A happy place called Tom - 5

Sebelumnya baca bagian 4

Pesawat Garuda mendarat pukul 7 pagi di bandara Heathrow. Aku memaksakan diri untuk mengendarai mobil manuan sewaan untuk menjemput keluargaku di bandara dengan Volkswagen putih yang selalu mogok itu. Yang sering aku pinjam dari salah satu perusahaan rental mobil di dekat rumah, entah kenapa aku selalu kebagian Volkswagen butut ini. Hanya Tom yang tahu bagaimana mengatasi masalah koplingnya.

Aku sewa mobil itu dengan biaya yang tidak murah. Namun karena Ibu mengusulkan untuk menyewa mobil ketimbang naik taksi atau kendaraan umum di London, ibu mentransfer 500 Poundsterling ke rekeningku untuk keperluan transportasi. Aku tidak bisa menolak.

"Ternyata, setir mobil di London di kiri, sama kayak di Jakarta, ya." Ayah adalah orang pertama yang bersuara setelah keempat dari kami masuk ke mobil.

"Ya."

Aku menghargai usaha Ayah untuk memulai percakapan. Tidak seperti adikku, Ara, yang sibuk khawatir karena ia tidak bisa merekam klip Snapchat karena tidak ada jaringan provider. Sedangkan ibu, sejak dari tadi tidak berhenti mengomeliku untuk mengemudi pelan-pelan. Jujur, ini kali ketigaku mengendarai di jalanan London. Aku sudah punya SIM namun masih tidak percaya diri. Terakhir kali aku keluar mengemudi, aku beruntung memiliki Tom yang berada di sisi kiriku mencegah agar aku tidak tergelincir jalanan musim dingin London yang licin dan dingin. Sehingga aku masih hidup sekarang, dan nekat membawa keluargaku jalan-jalan dengan mobil yang sama.

Hari ini bukanlah hari yang menyenangkan, karena aku terpaksa berakting seperti pemandu tur. Aku sibuk membantu Ibu dan Ara mengambil foto di lokasi-lokasi turis London, seperti Big Ben. Kadang aku harus celingak-celinguk, memastikan apabila di sekitarku tidak ada orang-orang yang aku kenal.

"Ayo, masuk Sarah." Ayah melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Ia memegang kamera. Ugh, aku sungguh tidak suka foto. Menurutku aku selalu terlihat aneh di foto, aku merasa wajahku terlalu bulat dan alisku terlalu tipis, membuatku terlihat seperti bocah penyedih.

Aku juga tahu kedatangan orangtuaku ke London punya tujuan. Selain untuk wisuda, mereka ingin mengajakku pulang.




"Jadi bagaimana soal wawancara itu? Kamu apply ke mana?" tanya Ibu. Kami sedang makan di restoran favoritku, Nandos. Dan Ibu selalu mengeluarkan pertanyaan yang selalu membuatku khawatir, karena aku belum tahu jawabannya.

"Ya, Sarah sudah melamar ke 2 perusahaan media." jawabku mencoba terdengar tegas.

"Posisi apa?" tanya Ibu, aku mendengan keraguan dari suaranya.

"Reporter."

"Kamu sadar, kan... pekerjaan reporter. Wartawan. Apa jenjang karirnya?"

Tatapan mata Ibu begitu tajam. Selalu tajam kepadaku, namun tidak pernah kepada Ara. Adikku yang lima tahun lebih muda, lebih langsing dan lebih tinggi 10 sentimeter dariku. Jari-jarinya yang cantik hasil manikur salon itu mengetik-ngetik di layar sentuh ponselnya. Senyum mengembang dari bibirnya yang dilapisi pengilap bibir. Ara sepertinya tidak pernah melakukan satu hal yang salah dimata Ibu, meskipun sekarang di hadapanku Ara terlihat seperti perempuan cantik yang biasa aku temui di mal-mal Jakarta yang selalu nongkrong cantik di kafe.

Aku tidak tahu caranya berdandan. Aku tidak pernah memakai produk perawatan wajah kecuali sabun muka. Aku lebih nyaman berjalan dengan bots atau sepatu kanvas dan celana jeans belelku. Dan Ibu selalu menasihatiku supaya aku lebih berdandan sesuai dengan umurku.

"Ya, Sarah tahu. Setidaknya kalau Sarah di tempatkan di biro London, Sarah punya pengalaman kerja yang bagus." jawabku.

"Kamu bisa punya karir bagus sebagai PR. Coba kamu lamar saja di kantor Ayah." balas Ibu.

Ayah menyela. "Biarlah Sarah cari tahu apa yang dia mau, Bu. Dia ini lulusan Masters. Sudah dewasa dan cukup pintar untuk membuat keputusan sendiri."

Aku melihat ke arah Ayah dan menyembunyikan senyum terima kasihku.  "Ya, kalau kamu mau cari lowongan di kantor Ayah tinggal lihat di portal. Ayah tidak bisa membantu apa-apa." imbuhnya.

Ya, aku sebetulnya tidak tertarik sama sekali dengan kehidupan kantoran seperti yang Ayah dan Ibu jalani. Entah aku maunya apa, mungkin gelar S2 tidak menjamin kamu menjadi pemenang di kehidupan. Ngomong-ngomong soal menang, aku baru saja melihat gerombolan penonton The Cage yang tumpah ruah di depan restoran. Mereka berteriak-teriak sambil membawa spanduk.

Aku teringat Tom, dan ia masih tidak memberiku kabar jelas.

"Wah," Ara sibuk merekam rombongan yang lewat itu. "Mereka itu lagi ngapain?"

"Nonton tanding tinju." jawabku singkat, membuang bayangan Tom jauh-jauh. Jangan bicara tentang Tom di sini, Sarah.

"Kalau ada barang-barang yang mau kamu bawa kembali ke Jakarta. Bisa diangsur dulu. Ibu bisa membawanya pulang." Ibu menyambar di tengah percakapan yang ringan. Aku jadi kehilangan selera makan.

"Ibu, Sarah belum mau pulang ke Jakarta sebelum dapat kesempatan menetap setidaknya 2 atau 3 tahun. Sarah sedang mencari cara untuk mendapat visa kerja."

"3 tahun lagi kamu 30 tahun, apa kamu nggak kepikir di mana kamu mau menetap?" Ibu berhenti sejenak. "Berkeluarga..."

Aku menghela nafas, melihat salah satu rombongan membawa poster Tom yang diarak. Mungkin aku terlalu meminta banyak hal di dalam hidup. Mungkin aku sudah gila, percaya bahwa aku dan Tom adalah starcrossed lover. Dua orang dengan cerita berbeda yang bertemu di persimpangan. Mungkin semua ini hanya fantasiku. Mungkin aku dan Tom cuma sementara.

Dan, semua itu terjadi pada setiap pasangan. Wajar, bukan?


Seharusnya aku sudah harus tidur karena besok pagi aku harus bangun pagi mengikuti upacara wisuda. Tapi tentu saja aku tidak bisa tidur. Waktu menunjukkan pukul 10 malam dan saat ini tidak mungkin lagi Tom membalas pesanku. Aku melawan niatku setengah mati untuk menyalakan televisi.

Namun, dari dalam kamar samar-samar aku mendengarkan sebuah bunyi. Aku mendekat ke bunyi itu, bunyi riuh dari ruang tamu. Ayah di depan TV dengan baju kaus dan celana panjangnya menonton siaran langsung The Cage.

"Eh, kamu belum tidur?" ia menoleh ke arahku setelah bersorai. Aku mengeleng. Tidak ada Tom di dalam siaran itu. Hanya ada dua petarung yang tidak aku kenal. Mungkin Tom sudah kalah, atau belum bertanding, atau maju ke babak selanjutnya.

Entahlah, tidak mau tahu.

"Sebaiknya kamu tidur, lah. Besok bangun pagi, kan?"

Namun, aku masih merenung ke arah TV. Melipat tangan di depan dada.

"Ya, Ayah juga jangan tidur malam-malam." ujarku sambil berlalu.

Tentu saja aku tidak bisa tidur. Waktu menunjukkan pukul 2 malam, tapi aku masih meringkuk terjaga seperti fetus bayi. Malam-malam seperti ini, aku merasa sedih. Rasanya buruk. Entah kenapa rasa sedih itu datang. Aku tidak pernah mengajak kesedihan datang kepadaku namun itu datang tiba-tiba dan dipacu oleh peristiwa kecil, seperti ketinggalan bus atau bekal makan siangku yang dikerubungi semut.

Aku pernah merasa sedih seperti ini. Malam itu, Tom menemuiku meringkuk di pojokkan kamar.

"Kamu sudah makan malam? Sepertinya kamu di sini seharian?" Ia benar-benar mengkhawatirkan aku. Ia menguncang bahuku seperti memanggil sobatnya. "Hei," aku tidak menggubris panggilannya.

Aku baru selesai menyudahi percakapan panjang dengan Ibu. Saat itu liburan tengah semester dan kebetulan ada festival kepenulisan di Ubud. Aku berencana melamar pekerjaan di festival tersebut, berhubung beberapa tahun lalu aku sempat menjadi relawan. Aku menyukainya karena aku bisa berkenalan dekat dengan penulis, sutradara, aktris dan seniman lintas disiplin. Wawasanku terbuka luas dan harapanku untuk bekerja di lingkungan kreatif dan terbuka seperti Ubud makin besar.
Hingga Ibu membuat harapanku kandas dengan kata 'tidak'.

'Tidak' karena ngapain kamu sekolah jauh-jauh ke Inggris kalau ternyata cuma kerja buat festival non-profit seperti itu. 'Tidak' karena kamu tinggal di Bali, mau dugem, ya? Mau cari bule? 'Tidak'. 'Tidak' kata yang selalu ditanamkan oleh ibu kepadaku. Melemahkan.

Makanya aku adalah seseorang yang selalu menjawab 'iya'. Yes Man. Lemah lembut, mudah disuruh-suruh dan mengikuti aturan yang ada. Aku tidak pernah menjalani hidup tanpa manual. Selalu ada panduan dan jalan lurus ke depan. Pilihanku selalu diambil oleh orang dewasa yang rasanya paling tahu apa yang terbaik untukku.

Di sampingku, Tom berbaring. Lengannya yang berotot dan dilapisi tattoo melingkar di bahuku. Mata hazelnya tertuju ke langit-langit. Tom jauh lebih dewasa dariku. Usianya 10 tahun berbeda. Bukan pacar pertamaku, tapi aku banyak melakukan hal-hal yang pertama dengannya.

Tom adalah pilihan yang pertama kali aku ambil sendiri. Hasil dari pembelotanku. Dari penampilannya, memang ia terlihat seperti pria yang menyeramkan dan garang. Namun, makin lama aku makin melihat dia yang sebenarnya. Ada anak kecil yang masih hidup di dalam jiwanya. Tom dewasa, namun ia tidak mau tumbuh menjadi tua. Jiwanya selalu lapar, tawanya semakin riang. Bocah lelaki yang ada di dalam dirinya selalu menjemput bocah perempuan di dalam diriku dan mengajaknya bermain. Berhenti bersedih.

Malam itu, aku terpuruk. Aku mempertanyakan apa yang sedang aku lakukan di London, kalau Ibu tidak pernah puas dengan keputusan atau pencapaian yang aku buat. Aku tidak besar di dalam keluarga yang selalu mengucapkan 'I Love You' atau yang saling bertukar kado saat ulang tahun. Kami adalah keluarga yang sederhana. Sesederhana itu, kami tidak mengungkapkan secara kontan rasa cinta dan rasa bangga kami.

Namun aku tahu Ayah, sangat bangga saat mendengar kabar lamaran LPDPku lulus dan aku dikirim ke London untuk melanjutkan kuliah ilmu politik. Aku mendengarnya bersorai saat aku baru pulang ke rumah.

Tapi Ibu, aku tidak pernah tahu apa ia betul-betul bangga padaku. Tentu saja ia sangat menyayangi Ara, adik kecilku yang berharga. Tuan putri yang selalu diapeli bocah-bocah kaya dengan mobil mewah. Ara sebetulnya adalah anak yang cerdas, hanya saja ia tidak pernah berani bermimpi besar dan membelot sedikit. Ara persis produk ciptaan Ibu, ada stempel 'Hayati' disekujur tubuh dan wajahnya.

"Kamu tahu? Aku dibesarkan dari keluarga yang jauh lebih sial darimu." Tom seperti bisa membaca kerisauanku. Ibu jarinya memijat keningku. "Ayahku meninggalkan kami sekeluarga. Dia adalah alkoholik yang suka menyiksa Ibu. Ia bukan contoh orangtua yang bagus. Ia yang membuatku mencuri barang belanjaan ataupun mobil. Terus ya, dia pergi begitu saja. Dan Ibuku, aku cinta Ibuku aku rasa ia adalah pejuang sejati. Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak kecil hati, oke?"

Tom merenung ke mataku kemudian mendaratkan ciuman ke keningku, saat ia mendekat, aku mendekap dan tidak melepaskannya dalam pelukanku.

"I feel worthless. I feel ugly and my mom knows how to make me feel like one." bisikku lirih, mencoba melawan sedu sedan yang menggetarkan suaraku.

"Darling," Tom mencoba menenangkanku, seperti mengetahui bahwa tidak ada cara yang membuatku lebih tenang kecuali memberikanku pelukan dan mengatakan. "You are beautiful."

You are beautiful. 

Kamu adalah makhluk yang indah. Berkali-kali. Meskipun aku tidak mempercayainya. Karena, aku selalu memandang diriku sebagai orang yang membuat berkali-kali kesalahan, usahanya payah dan tidak pantas mendapat yang terbaik.

Tom adalah kebaikan yang tidak pantas aku dapatkan. Tapi, ia disini dan membuatku mempercayai bahwa kebaikan itu ada dan dia juga memilihku.

Hanya saja malam ini aku gundah dan gusar. Karena kebaikan itu, my happy place called Tom, adalah pusat dari kesedihan dan kesengsaraan yang aku rasakan. Aku rindu Tom setengah mati dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, karena nampaknya, ia tidak menginginkanku seperti yang dulu.

Selanjutnya baca bagian 6

Comments

Popular Posts