Asilum : Part 1

"Biasanya di setiap film atau cerita yang berlatarkan rumah sakit jiwa, akan ada dua karakter yang terlihat normal dan tidak sepatutnya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Padahal, merekalah yang mempunyai gangguan jiwa yang paling rumit dibandingkan pasien yang nyata-nyatanya gila. Sebagaimananya, kedua pasien 'normal' ini akan membentuk sebuah aliansi."



Aku melihatnya dari ekor mataku. Tinggi badan yang semampai, hingga dari bibir sofa dimana ia tidur terlentang, kakinya bebas terjuntai hingga menyentuh lantai. Bagaimana aku bisa pura pura tidak melihat. Badannya sebegitu besar menyerupai raksasa. Yakin, bila aku berdiri disampingnya aku akan terlampau kerdil.

Didekapan dadanya, ada sebuah bola bundar terbuat dari karet yang ia kepit diantara jari jarinya. Sepertinya bola bekel. Setiap tarikan nafasnya membuat bola itu menggelinding di sekujur abdomennya. Namun, dengan tanggap. Jari jarinya menangkap.

Dia sedang terjaga. Dan, aku sudah memandanginya terlampau lama dibalik mesin tik. Yang bisa aku cerna, kita berbeda, secara harfiah. Karena rambutnya cokelat namun sedikit cerah, apalagi saat sinar matahari menerawang, jalinan rambut pendek itu terlihat pirang. Kulitnya yang pucat namun sekilas kemerahan. Mungkin juga karena sengatan matahari. Hanya saja aku tidak tahu warna matanya. Mungkin saja biru atau kehijauan.

Sedetik kemudian mata itu membuka. Di dalamnya adalah sepasang bola mata yang coklat kemuda tertunduk sayu dan lesu.

Dia malah merenungiku lama lama. Bola di dadanya mulai ia perlintir perlahan. Jangan jangan ia akan melemparkan benda itu kepadaku. Nanti kena ke dahiku, terus benjol...

Lantas, aku dibuat gugup. Lantas, aku harus berbuat apa?

Kalau memang aku benar benar gila. Kalau aku sadar aku berada dan ditempatkan dirumah sakit jiwa. Maka aku selalu ada alasan bersikap gila, bukan?

Lekat lekat aku tatapi dia dengan mata yang sepenuhnya terbuka. Namun ia hanya membalas dengan pandangannya, tidak lagi sayu, namun berjaga jaga. Sampai akhirnya aku risih. Aku sengajakan menghabiskan satu lembar HVS putih bersih itu dengan ratusan abjad acak. Aku ketik seperti ini :


cjkfhcheuvcuirbiiucfhiruirvuhfuvhrtyybiugitgiuhtgitu giuirjokrp;lk;dlkpqkpskpwldpslp;dk;lmlfmlrnkfnjnvjjjhvutrhuvhufhvujtghvhtyhrhyvghrdgrhygvyhgcyhfgygquvhufgcvyhyfgcvwyhyfgqkijpjchcgyueycuyuyy

Namun, aku pastikan mataku terpaku kepadanya dan suara ketukan jariku di mesin tik makin heboh. Satu pasien meneriakku, menyuruhku untuk diam. Disambut lagi dengan pasien yang berikutnya yang berteriak-teriak. Paragraf dengan abjad acak itu menyekujuri satu halaman penuh.  Jari-jemariku bergetar. Tidak sedikit pun ia menyambut intimidasiku. Tatapannya masih lurus kepadaku. Bahkan saat aku menyentak halaman yang terjepit itu dari mesin tik, hingga dasar kertas itu terkoyak. Tatapannya makin jadi. Dan ruangan yang sepi itu menjadi bising.

Aku tinggalkan mejaku. Sengaja menghentakkan keras tumitku ke lantai, agar dia mendengar murkaku.

Waspada. Karena, tatapannya yang tidak lepas dari bahuku.

Di dalam suaka, kita biasa duduk dan makan siang berbanjar di ruang makan. Pasien melihat satu sama lain. Maka tidak sulit bagiku untuk menghafal wajah yang dulunya nampak asing. Ada seorang perempuan asing berambut pirang keriting, yang biasa duduk berseberangan denganku. Selalu menjambak rambutnya kuat kuat, hingga ibaratnya, rasa ngilu itu bisa aku rasakan hingga ke ubun ubun sendiri. Piringnya selalu kosong. Disebelahnya, ada laki laki loka. Kulitnya sama sepertiku sawo matang. Rambutnyapun sama hitam. Tapi ia selalu menunjuk keudara, dimana atap kaca itu berada. Kadang aku ikuti arah tangannya, aku hanya melihat dahan dahan pohon yang rendah dan beberapa burung yang berterbangan. Begitu pula kotoran abu abu mereka yang menjiplak, muncrat di atas sana.  Terkadang aku diajaknya bicara, terkadang tidak. Dia nampak lebih asyik berbicara kesebelahnya--meskipun kosong. Ada satu lagi perempuan yang nampak sebaya denganku. Cantik dan berkulit seputih susu. Tapi selalu rewel di meja makan, terkadang harus dibius untuk membuatnya diam. Kalau tidak, ia bisa bisa melukai pasien dengan garpu di tangannya. Seperti bulan kemarin.

Ruang makan ini dibangun tanpa sekat. Kami menempati meja sepanjang 10 meter yang berbanjar. Ada tiga buah, menyisiri tengah tengah ruang makan. Di sekeliling kami tersusun meja yang dibelakangnya berdiri pengasuh. Mereka yang melayani dan menyendoki makanan ke atas piring kami. Makananku spesial, karena aku meminta katering vegetarian. Namun begitu, mereka juga memasak beragam lauk pauk hewani juga. Enak atau tidak, sebenarnya relatif. Namun, aku masih melihat banyak pasien yang mengamuk tak tentu diatas meja makan. Apa karena mereka tidak puas? Mungkin, terlalu banyak daging hewan yang mereka makan, jadinya hewan tersebut mendarah daging ke tubuh mereka. Pantas saja kalau, katering hari ini menyediakan tumis daging sapi. Entah kenapa orang orang disini ribut tidak ada matinya. Persis di kandang sapi.

Aku pun ikut ikutan tertawa. Aku sengajakan lepas dan besar besar dengan kunyahan tofu yang terumbar dari mulut yang terbuka lebar. Hingga berhenti sekejap, karena tenggorokanku mulai terasa kering, gatal. Hingga aku sadari, pria asing itu tidak disini, tidak bergabung.

Seperti biasanya setelah makan, aku akan mengendap-endap keluar dari ruang makan sebelum pengasuh memergokiku dan memaksaku untuk memakan tablet terapi. Syukur, hari ini aku beruntung.

Adapula hari dimana aku menerima nasib malang. Jadi terpaksa aku telan saja. Lama kelamaan, tumbuhlah akal blusuk. Tercipta setelah aku menonton film film Hollywood. Aku kulum butir tablet di bawah lidahku. Begitu mudahnya aku membuat pengasuh akan terkecoh dan tersenyum puas saat mereka sadar tablet telah lenyap. Sesegera itu aku akan mengatur langkahku. Dari jalan biasa hingga lari cepat ke kamar mandi. Meludah ke dasar wastafel atau toilet. Lalu, aku basuh sepat di lidah dengan air keran.

Setelah mujur, bebas dari inspeksi pengasuh. Aku bergegas kembali ke dalam ruang tengah. Disini adalah tempat pasien berkumpul untuk berinteraksi. Aku akui ruangan ini jauh lebih cantik daripada ruang tamu rumahku sendiri. Dinding dinding kaca menjuntai tinggi, membuka luas pemandangan hutan tropis dibelakangnya. Dahan yang rindang dan akar pohon beringin yang menggantung. Kalau beruntung, aku bisa mendapati tupai yang loncat dan sayup sayup suara burung. Mungkin tujuannya kami ditempatkan ditengah tengah hutan konservasi ini adalah tidak lain untuk mengisolasi pasien dengan harapan memberikan kepulihan mental yang sempurna. Itulah yang aku suka dari tempat ini. Lebih dekat dengan alam. Jika diperhatikan, tidak juga nampah secelah jalan setapak di dalam pemandangan hutan yang mengelilingi kami. Tempat ini tidak bisa dilewati.

Ruang tengah juga tidak kalah lebarnya dengan ruang makan. Dibagi menjadi dua lantai, bawah dan atas. Aku lebih menyukai lantai bawah karena lebih sepi. Suasana yang cocok untuk menulis. Tidak ada gangguan. Mungkin ada, ketika seorang pasien memainkan piano diujung ruangan dengan nafsunya. Disini tidak tersedia TV atau benda benda canggih. Aku pun cukup menulis dengan mesin tik.

Dan, lihat siapa yang bolos dari jam makan siang. Disitu rupanya ia berada. Pria asing itu. Berbaring terletang di atas sofa sambil menggigiti sebuah apel hijau dan ditangan satunya lagi aku melihat. Aku terperanjat.

"Wow, you really have a nice writing skill--" ia melambaikan naskah kearahku.

Tanpa pikir panjang aku gampar pipinya. Cukup kuat. Karena aku merasakan sakitnya di atas telapak tangan. Namun ia hanya menatapiku, tatapan sama yang ia berikan seperti tadi pagi. Aku telaah warna matanya yang rupanya coklat madu.

Ah, kenapa aku jadi dibuat diam begitu lama?

Cepat cepat, aku tersadar bahwasanya aku terlucuti. Umpama, kertas naskah itu adalah bajuku--baju dalamku--maka aku sudah terdedah dihadapannya. Malu. Kertas yang ia pegang bukanlah sembarang. Diatasnya aku ketik huruf, kata, kalimat, paragraf, cerita yang terlalu gila untuk aku bagi. Terlalu memalukan untuk aku baca dua kali. Kertas yang dia pegang itu laksana cermin. Dan aku bukan pemuja diri sendiri. Aku adalah seorang pemalu yang tidak bisa menatap kearah bayangannya didepan. Kertas itu adalah kebangganku dan juga aib.

Maka aku hentakkan tanganku kearahnya, aku tarik kertas itu. Tapi ia lebih kuat yang dari aku kira. Aku pukul lengannya, tapi genggamannya tidak juga membuka. Aku tampar lagi pipinya. Sekali--wajahnya menyisir kesamping. Dua kali--menyisir lagi kesamping, tapi tidak bergeming.Ketiga kali--begitu aku mengangkat tanganku, tiba tiba ia menarikku ke depan. Ia berdiri dan mendaratkan tulang lututnya kearah perutku. Begitu cepat, yang aku ingat hanya terdampar di lantai setelahnya dengan perut dan kepala yang bukan main sakit. Dan sobekan kertas di tangan kanan.

Pria itu nampak terkesiap. Ia menghampiriku dan melutut, memastikan keadaanku. Bukannya meminta maaf terlebih dahulu tapi dia berucap, "Jangan bersuara. " Seperti mengeja, ia berusaha membuatku paham akan kata kata yang baru ia ucap.

Tapi tentu saja aku akan melakukan sebaliknya. Maka, teriaklah aku. Sekencang kencangnya sampai aku badanku ditolak kebelakang. Tangan tangan pengasuh mengerat badanku. Sementara aku masih mencoba meraih dia yang berada di hadapan. Aku melihat ada beberapa tangan yang menyekujuri bahunya, mencoba menariknya kebelakang. Aku gapai dia, hingga aku rasa lenganku menjadi lemas, kemudian semua terasa berat.

Aku mendengar dentuman keras di lantai. Kepalaku yang jatuh duluan.

Selanjutnya baca : Part 2

Comments

  1. ekor mata itu mana ya? ehehe
    saya tunggu kunjungannya di blog saya >>> http://goo.gl/C4mnMP <<<
    terimakasih, salam kenal saya blogger baru
    salam hangat Goglees :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts