A happy place called Tom - 1

P.S : Cerpen/Cerbung ini adalah hasil fangirling and my mom will hate this

Seandainya kencanku tahu aku memikirkan seseorang saat kita duduk berduaan di restoran Perancis yang ia pilih, mungkin ia akan menyuruhku pergi. Baiklah, aku akan menutup rapat-rapat pikiranku tentang Tom. Ya, Tom.

Apa kabarnya dia? Aku tahu ia akan mengajakku makan di restoran India di dekat gym ketimbang makan di restoran mewah dengan porsi kecil-kecil begini. Ia akan menyuguhkanku bir sambil mengisap marijuana dan menceritakan segala keluh kesahnya. Bukan menuangkan anggur ke dalam gelas kaca ini. Bukan seperti itu cara Tom bercerita, dan aku juga tidak menyangkan, diam-diam aku menyukai Tom yang sangar dan sembrono. Karena aku pikir, aku hanya bisa tertarik dengan lelaki manis dan baik-baik, seperti Nick yang berada di hadapanku ini.

Seorang teknisi muda yang berangkat dari keluarga Asia pula. Pasti ia tahu bagaimana dibesarkan dengan nilai-nilai kesempurnaan dan keluhuran. Sama seperti keluargaku. Nick berbeda dari sosok Tom. Lengan Nick kurus, bersih dengan kulit cokelat mulus, lengan Tom jauh lebih padat dan berotot dipenuhi dengan tinta-tinta hitam. Nick sering tersenyum dan menampakkan barisan giginya yang putih dan rapi, sementara Tom tidak bisa mengontrol tawanya saat terpingkal hebat. Aku bisa melihat deretan giginya yang kuning dan rapuh oleh rokok dan tinjuan lawannya.

"Hei," panggil Nick. "Kamu baik-baik saja?"

Aku menyimpulkan senyum dan berbohong bahwa aku tidak merasa sehat malam itu. Nick dengan sopan menanyakan apabila aku butuh tumpangan pulang, namun aku menjawab bahwa aku bisa naik tube pulang ke rumah. Nick khawatir betul hingga ia memaksakan diri untuk mengikutiku sampai dengan stasiun tube.

"Aku bisa sendiri." tolakku untuk terakhir kalinya. Aku menghentikan Nick saat aku menggesekkan kartu Oysterku. Ada gusar di wajahnya, rasa malu dari penolakkanku. Aku harus begitu, membuat Nick yang baik hati itu membenciku.

"Hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai di rumah." ujarnya datar dan masih mencoba untuk tersenyum sopan sebelum ia memutar balik badannya. Aku menghela nafas lega.

Di dalam tube yang bergoyang, aku berdiri di samping pintu masuk meskipun banyak kursi yang kosong. Aku memegangi besi dan menyandarkan punggungku di sudut pertemuan antara dinding pembatas kompartemen. Di sini biasanya Tom yang besar berdiri, seperti gerhana yang menakuti penumpang yang sibuk keluar-masuk tube. Di sini ia selalu menatap keluar jendela, mengamati pemandangan kota London sekilas, diam dengan musik di telinganya. Tom nampak seperti orang biasa, namun tetap menakutkan.


Pertama kali aku bertemu Tom adalah saat aku bekerja di salah satu klub MMA di Selatan London. Saat itu aku bekerja sebagai resepsionis dan ia bekerja sebagai salah satu instruktur. Karirku seharusnya bisa dimulai dari kantor-kantor periklanan atau warta berita sebagai copywriter atau jurnalis muda. Namun karena kendala visa dan izin kerja, aku harus mengambil pekerjaan kecil-kecil yang tak seharusnya aku ambil kalau tak mau terkena deportasi.

Namun, karena orangtuaku sudah tidak mendukungku secara finansial (kecuali kalau aku ingin kembali ke Indonesia dan menikah dengan calon yang sudah mereka siapkan).

Yang aku senangi dari tempat kerjaku adalah melihat para petarung-petarung amatir berlatih meskipun aku harus memakai kaus polo hijau terang dengan harum pewangi buatan yang kuat. Saking kuatnya aku pusing. 

Suatu malam yang larut, aku mengecek kamar mandi dan kamar ganti sebelum aku mengunci gym. Aku pikir aku adalah satu-satunya orang terakhir di gym, hingga aku mendengar bunyi gemericing percikan air dari koridor antara ruang bilas perempuan dan laki-laki. Aku mengikuti bunyinya, namun bunyi itu menghilang sampai terlihat ada uap di balik pintu kamar mandi laki-laki. Kalau aku cerdas, seharusnya, aku tidak perlu menggubris. Ada seseorang di sana.

Dengan memberanikan diri aku memasuki ruang bilas laki-laki dan mengecek semua ruang pancuran satu per satu. Tidak ada orang. Aku menghitung langkahku perlahan dan berjalan mundur. Hingga aku merasakan kakiku menginjak sesuatu yang basah dan hangat seperti bagian tubuh manusia.

Aku memutar badan. Tom berdiri di depanku, dengan jentik-jentik air yang membasahi rambut cokelatnya yang berdiri tegak dan acak, sekujur wajah dan tubuhnya. Ia sibuk mengelap bagian tubuhnya yang basah di hadapanku, tidak peduli bagian tubuh mana yang ia buka dan ia tutup.

Untuk beberapa saat aku terdiam di hadapannya tidak tahu harus berkata apa. Tom bersikap tenang dan tidak nampak terusik dengan kehadiranku yang mendadak.

"Cepatlah! Aku tidak mau menunggu kamu berlama-lama mandi di sini." baru aku keluarkan suara tegasku meski setengah gugup.

Mata cokelat teduh itu memandang ke arahku dengan tenang. "Titipkan kunci gym kepadaku. Akan aku kunci semuanya." sambil mengeringkan lehernya yang terlihat sekuat besi.

Seraya menoleh ke arah berlawanan, aku memberikan kunci itu kepada Tom. Aku bisa merasakan berat kunci itu berpindah dari tanganku ke tangannya. "Pastikan kamu mengunci semuanya. Baru seminggu aku kerja di sini dan aku cuma ingin melunaskan uang sewa flatku."

Aku kemudian bergegas berlari keluar, aku merasakan Tom yang masih memata-matai dari balik punggung. Entahlah, aku hanya bisa merasakannya dengan kuat.


Tiga bulan aku bekerja di tempat yang sama dengan Tom, aku tidak berbicara banyak dengannya dan belum mengenalnya lebih dekat. Ia juga tidak berinteraksi dengan sesama instruktur di luar jam kerja. Aku mendapatinya selalu keluar sendirian di jam makan siang. 

Ya, aku melihatnya sesekali bercanda dengan tamu-tamu reguler yang ia latih. Ia nampaknya bersahabat, namun ia tidak pernah menyapaku 'Selamat Pagi' atau 'Selamat Malam' atau sekadar mengusiliku seperti instruktur lain. Percakapan terlama kami berlangsung di kamar mandi pria di mana ia telanjang bulat di hadapanku. Bisa jadi itu yang membuatnya menjaga jarak. 

Kami tidak betul-betul bercanda, tidak sampai pada akhirnya kami bertemu di Gaston's Pub. Aku menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman baikku semasa kuliah, Monica, dan semua orang nampak teler dan satu per satu mengerumuni podium karaoke. Aku lah satu-satunya yang sadar malam itu, karena itulah tugasku, menjadi satu-satunya orang yang paling membosankan di setiap pesta dan menjaga supaya semuanya bisa pulang dengan selamat. Aku berdiri di balik bar, dan membantu menyediakan alkohol sewajarnya. Tentu saja, aku diteriakki setiap kali aku memberi porsi alkohol sedikit.

"Percaya kepadaku, kalian hanya butuh segini banyak alkohol untuk pulang ke rumah dengan selamat." utasku tanpa peduli.

"Aku tidak berencana pulang ke rumah." sahut seseorang yang suaranya aku kenal. "Jadi, apa aku bisa minta segelas penuh scotch?" Tom menyunginggkan senyumnya. 

"Hai, Tom." sapaku, tidak secanggung pertama kali kita bertemu. "Ya, tentu satu gelas scotch untukmu. Kalau tidak ke rumah, kemana kamu pergi malam ini?" Tom nampak berbeda dari penampilannya sehari-hari. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak merah dengan kaus dalam berwarna putih yang membingkai tubuh tanpa lemaknya yang sempurna. Ia mencukur rambut-rambut di wajahnya. Ia nampak seperti orang yang berbeda.

Ia menyeruput scotch perlahan namun pasti, aku bisa merasakan panas yang membakar tenggorokkanku juga saat ia meneguknya. "Aku tidak tahu. Kemana kamu malam ini?"

Aku menggerakkan bahuku. "Pulang ke rumah."

"Oke, aku akan mengikutimu kalau begitu." ujar Tom bersungguh-sungguh.

Aku mengernyitkan dahi. "Wow."--itu adalah rayuan terpayah yang pernah aku dengar.

"Kedengarannya seperti ide yang menarik bukan?" ia menghabiskan scotchnya sampai ke dasar. Kemudian, menyodorkan gelas kosong itu untuk aku isi. "Mungkin air mineral saja." ujarku.

Tom tertawa. "Aku ini laki-laki dewasa, tambah tiga gelas lagi." mintanya. "Oh, Tom. Kamu tidak akan pergi kemana-mana malam ini. Kamu akan pingsan di genangan muntahmu di pub." balasku.

"Selama kamu menemaniku, aku tidak keberatan." godanya kembali.

"Tom," aku menghentikannya. "Sudahi usahamu. Kamu kira rayuanmu akan berhasil?" Ia menunjuk ke arah cermin di rak alkohol bar. "Pipimu merah, Sarah dan aku suka kaus yang kamu kenakan. The Who? Aku tidak tahu kamu suka musik mod dan gayanya seperti itu. Selera kita sama."

Aku tidak menggubris Tom, menuangkan air mineral ke dalam gelas scotchnya dan meninggalkan botol air mineral yang masih separuh terisi untuknya berjaga-jaga. 

"Take care, Tom." aku melenggang menjauhinya, masuk menuju kerumunan di lantai dansa dan menyambar minuman yang ditawarkan oleh gadis berambut merah yang tak aku kenal namanya. Aku teguk sekaligus saat Tom masih memandangku lekat, seperti menonton adegan film kesukaannya. Aku mencium wangi rum yang kuat dan tendangan cola yang manis.

Berikut juga dengan sensasi yang membakar di tenggorokanku. Panas yang naik ke ubun-ubun dan membuat kepalaku terasa memelintir. Kakiku melemas, seakan tulang-tulang tungkainya diambil

Sial. Aku merapatkan badanku ke dinding, tidak bisa menyeimbangkan tubuhku. Yang tadi ternyata bukan minuman biasa. 

Mendadak aku rasakan tubuhku terangkat ke atas. Samar-samar aku menandai pola kotak-kotak merah yang menyelubungiku. 

"Brengsek, seseorang berbuat jahat padamu." geramnya.

Aku memeluk tubuh Tom dengan erat, tidak mau melepaskannya karena ia terasa begitu hangat seperti beruang teddy. Mungkin seharusnya aku malu dengan diriku sendiri. Ia membawaku hingga ke luar pub. Aku merasakan dinginnya udara malam menerpa wajahku. Tom mendaratkan kedua kakiku ke lantai namun masih menyangga pinggang dan punggungku dengan lengannya yang besar.

"Hei, Sarah. Kamu sudah aman." katanya. "Maafkan aku, oke. Rayuanku memang payah. Biasanya rayuan itu berhasil untuk gadis-gadis biasa. Aku tidak ada maksud untuk merendahkanmu. Aku menyukaimu, aku rasa kamu berbeda dari gadis yang biasanya aku temui. Mungkin kalau ada lain kesempatan aku bisa mengajakmu untuk makan siang, makan malam, atau minum teh mungkin?"

"Diamlah." perintahku seraya menarik kerah kemejanya agar ia mendekat.

Dengan nafas menggigil aku mendaratkan denyut-denyut ciuman ke bibir Tom yang lembut dan penuh. Tom menyambutku dan kami berlarut-larut bercinta persis di depan pintu pub.  Aku tahu aku menginginkannya sejak lama, begitu pula dirinya. Tangannya kini meraih pinggangku kemudian turun dan meraih tulang panggulku.

Seseorang berteriak. "Hei kalian berdua! Cari kamar sana!"

Sambung ke bagian 2

Comments

Popular Posts