Asilum : Part 5


Sebelumnya baca part 4

Pagi itu aku terbangun tertindih dibagian kaki. Benda itu berat dan permukaannya terasa bersisik, menggelitik betisku. Aku menengadah ke langit langit. Atap jala yang tertimpa lampion mungil warna warni sebesar bola golf itu. Pendar itu redup karena melawan sinar matahari yang baru saja terbit dari ufuknya. Dihadapanku, Mikhail tergolek. Posisi badannya tidak berubah dari semalam. Bersandar dipagar kayu yang menyambungkan pilar satu dengan pilar lainnya. Buku yang ia baca semalam tergeletak diatas dada.

Aku mengguncangkan kakiku untuk menyadarkannya. Tapi nampaknya ia adalah tukang tidur akut. Who's the sleepyhead now, mister?

Belum sempat aku membangunkan Mikhail, tiba tiba saja kami disatroni dua orang pengasuh. Mereka nampak berbeda dengan pengasuh yang biasa kami temui. Ada dua orang, satu laki laki dan satu perempuan. Mereka mengenakan seragam yang sama namun besar ukurannya. Kaus putih dan kain batik yang terselempang di pinggang mereka.

Mereka menegur dengan canda yang kasual untuk menutup rasa curiga terhadap kami, "Hey, you two, get inside. You are not supposed to be here. It is a restriction.

Sapuan koran yang digulung kearah lengannya, membuat Mikhail tersentak bangun. "Yes," ia menggumam. Lantas, ia menoleh kesebelahnya. "Oh hi," sapanya kepada pengasuh laki laki.

"Masuk." balas sang pengasuh itu.

Sebelum kita sempat tegak, mereka sudah berjalan mendahului kami. Mereka tidak menyuruh kami untuk mematuhi mereka, hanya saja aku mengikuti Mikhail yang bangkit dengan tergesa gesa kemudian mengatur langkah untuk membelakangi kedua pengasuh itu.

Kami berjalan bersandingan. Dari ekor mataku, aku melihat Mikhail mengerjap-ngerjapkan matanya. Menekan punuk hidungnya yang himpitan kedua jarinya. Sementara aku menengok ke belakang. Ke arah panggung--atau pondok kami yang sunyi. Cahaya lampion mungil itu makin memudar searah aku yang makin bergerak ke depan.

"Mikhail," panggilku.
"Yes."
"Are they going to punish us? They said something about restriction."
Ia mengeluarkan bunyi dari celah giginya. "Pfff... No way."
"How can you be so sure?"
"I spent most of my evening there. They normally just wake me up in the morning."
"So, are you saying that there's nothing to worry about?"
"Absolutely."

Kemudian ia terus berjalan mengikuti kedua pengasuh, sementara aku berhenti sejenak. Masih menatapi hutan yang berdiri jauh di belakang sana, di belakang pondok kami.

"Are you sure?" gumamku saat aku sadar Mikhail sudah jauh berjalan, dan aku nyaris ditinggal sendiri di jalan setapak.

Untuk ukuran orang asing, selera makanan Mikhail memang unik. Pagi pagi dia bisa melahap empat bungkus nasi jinggo beserta lauknya. Tambahan lauknya. Aku yang biasanya tidak berselera makan pagi pun dibuat tergiur. Tadinya aku hanya melirik bubur kacang hijau yang disajikan di dalam kuali. Sepucuk nasi jinggo aku buka di atas piring. Saat itu, Mikhail sudah membuka kulit nasi jinggo yang kelima. Aku dibuat kewalahan melihatnya. Manalagi, kehormatanku sebagai warga lokal serasa ternodai, saat aku melihat ia sibuk melahap makanannya dengan tangan, sedangkan aku memilah-milih bagian nasi yang tersentuh sambal dengan sendok dan garpu. Seharusnya aku malu.

Makan pagi kali ini tidak ada bedanya dengan makan siang. Ada pengusaha asal Surabaya, Marjorie tapi aku melihat Maya--gadis lesbian itu. Mungkin dia belum bangun. Tapi ada sesuatu yang aku rasakan. Sesuatu yang agak berbeda. Aku baru menyadari bahwa pasien pasien disekitarku duduk dengan patuh. Marjorie masih tidak meletakkan apa apa diatas piringnya tapi ia tidak membuat bunyi gaduh. Bekas pengusaha kaya yang tidak aku tahu namanya itu pun menyantap makanan paginya dengan perlahan, walau agak canggung. Butiran nasi melekat disekujur bibirnya. Ia kemudian melihat Mikhail yang duduk bersebrangan dengaku. Matanya memicing, seakan memberikan tanda kepada orang yang dia anggap asing ini.

"Hai," sapa Mikhail ramah.

Dengan lebih canggung lagi, pria itu membuang muka.

Rupanya Mikhail adalah orang yang murah senyum. Seperti pagi ini aku mendapatinya menyapa pasien pasien yang lalu lalang disekitar meja makan. Apa kabar? How are you doing? Good Morning! Selamat Pagi!

Begitu ia menyapa orang orang yang tidak biasanya aku tegur. Dan beberapa dari mereka membalas sapaan Mikhail, terutama pasien perempuan. Kadang terlihat begitu jelas, beberapa dari mereka--yang memang tidak lebih waras dari aku dan Mikhail, yang emosinya tidak bisa ditutupi oleh akal--mereka akan berteriak bukan main senang. Sampai sampai, Mikhail tertawa dan tersipu malu.

Tapi aku tidak menyalahkan Mikhail. Ada yang selalu bisa membuatku betah menatapnya. Bukan alis matanya yang coklat kepirangan lebat yang menyapu wajahnya saat ia menunduk menyuruputi kopi. Bukan garis hidungnya yang menukik menajam kebawah juga. Bukan pula janggut tipis dibawah bibir pucatnya yang menempel di permukaan cangkir kopi porselen. Aku tahu, Mikhail menyimpan kharisma yang kuat.

"Mikhail,"
"First of all," ia memotongku, "would it be okay for you to call me Mike?"
Aku tertegun, "Okay," jawabku singkat. Terus ia menatapku untuk beberapa saat. Seperti menungguku untuk mengatakan sesuatu. Tapi, aku sudah lupa. Mungkin konsentrasiku beralih saat ia membelalak kepadaku dan aku dibiarkan menerka kenapa mata itu membelalak. Sebelum akhirnya tersadar, oh, dia menungguku bicara.
"But Mikhail, is a beautiful biblical name..." cetusku, "It sound better and much uncommon than Mike."
"Call me anything you want." Ia mendelik kepadaku dengan polos.
"Okay," aku mengiyakan dan sebelum aku kehilangan ingatan atas apa yang ingin aku utarakan--"You owe me a story of yours! I have told mine." seruku.
Ia meneguk untuk terakhir kali di pagi itu dari cangkir kopinya. Wajahku sudah berseri penuh harap kalau saja ia akan memulai bercerita. Tiba tiba, beranjak dari bangku makan. Dia mau pergi kemana.
"Where are you go--"
Rupanya ia pergi untuk sekadar membasuh tangan dan kembali lagi ke dekat meja. Ia menggerakkan dagunya seperti isyarat. "Where do you want to start?"
"Why did you cut your hair short?"
Ia kemudian terkekeh. "Really? I thought you were going to ask where I come from, how long have I been in here, the weather maybe or any basic question."
"This is basic," dalihku. "Why?"
Ia menyapu rambutnya dengan tangan. "Why? does it bother you so much?"
Dalam dalam aku mengela nafas, "In a way, yes." Aku mencoba menenangkan bahuku yang menegang dan menyatukan jemari tanganku diatas meja. Mencoba terlihat untuk lebih serius. "You have been gone for two weeks and then you showed up with your hair cut short. Where were you and was I shaking you so much after our first encounter?"
"What?!" buru buru ia mengernyitkan kening.
"I was very violent that day."
"You are silly," buru buru lagi ia menampik. "You have been overthinking, missy."
"Can you just answer me on why?"
Seperti menerima tantangan, ia membusungkan dada kemudian duduk lagi berseberangan denganku. Ruang makan kini makin menjadi sepi. Saat aku rasa, kami bisa berbicara lebih leluasa, pundakku diketuk oleh sebuah jari.

"Seruni, ada tamu." begitu kata seorang pengasuh yang menghampiriku.

Siapa?

"Boleh saya temui nanti?" aku mencoba untuk bernegosiasi.
Senyum di bibir pengasuh mengembang "Mana bisa. Semua tamu selalu buru buru mengejar jam jenguk. Ayuh." ia terus menggamit tanganku.

Aku bergerak maju namun aku tetap menoleh kebelakang, kearah Mikhail yang menggerakkan bahunya seperti mengalah, dan kemudian membaca selembar koran yang sudah ada di hadapannya. Sebelum itu ia menyorotkan sebuah pandangan. Sebuah pandangan yang mengisyaratkan bahwa ia akan berada disini selepas itu.

...

Ibuk.

Ia mengamatinya dari kejauhan. Mata kami masih belum beradu. Hanya aku tahu, wanita di atas sofa cokelat yang kulitnya mengelupas itu adalah ibuk.

Rambut belang putih hitam dan pirangnya kembali ia potong sebahu. Selendang batik itu melingkari lehernya, padahal udara diluar lembap dan begini kering. Bahkan mengenakan baju luaran putih tipis pun udara aku masih merasa kepanasan. 

Senyumnya kembang saat ia melihatku mendekat. Ada sebuah kelegaan yang aku baca dari wajahnya. Mungkin ia berbangga hati, karena setidaknya anaknya ini masih lebih waras yang dari ia kira. Lebih waras dari beberapa pasien pasien di sekeliling kami saat menerima tamu. Ada wanita muda sebaya denganku nampak diam menatapi tamunya yang juga seorang laki laki seumuran. Ia nampak menahan tangis. Ada juga pasien laki laki, mungkin umurnya sekitar tiga puluhan masih gagah, tapi tidak berhenti tertawa sesaat begitu ia bertemu dengan tiga orang penjenguk. Ada yang marah marah. Ada juga yang menangis. Aku mengerti kegelisahan ibuk, lantas aku balas ia dengan senyum tipis nan ragu.

"Seruni, apa kabar sayang?" sapanya.
"Baik, buk."

Ibuk, begitu aku menyapanya. Bukan 'ibu'. Aku suka mengimbuhi '-k' dibelakang 'ibu'. Karena lebih terdengar manja saja.

"Ini, ibu bawakan kamu--" sebelum menyebutkan apa yang berikan dalam seperangkat rantang itu, ia menyerahkan kepadaku dengan berseri seri. Semacam aku tidak diberi makan disini saja. Aku endus pinggiran rantang itu.

"Rendang." ucapku kecewa. 

Bagaimana ia selalu terlupa bahwa puterinya ini tidak lagi mengonsumsi daging sudah dua tahun lamanya. Ini menunjukkan betapa lemahnya kekerabatan di keluargaku sendiri. Kami hidup terpisah pisah. Ayahku dinas di Beirut. Ibuku tidak pernah menetap dengan sempurna, setiap minggu ia bertugas pindah pindah kota. Adikku tengah belajar di Auckland. Aku sendiri dulu pernah merasakan hidup merantau dan aku masih ingat seberapa sering teman teman serumahku, yang hidup merantau juga, menelefon kedua orangtuanya. Sedangkan aku sangat jarang, aku hanya sekadar mengirim pesan singkat lewat BBM atau whatsapp atau sejenisnya. Betul betul seperlunya saja. Keacuhanku ini membuat teman serumahku selalu bingung.

Apa aku pernah merasa sendiri dan sepi? Mengejutkannya, aku merasa biasa saja. Dan aku tahu, walaupun hidup berjauhan keluargaku adalah keluarga yang mandiri dan jarang bergantung kepada satu sama lain. Mengingat ini, aku merasa kemandirian ini bertolak belakang dengan konsep keluarga, yang semestinya harus sebaliknya bukan?

"Rendang, tapi dagingnya itu daging vegetarian." imbuhnya.
Aku menangguk dan menelan persepsiku yang dibantah. Aku selalu dibuat merasa bersalah.
"Kamu merasa betah disini?" tanya ibuk
"Begitulah," jawabku singkat.
Kemudian senyum tersirat di wajahnya. "Gimana tulisan kamu? Lancar?"
"Begitulah." aku mengulang kata yang sama.
"Sombong sekali sama ibuk, kamu ga mau cerita cerita yang lain, Seruni?"
"Cerita apa? Nanti buah pikiran saya disini juga akan ditulis juga dan lagipula disini saya begini begini saja."
Kemudian ibuk tersenyum lagi lebih lebar, seperti menang. "Kalau begitu, kenapa kamu ga pulang saja? Kamu bisa bekerja sambil menulis, buat komunitas, biar ga bosan."
"Saya ga bilang saya bosan." cetusku. Terus aku memandang mata ibuk yang kosong menerawangku. Tiba tiba sayu. Aku tidak tahu mau bilang apa lagi. Aku memang tidak sedang bosan. Tapi kalimat itu terasa menggantung. "Lagipula, saya mau pulang kemana. Toh, rumah selalu kosong dan ibuk terbang kemana-mana. Rumah yang mana?"
"Bisa pulang ke rumah Eyang di Semarang, atau..."
"...kembali lagi kerja di Jakarta?" sambarku.
"Yah, mau bagaimana lagi. Hidup itu harus selangkah kedepan lebih maju."
"Tinggal di Ubud bukannya selangkah lebih maju?"
"Iya, asal kamu tinggal dengan orang orang sewajarnya. Kalau tinggal bersama orang orang terbelakang, kamu pikir kamu bisa maju?" 

Perasaanku, mengatakan ini akan menjadi debat kusir yang panjang. 

"Sudahlah, buk. Saya memang selalu kalah melawan ibuk. Ada saatnya saya akan menjadi replika ibuk, tapi bukan sekarang. Kalau tiba saatnya, nanti saya bagi tahu ibuk." begitu ucapku acuh ketika aku mengangkat diri dari kursi.

Ibuk menunjukkan deretan giginya yang menguning karena kopi dan rokok korea langsing yang ia hisap sesekali. Inilah yang membuatku merasa beruntung berinduk dengan ibuk. Kalau saja aku terlahir dari rahim wanita lain dan kata kata barusan aku ucapkan kehadapan perempuan itu. Mungkin, aku sudah ditampar. "Kamu selalu kalah melawan ibuk? Kalau tahu begitu, kenapa kamu ada niat untuk melawan ibuk?" pertanyaannya retoris. "Kalau kamu berinduk dengan perempuan lain, mungkin pendapat ibuk berikut ini akan bertentangan dengan mereka."

Aku tiba tiba tergelitik. Ternyata kita memang satu otak, buk.

"Ibuk tidak salah dalam membesarkan kamu. Kamu adalah anak yang sopan. Melawan orang tua saja pakai permisi segala."

Senyumku getir mendengar sindirian ibuk. Aku menggenggam tangannya. "Seruni akan pulang. Ke Jakarta atau ke Semarang. Tapi mungkin bukan sekarang."

Seperti merasa akan kehilangan, ibuk mulai mengumbar janji."Kalau kamu benar benar mau menulis, ibuk akrab dengan editor dan publisher besar di Jakarta. Tinggal kirim saja tulisan kamu."

"Saya nggak meminta tulisan saya untuk dibaca. Makanya buk, disini saya belajar untuk mengontrol diri. Menghapus rasa angkuh saya. Saya mau kembali bahwa inti dari menulis, bahkan  inti hidup adalah ikhlas tanpa mengharap dan menjalani sampai habis."

Ibuk berada didepanku dan matanya makin berkaca. Begitu kemudian, aku peluk dia. "Drive safe. Sampai ketemu lagi." aku menutup pertemuan singkat itu.

Selanjutnya baca part 6

Comments

Popular Posts