikhail terkekeh. "You are curious, aren't you?" kemudian ia diam sejenak kemudian merenung ke arahku. "I want to hear your story, how do you get here?"
"What do you think you are? If I need to solve my problem, I'd talk to doctors in this asylum. Your job is to heal yourself, not to care of people business."
"not to care of people's business..." Mikhail mengulang kalimat yang aku ucapkan terakhiran dengan tawa yang sinis. "Why do we resist a help? It is all people's obligation to care for each other. But we completely forget as we are getting more and more exclusive and independent. We forget that each of us is connected--" lalu ia tersengal begitu saja dan berhenti, mulai menatap lurus entah kemana. Aku belum pernah mendapati Mikhail yang serius. Ia nampak memaknai segala perkataan yang dia ucap. Menguasai apa yang ia utarakan barusan kepadaku.

Dan, seperti yang aku cerna dari Mikhail, aku belum sepenuhnya manusia kalau aku belum mulai cerita. Maka aku mulai.

...

It was Wednesday, it was not the first day of the week nor it was the weekend. It was a slow-paced day at work, nevertheless I felt energetic, unusually. It was a week after a retreat in Ubud. That evening, I left online chat with three new friends I made. I used to be very shy and passive, but lately I had been very active. Not only I exchanged idea with these foreigners that , but I had been very vocal in the office. I impressed my boss and I pleased my colleagues with the new invention of myself. It felt like nothing or no one can touch me. But there was this thought that came ever since I left Ubud, 'will I ever stay like this?' I had known I am a good person on the inside, but I am an introvert at the same time therefore I am seemed to be cold and unfriendly upon first encounter with any person. When I try to do good to others, the feeling is really wonderful. But then again, is this my true self? I have been asking over and over, the same question that I have been asking ever since I have been living independently apart from my parents. I do not expect anything from anyone. I have never had my expectation. Like when will I finish my first novel? When will I expect that to be printed, bounded and sent to a publisher. As I look onto my blank document, I am surprisingly force to admit that I can never run away from my enemy. Even after all the soul-cleanse and new exotic friends I have made, I am still the same person as I was. My enemy is not the blank white page that blinks in front of me, but it is the girl whose reflection is captured on the screen. It is me and my ambition alone. 

I have always been defeated. Been into a situation that I am unproud of. I feel like total bullshit. I have told my friends to do this and that, make them believe of their plans and start doing it, but little less they know that they are taking advice from someone that is unconfident and indecisive. 

It is killing me. It is killing me when people watch over my back when I am writing in public. It is killing me to know that I always need a comfort zone to start. It is killing me to know that I have a bad resistance to procrastination and contemplation. I enjoy them.

It was still Wednesday evening, I called my parents. I told them--yelled at them that I wanted to quit my job. I was an account executive in a PR agency. The job scope requires me to be everything that I am not. I need to literally smile even to talk behind a telephone. I need to wear high-heels and skirt or blouses that are pressed so tight against your skin. And, your colleagues will start to talk about how you look so fat and short in some of your summer dresses. And, some of the nicest ones will start to sell you diet pills and magnificent slimming corset to improve your look. The clients are so demanding and always trying to put you on schedule. We work hard, but still, the public sees you as some kind of bimbos whose day jobs are only picking up calls. Somehow, they devalue us but it doesn't matter to me, because I am too busy being meticulous on my task. I had no life. I had no time to finish my book, my story, my goal...

Calling my parents was not solving or helping me as well. I was standing on the ledge of my  office building. I stood there for more than ten minutes before I decided I need to break a piece of the vanity glass in the ladies. The wound cut on my wrist was only tiny but I bleed much. 

The next thing I did is to call this asylum and asked to be submitted.


...


Rongga di dadaku terasa lapang saat aku berbaring menatap pendar pendar cahaya yang bergantung di atap jala. Kaki Mikhail menjulur di atas kakiku. Ia sedang membaca buku. Kita menghargai ruang masing masing dan tak terganggu.

Aku memejamkan mata saat aku merasa harus tertidur. Dengan obrolan Mikhail yang seperti ini yang mengiringku tidur.
"So what is the progress of the novel?"
"After you contributed those 10 explicitly written pages or before that?"
"You tell me,"
"It has been awful, but better, compared to last time I was out in the open."
"Out in the open, that is a strange expression to describe an office."
"You tell me,"
"I can tell you," Mikhail berhenti, "that you feel better here."
Senyum mekar di bibirku. "Indeed."

Kemudian, Mikhail mulai bernyanyi dan bersiul. Sementara aku sibuk tertidur.

Comments

Popular Posts