A happy place called Tom - 3

Sebelumnya baca bagian 2

Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan dari Tom sudah 3 hari.

Suatu pagi, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi gym meskipun aku tidak menjaga. Kebetulan aku dapat interview sebelum jam makan siang, aku akan melihat apakah Tom ada di gym atau tidak. Sudah 3 hari ia tidak menampakkan batang hidungnya. Kalau suasana hatiku baik, aku akan menyapanya. Kalau tidak, aku akan pura-pura menghilang.

"Hai Sarah!" sapa Shirley ceria, gadis Leicester berkulit hitam dengan rambut afro yang keren. Ia duduk di pangkuan Mike, salah satu instruktur yang selama ini menggodanya. Entah kenapa ia bisa mengenakan tanktop warna-warni, namun aku harus mengenakan kaus polo dengan bau menyengat itu setiap saat. "Kamu kelihatan manis. Sudah selesai interviewnya?"

"Terima kasih," balasku datar. "Belum, masih 2 jam lagi."

Ya, aku berdandan rapi. Aku kenakan halter top bergaris-garis biru donker dan putih dengan celana jins belel favoritku. Boots hitam Topshop yang aku beli saat sale dan blazer Dior berwana peach yang aku beli dengan sangat murah di toko bekas.  Aku gelung rambut ikal sedada dengan gaya bun acak. Sudah lama aku tidak berdandan, entah kenapa aku selalu menjadi tidak pedulian dan sembrono saat aku bersama Tom. Aku selalu keluar dengan kaus bersihnya yang masih tersisa dan celana olahraga untuk belanja.

Aku mengintip ke arah ring, kemudian ke ruang istirahat para instruktur yang punya wangi parfum Axe yang menyengat. Tidak ada Tom.

"Shirley, Mike... kamu lihat Tom?" tanyaku saat kembali ke depan resepsionis. Keduanya menggeleng.

"Kamu harusnya lebih tahu itu, bukan?" ujar Shirley, sambil memainkan hidung Mike seraya pria itu bangkit dan masuk ke area ring untuk latihan.

"I wish I knew." 

Air muka Shirley berubah, ia mengernyit. "Kalian berdua sedang bertengkar?"

Shirley menunggu jawabanku sambil mengunyah permen karet yang baru ia buka. Namun, aku tidak menggubrisnya.

"Oke, sampai jumpa, Shirley. Aku tak mau telat untuk hari ini."





Persetan kau, Tom. Aku terus mengutuk di dalam hati karena aku masih memikirkannya.  Bahkan begitu aku sudah duduk di ruang tunggu dan menunggu namaku untuk di panggil. Ada 10 peserta wawancara ternyata, dan aku tidak tahu kapan giliranku di panggil. Perutku sudah lapar dan pikiranku kacau, sebab Tom tidak membalas pesan-pesanku. Bisa jadi ia benar-benar marah.

Sedangkan aku sekarang menunggu untuk pertarungan hidup atau mati. Diterima bekerja atau tidak. Bertahan di Inggris atau pulang ke Indonesia. Tidak ada yang beranjak dari kursi mereka. Aku kira para hipster-hipster seusiaku punya sikap yang santai, ternyata mereka begitu serius dan kompetitif. Semua mata tertuju kepadaku saat aku bangkit dari kursiku dan berlari ke balkon.

Mungkin mereka semua berpikir, aku akan bunuh diri karena stress.

Tidak, aku akan mencoba sekali lagi menelefon bedebah itu. Sekali ini. Kalau ia tidak menerima panggilanku maka ia tidak akan mendengar lagi kabar dariku.

"Hai," terdengar suara parau dari seberang telefon.

"Ya Tuhan, kau baru bangun, Tom? Aku mencarimu kemana-mana. Kamu tidak ada di gym dan pesanku tidak kau balas."

Terdengar lagi gerutu dan suara lelaki menguap dari seberang sana.

"Kamu tahu? Kalau kamu menghindariku, aku bisa terima itu. Tom, aku juga bisa menjaga jarak denganmu. Karena, aku juga masih kesal. Hari ini aku ada wawancara dan aku tidak sedang menjaga gym. Jadi berlatihlah semaumu, oke. Aku tidak akan menganggumu."

Baiklah, tidak ada juga balasan dari ujung pesawat telefon. Aku tutup saja telefon itu dengan sebal.

"Sarah Naraya?" panggil seorang pria berjanggut tebal dengan kaus green lantern dengan santai dari balik ruangan wawancara. Dari wajahnya terbesit semangat dan personaliti seorang penggerak sosial media yang selalu nongkrong di kafe mahal dengan kopi rasa pas-pasan.

Aku menelan ludah. Kini, giliranku.

"Jesus, Buddha, Allah, Shiva... tolong aku."

Wajahku pucat seketika.



Wawancara berakhir. Aku harap aku memberikan semampuku. Hanya ada 2 pertanyaan yang mereka ajukan untukku: 1) Kenapa begitu gugup? 2)Bagaimana bisa kerja sambilan di gym tarung bebas.

"Dan, bagaimana rasanya bekerja di sana?" salah satu pewawancara bertanya dengan mata berbinar-binar. Karena sikap mereka yang hangat dan bersahaja, aku tidak malu mengakui. "Ya menyenangkan, aku bahkan bertemu dengan pacarku di sana."

Mungkin informasi yang sebenarnya tidak perlu aku bagi sama sekali. Tapi, entahlah. Setiap kali Tom terlintas di benakku, aku tidak tahan menceritakan apa saja tentangnya. Seperti pertama kali saat aku bertemu dengannya, atau pertama kali dihubungi secara intens dengannya. Aku tidak bisa menyimpan rahasia-rahasia kecil itu ke diri sendiri.

Ada saja caraku untuk meluapkannya, kadang dengan curhat bersama Shirley sambil ia memilin rambutku atau mengecat kukuku dengan kuteks warna neon. Mendadak, aku terlihat sebagai chongas yang tangguh. Atau dengan menulis. Ya, menulis adalah cara yang paling jitu.

Waktu menunjukkan pukul 6 sore begitu aku menyelesaikan wawancara. Langit masih cerah dan aku sempat menemui beberapa teman-teman anggota PPI di klub. Kebanyakan dari mereka membicarakan masalah mencari kerja di Inggris dan delapan puluh persen dari mereka sudah pasrah dan siap for good, pulang ke Indonesia.

"Hey, ayo rubah pandangan kita. Pulang ke Indonesia itu nggak sama sekali buruk. It is not that bad. Lagipula kita dikirim sekolah jauh-jauh untuk belajar dan membangun negara, bukan?" lontar Is, salah satu pria teladan dari Universitas Nottingham, rajin puasa Senin-Kamis dan solat lima waktu. Betul-betul mirip dengan calon suami yang dibayangkan oleh Ayah dan Ibu. Sayang, Is sudah punya tunangan di Indonesia dan sayangnya, aku juga tidak ada ketertarikan apa-apa dengan pria 'baik-baik' seperti Is ini.

Tom merubah segalanya. Kriteria pacarku kini adalah pria yang mau memboncengku di dalam kereta troli belanjaan di Tesco tengah malam dan meladeni gairah seksualku kapan saja. Aku rasa Is masih perjaka. Tidak diragukan lagi.

"Alah," tegur salah satu mahasiswa yang hadir di situ yang tidak bisa aku lihat wajahnya karena ia duduk terlalu jauh. "Bullshit, lah. Idealisme kayak gitu."

Sejenak kumpulan diam, kemudian terdengar gelegar tawa dan sulangan. Ternyata, bukan aku saja yang dimuakkan dengan idealisme seperti itu. Tapi aku tidak menyalahkan idealisme Is. Hanya aja aku punya Tuan Thomas Robson. Dan ia adalah alasanku untuk menolak idealisme untuk pulang ke rumah, kecuali aku bisa membawanya ke Indonesia.

Tapi nampaknya, saat ini bukan saat yang cocok untuk berdebat dengan Tom.

Pukul sembilan malam, gym sudah kosong dari biasanya. Shirley menitipkan kunci kepadaku karena aku memintanya saat aku menyempatkan diri untuk mampir. Dengan pakaian wawancara yang masih lengkap namun berantakan seperti eyeliner dan lipstikku, aku mengambil kain pel dan membersihkan lantai-lantai yang sudah beralaskan keringat para pengunjung gym.

Sedangkan, Tom masih di berlatih dengan punching sacknya. Tidak ada musik energik yang melantun di gym namun dentuman pukulan bertubi-tubi yang cepat seperti baling-baling pesawat yang berputar menjadi musik di malam itu. Namun, Tom masih tidak berbicara denganku atau menyadari keberadaanku. Sudah tiga puluh menit. Seluruh ruangan gym sudah aku bersihkan, aku melepas sepatu botku dan berjalan ke atas ring.

Aku rebahkan tubuhku ke sana. Wajahku menghadap lampu yang terang benderang. Aku memejamkan mataku, mencoba menenangkan pikiran. Mengingat-ingat apa yang sudah aku lalui hari ini.

"Bagaimana wawancaramu?" Tom berdiri dari pinggir ring. Bajunya bersimbah keringat. Mukanya letih seperti menahan perih.

Aku mengangkat setengah badanku. Biar bisa melihat wajah Tom dari dekat. "Bagus. Sedikit gugup, tapi sepertinya mereka menyukaiku. Aku mendengar kabar dari mereka 2 minggu lagi."

Tom mengangguk-angguk. "Bagus."

"Mau makan malam?"

Mata itu menatap kearahku, seperti tatapan anak kecil yang lirih. "Kalau hanya makan dada ayam dan brokoli, kamu nggak keberatan?"


"Apa kabar, manis? Bagaimana latihanmu?" Melly, wanita 60 tahun berambut merah itu menyapa Tom seraya meletakkan seporsi besar dada ayam dan brokoli ke meja, dan secangkir kopi untukku. Rasanya aku tidak perlu merasa cemburu, karena Melly adalah wanita yang ramah dan setia kepada suami dan keempat anaknya. Namun, karena sudah tiga hari Tom tidak mengontakku dan sibuk dengan dirinya sendiri, aku menjadi iri dengan keakraban Tom dengan wanita lain.

"Baik, sudah tidak terasa. Minggu depan aku bertanding."

"Baguslah. Kami akan menontonmu dari sini." ujar Melly, kemudian ia menoleh kearahku. "Kamu nampak manis malam ini."

Semua orang mengatakan hal yang sama. "Terima kasih, Mel."

Ia kemudian berlalu. Saat ia menghilang barulah aku menggerutu. "Manis? Lihat eyeliner ini? Semuanya sudah smudged."

"You do really look beautiful, darling." kata Tom sambil merenung ke mataku. Aku menatapinya kembali, masuk ke dalam matanya yang sudah terlihat merah dan bengkak seperti belum sempat tidur bermalam-malam

Aku menghela nafas dan mengalah dengan perasanku beberapa hari belakangan.  Akhirnya aku jadi yang pertama mengakui, "Aku kangen." ujarku berusaha terdengar kuat. "Kemana saja kamu, silly?"

"Aku latihan." jawab Tom singkat. Kemudian ia kembali menyantap makan malamnya dengan lahap.

"Bagaimana latihanmu? Sudah merasa siap?"

"Aku tidak tahu rasanya kecuali kalau aku sudah tiba di arena. Selalu begitu." jawabnya acuh.

Aku tersenyum, mengajak berdamai. "Ya, kamu yang paling tahu."

"Orangtuamu, mereka datang minggu depan?"

"Ya."

Tom mengangguk, "Kamu tahu. Bukannya aku tidak peduli dengan kedatangan orangtuamu. Itu juga terus menghantui pikiranku."

"Ah, seandainya kamu tahu yang aku rasakan." Aku menghembuskan nafas. Lega, akhirnya Tom kembali ke sisiku.

"Kamu tahu Sarah? Aku akan menjadi sangat sibuk belakangan ini dan nanti. Kalah atau menang, aku tidak akan berhenti di pertarungan The Cage minggu depan. Bertarung sudah menjadi hidupku, urat nadiku."

"Ya, Tornado Tom. Aku tahu itu."

Aku melihat piring makan malam yang sudah habis dengan bersih. Tom menatapku dengan nanar. "Ya, dan aku selalu bertanya-tanya. Apa yang sedang aku lakukan dengan kamu?"

"Apa maksudmu?"

"Kamu mempunyai segala yang sempurna. Kamu mempunyai keluarga yang baik, pendidikan yang baik dan pekerjaan yang bagus. Kamu mempunyai segala sesuatu yang sempurna." Tom mengulang kata-katanya seperti malam yang lalu saat kita bertengkar. Lantas, aku silangkan lenganku ke dada. Aku biarkan ia bicara tanpa aku sela, aku ingin tahu kemana percakapan ini ia bawa.

"Tapi kamu tahu apa yang kurang sempurna atau baik dari dirimu?" tanyanya.

"Entahlah? Mungkin langit-langit di flatku yang masih saja bocor, terus-terusan?"

"Kamu tidak punya kekasih yang sempurna, Sarah."

Butuh sejenak untukku mencerna kata-katanya. Aku bisa merasakan rahangku yang mengeras. "Kamu bicara apa, Tom?"

"Aku berpikir lagi. Mungkin ada benarnya, orangtuamu pasti tidak akan bisa menerimaku."

"Tom," aku tertawa, semuanya terdengar menggelikan. "Kamu belum bertemu mereka. Mereka belum bertemu kamu. Kalian tidak saling mengenal. Siapa yang tahu?"

"Oh, ya? Aku tahu persis. Mereka orangtua baik-baik yang tidak akan menelantarkan anak mereka. Mereka menyekolahkan kamu di sekolah swasta terbaik sampai akhirnya kamu bisa mendapat beasisiwa keluar negeri. Kamu sudah didesain menjadi sempurna oleh mereka. Lihat saja struktur mukamu... you one gorgeous woman, aku tidak pantas mendapatkanmu. Mereka merancangmu untuk belajar, bekerja kemudian menikah sebelum umurmu menginjak tiga puluh dengan dokter, pengacara atau insinyur. Kamu akan membuat mereka sakit jantung kalau bisa-bisa mereka melihatku. Bocah Hammersmith berumur 35 tahun dengan gigi yang berantakan."

"Tom, kamu ini ngomong apa sih."

"Kamu ada wawancara lagi selain dengan BuzzFeed?" ia mengalihkan pertanyaan.

"Ya," jawabku. "BBC, junior reporter. Kenapa?"

Tom mengangguk. "Bagus. See, aku tidak akan pernah dipekerjakan oleh media-media besar seperti itu."

"Well, kamu memang tidak bercita-cita bekerja di media kan?"

"Aku sarankan, sibukkan dirimu dengan apa yang membuatmu bahagia, Sarah. Aku tidak mau menjadi penghambat kebahagiaan kamu."

"Tom," aku menghentikannya. "Apa kamu minum obat-obatan sore ini? Kamu berbicara aneh."

"Tidak," Tom menggeleng. "Entahlah, aku rasa sekarang mungkin ada baiknya, kamu lakukan apa yang kamu harus lakukan dan aku lakukan apa yang harus aku lakukan. Kita menyibukkan diri masing-masing buat diri kita, oke? Karena..." Tom menatap mataku dengan hati-hati.

Ia nampak tercekat.

"Karena?" ulangku. "Karena apa, Tom?"

Kekasihku terlihat sebagai petarung yang kalah, kehabisan kata-kata.

"Karena," Tom mulai menghitung kata-katanya. "waktuku akan semakin berkurang untukmu."

Ah, aku tidak mempercayainya. Aku benamkan wajahku hingga dahiku menyentuh permukaan meja. Aku menjaga agar air mataku tidak jatuh tertahan. Tapi, aku merasakan panas yang menjalari seluruh wajahku. Aku mendongak, dan melihat Tom menengok ke arah samping seperti menghindari melihat wajahku. Ia menyalakan pemantik dan menyulut rokoknya.

"Kamu takut, hah, Tom?" ucapku berusaha tegar, namun suaraku bergetar. "Kamu takut kalau kamu akan mengecewakan kedua orangtuaku ataupu  aku, jadi kamu memilih keluar begitu saja."

Tom menghirup rokoknya dalam-dalam.

"You know what, Tom. This is not a friendly fight where you can quit and walk away without a single bruise. Bukan kamu saja yang merasa ketakutan di sini. Sebenarnya kamu bukan marah kepadaku atau kepada keluargaku. Kamu marah dan kecewa dengan diri sendiri, bukan?"

Aku kemudian bangkit dari kursi, tidak ada yang perlu menahanku lama-lama.

"Kemana kamu pergi?" tanyanya

"Pulang."

"Biar aku antar."

"Aku bisa sendirian"

"Sarah." panggil Tom. "Sarah!" kemudian ia memekik lagi begitu aku sudah menjauh. Aku hanya memandang Tom yang berdiri di balik pagar restoran. Badannya yang besar menghadang cahaya dari dalam restoran.

Mendadak semuanya sendu.

Malam itu, London diguyur hujan.


Comments

Popular Posts