Asilum : Part 3



(Sebelumnya baca Part 2)

Kami bersila di atas tanah yang sama. Mikhail mengingatkanku agar menapak secara hati hati agar kami tidak membunuh semut sekaligus rumah rumah mereka. Orang bilang nama itu adalah doa. Namanya Mikhail, dan betul, perangainya menyerupai malaikat.

Disampingku ia duduk. Betisnya yang telanjang menyapu tanah dan ia nampak tidak risih sedikitpun, lain halnya denganku. Sedikit dikit aku akan menggaruk betisku dengan kencang hingga berbunyi dan meninggalkan bekat. Hingga aku mundur sejenak, berbisik kepada Mikhail yang menutup matanya tenang ke depan.

"Aku sudahan."

Terus aku berteduh dibawah balkon teras, sambil memandang Mikhail yang khusyuk dalam diamnya. Kedua tangannya terbuka diatas lututnya yang ditekuk masuk ke dalam. Tidak aku lihat sekalipun dadanya bergerak seperti mengambil nafas. Jangan jangan dia mati?

Lima belas menit kemudian, ia berhenti dan menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada. Seperti berterimakasih kepada makhluk yang kasat mata. Kemudian, ia menoleh kearahku yang melihatnya ling lung. Mungkin karena itu senyumnya tumbuh makin lebar. Ia berjalan ke arahku.

"Belum terbiasa meditasi?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Aku nampak seperti orang yang peduli alam dan kedamaian, tapi sebetulnya aku masih mencoba. Saya bukan apa apa dibandingkan kamu."
"I am expecting either 'yes' or 'no', but that is one elaborated answer you give me." Ia terkikih kemudian merebahkan tubuhnya disampingku.

"Why are you here, Mikhail? Kenapa kamu berada disini?"

Ia tidak menjawabku. Mulutnya terkuntum rapat sebelumnya ia sempat mengecap-ngecap seakan menikmati sesuatu yang membuatnya nyaman.

"Karena aku gila, Runi." Runi, aku tersadar, ia menyingkat nama pertamaku.
"Kamu tidak nampak gila, tahu."
Lantas ia mendelik kepadaku, "Kamu juga tidak nampak gila, Runi." ia terdiam sejenak. Kami sama sama terdiam. "Apa ceritamu?"
"Aku?" tanyaku kembali. "Aku yang menanyakanmu pertama kali. Kamu yang jawab dulu."
Lagi lagi iya tersenyum. "Ladies first."
"Oh, you don't dare throw the ladies first at me. It so doesn't apply to this situation. If you allow it to happen, then you are actually not putting yourself before the ladies. It is a cowardice act instead of a heroic act--"
"Alright, then I won't start talking after you do." imbuhnya dengan lekas sebelum aku menyudahi.

Ia menantangku. Kemudian aku sanggupi dengan angkuh. "Alright." Rasanya ingin aku jabat tangannya untuk meyakinkan, tapi ia terlanjur menikmati dirinya sendiri dengan hembusan angin sepoi yang sekali sekali menerpa wajah dan rambut kami. Kicauan burung dari atas ranting. Bunyi jejangkring yang bersembunyi dibalik dedaunan.

"How old are you, Seruni?" tanyanya memecah keheningan yang sejenak.
"Isn't it rude to ask the age of a person?" lalu aku berhenti diam, membiarkannya mencerna. "That is what I learnt from my primary school's English teacher. She did not teach me language but also customs, which avoid us awkward interaction towards the native."
"It is not rude unless you are like 40 and you are trying to conceal the fact." bantahnya kepadaku. "What are you 23? 25?"
Aku terus saja diam.
"I am 31." Ia mengaku tanpa harus aku tanya, mungkin hanya untuk adil dan terus membuatku mengaku.
Risih karena dipandang lekat lekat, aku akhirnya berkata, "I am 21. How does it matter to you?"
"21, huh?" Seringai itu terukir dibibirnya saat ia menutup matanya kembali. "21, that is depressingly young to be ended up in a place like this."

Seakan akan terbentur, ulu hatiku bagaikan melebam. Nyeri. Aku berusaha tidak memasukkan ke hati lontaran komentar yang Mikhail utarakan. Kadang ia bisa menyerupai malaikat, kadang menyerupai iblis. Dadaku tiba tiba sesak, aku mengatur nafasku satu satu. Perlahan, hingga mataku mengeluarkan air. Bukan tanda kekalahan, tapi tanda dari alam dan apa adanya. Aku tidak merasa marah ataupun kecewa. Hanya saja kewalahan.

Aku menyeka air mataku yang belum jatuh ke pipi dengan buku tangan.

"Are you okay?" tanya Mikhail yang kini mencoba berhati-hati.
Bukannya tidak sanggup, tapi aku enggan menjawabnya. Kini nafasku benar jadi satu satu, namun aku sembunyikan. Tapi nampaknya aku gagal. Karena, Mikhail kini duduk disampingku. Punggungnya tidak lagi berebah, tapi tegak menyebelahiku.

"Kamu bilang aku tidak nampak gila, kan?" tanyaku setengah retoris, menghibur diri. Aku memaksa tersenyum saat menoleh kepadanya. Getir.

Sunyi, jarinya menyisit sekelumit lembar dari poni depanku. Rupanya ada kelopak putih yang bertengger disitu. Mikhail begitu dekat denganku. Tubuhnya harum bak pasir yang bergemuruh menyentuh bibir pantai. Seperti wangi tanah yang basah terkena hujan. Mikhail bagaikan alam dan segala tandanya.

"Seperti yang saya bilang. Ladies first." ujarnya sambil memelintir kelopak putih yang melumat diatas jarinya.

Detik itu, aku berhenti menangis.

(Selanjutnya baca : Part 4)

Comments

Popular Posts