A happy place called Tom - 2


Sebelumnya baca bagian 1


Hubunganku dan Tom sangat luar biasa. Setiap pagi aku bangun tidur di sebelahnya diatas tumbukan seprai dan selimut dengan corak Union Jack yang jarang ia cuci. Harum tembakau dan marijuana tersebar ke sekeliling kamar hingga berkabut. Lantunan musik rock Inggris lama dan lagu pantai mengalun dari stereonya. Kalau aku beruntung, aku bisa melihat bokong Tom bergoyang dan tubuh telanjangnya menari-nari dari ujung kasur mengikuti irama lagu. Dan aku hanya tertawa, antara senang dan tersipu melihat gelagatnya yang menggemaskan dan menggoda.

Kemudian, ia akan menyingkap selimut yang menutupi tubuh polosku, tubuh yang selama ini aku tutup-tutupi, dan mendaratkan ciumannya bertubi-tubi dari pangkal kepala hingga ujung kaki. Manusia gila. 

Ya, aku tidak akan bisa mengenalkan kamu ke orangtuaku. Aku juga sumpah tidak akan jatuh cinta padamu, Tom. Otakku sedang tidak berpikir, namun vaginaku mungkin. Tapi, dari caranya memandangku dengan teduh, seakan-akan dia memang sudah menantiku sejak lama selalu membuatku bertanya-tanya apa yang ia lihat dariku. 

"Dim Sum?" bisiknya di telingaku.

Aku terperanjat. Dibayanganku adalah aku, Tom dan Ibu serta Ayah sedang duduk di meja bundar berempat sambil menyantap Xiao Long Bao.

Aku mengangguk. "Ya."

Senyum lebar tersungging di wajah Tom kemudian ia menepuk bokongku. "Ayo, jagoan, bangun dari tempat tidur. Kita gerak dari sekarang."





Hal yang aku menarik adalah melihat laki-laki yang makan dengan lahap. Tom terlihat begitu menggemaskan saat ia memasukkan siomay bulat-bulat yang panas ke dalam mulutnya. Ia memejamkan matanya dan kemudian wajahnya memerah seperti udang rebus.

"Ini," aku membuka telapak tanganku dan mendekatkannya ke arah mulut Tom yang penuh dan tengah mengunyah. "Buang ke sini kalau terlalu panas."

Tom menggeleng. Ia mencari-cari tehnya setelah ia menelan bulat-bulat siomay tersebut. "Brilliant." ia mengutuk dari deru nafasnya.  "Enak sekali."

"Tom, ternyata kamu anak lima tahun yang terjebak di dalam tubuh pria 35 tahun dengan berat badan 75 kilogram."

"80," balasnya. "80, aku mati-matian menaikkan berat badanku untuk The Cage."

"Oh, menarik. Kapan kamu bertanding? Aku tidak sabar menyorakki kekasih seksiku bertarung bebas hingga babak belur seperti binatang buas." Aku mengerling ke arahnya.

Ia membalas godaanku dengan senyum tipis dan tendangan manja ke arah kakiku. "Tanggal 15 Juni. 2 minggu lagi."

"Tanggal 15? Oh shit."

"Kenapa?"

"Itu sehari sebelum wisudaku. Dan orang tuaku datang dari Indonesia."

Ekspresi wajah Tom mendatar. Ia mengambil satu buah siomay panas dengan sumpit dan melakukan kesalahan yang sama lagi. Kali ini, ia menjaga wajahnya terlihat teduh meskipun siomay yang ia kunyah sudah membakar lidahnya.

"Apa aku akan bertemu dengan mereka?" tanyanya polos.

Aku mengintip dari bagian depan rambutku yang terurai. "Sepertinya kamu belum pernah bertemu dengan orangtua kekasih-kekasihmu sebelumnya."

Tom menggeleng. "Kamu tahu hubungan terlamaku sebelum denganmu adalah 3 bulan. Beruntung aku tidak bertemu dengan pria Inggris tua yang ingin membunuhku karena mengencani putri mereka."

Kemudian, senyap. Tom menatapku dengan hati-hati, seperti memikirkan apabila ada kata-katanya yang barusan terdengar salah. Perlahan ia menggamit tanganku tanpa ragu.  "Aku menunggu kedatangan orangtuamu dan tentu saja aku akan datang ke wisudamu. 27 tahun dan meraih gelar masters. Entah apa yang aku lakukan saat umur 27 tahun. Mungkin pergi ke Amsterdam dan menghisap ganja di pinggir jalan." Di dalam kepalan tangannya, jemariku dikecup. "I am bloody proud of you, sweetheart."

"26." ralatku. "26 tahun... and I know you are proud of me."

Senyum mekar di wajahku disambut dengan kecupan berbau cuka. Aku dan Tom berjalan menuju gym berdua, berusaha terlihat tidak seperti pasangan. Tapi keberadaan hubungan ini selalu dengan mudah tercium. Mungkin mereka sudah mengenali hubungan yang terjalin di antara aku dan Tom. Tapi, aku rasa aku merasa belum sepenuhnya mengenali siapa pria yang aku kencani ini.

Aku hanya melihat kekasihku bermain dengan skipper di atas ring, tali itu mencambuk-cambuk lantai dan bunyinya lebih cepat dari detik jarum jam. Mengingatkanku bahwa orangtuaku akan tiba di London tidak lama lagi dan aku tidak tahu bagaimana memperkenalkan Tom kepada mereka.

Aku melihat kekasihku yang mulai bertarung di atas ring. Dia tidak seperti lelaki kebanyakan yang aku kenal. Mungkin alasan ini begitu dangkal, namun itu yang membuatku menyukainya. Ia kerap melontarkan candaan berbau patriarkis, namun ia selalu mencoba untuk sejajar denganku dengan paham feminismeku. Aku bisa melihatnya, ia mencoba menjadi dirinya yang terbaik saat bersamaku. Ia mulai belajar dan membaca buku banyak di luar kesibukannya dan hobinya. Tapi tetap saja ia menyebalkan, ia tidak pernah menutup pintu kamar mandi saat buang air ataupun menutup kembali tutup toples selai kacang hingga membiarkan isinya dikerubungi semut dan mengering.

Tiga bulan, hubungan terlamaku adalah enam bulan dengan seorang pria Rastafarian dan kami juga bukan pasangan.

Tom, kita impas.

Tapi, masih banyak hal yang harus aku ketahui tentang dirimu.



Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Aku dan Tom duduk berdua di atas sofa oranye di flatku. Teman serumahku sedang pergi ke Birmingham untuk mengunjungi keluarganya. Jadi, aku bebas melakukan apa saja. Dan yang terpenting, tidak harus menginap di kamar Tom yang lembap dan berdebu itu. Kami memesan makanan India dan membuka 2 botol bir terakhir di lemari es. Aku tidur beralaskan bantal sofa sedangkan kakiku memanjang di pangkuan Tom. Celana pendek rumah yang aku kenakan menguntungkan dirinya, karena kini ia dengan asyik membelai-belai tungkai kakiku sambil pura-pura serius menonton drama Perancis tanpa alih bahasa.

"Tom," panggilku.

"Ya."

"Bisakah kita tidak saling menyentuh setiap kali kita bertemu?"

Air muka Tom berubah, ia menoleh kepadaku. "Apa ada sesuatu yang salah?"

"Tidak," aku menggeleng, kemudian menarik kakiku dari pangkuannya. "Maksudku, aku hanya mencoba untuk berkomunikasi lebih baik denganmu. Aku di sini bukan hanya untuk dan karena seks."

"Sarah.." Tom menggolekkan kepalanya. "Apa semuanya baik-baik saja? Ada orang yang menganggumu? Apa Bob penjaga toko swalayan menggodamu lagi, aku bisa menghajarnya."

"Ya dan tidak. Bob itu pria tua yang manis, Tom. Jangan terlalu sensitif."

"Terus, apa ada yang salah hari ini? Kamu terlihat marah tanpa sebab."

"Aku tidak marah." Aku bangkit dari tidurku dan duduk di kursi. "Kadang aku merasa kita perlu waktu berbicara ketimbang bercinta, karena aku rasa itu penting."

"But, we do talk, darling. Kita bahkan bicara sekarang. Baik apa yang mau kamu bicarakan?"

"Oke," aku beranjak dari sofa dan berjalan ke dapur. "Aku mau buat teh dulu untuk kita berdua."



Dari dapur aku mengintip Tom yang tengah memindah-mindahkan saluran televisi hingga ia berhenti di salah satu saluran UFC dan mengeraskan suaranya. Harum semerbak bergamot mengudara seraya aku membawa dua cangkir teh keluar dapur.

"Hati-hati, masih sangat panas." Aku mengingatkan Tom tentang kejadian di restoran Cina beberapa pagi yang lalu.

Tom menonton pertandingan dengan seksama. Sudah belakangan ini ia berlarut menghabiskan waktu di gym untuk berlatih. The Cage, pertandingan MMA paling bergengsi di Britania Raya akan segera dimulai. Tom sudah mendaftarkan diri di tingkat regional London. Ia akan bertanding melawan 12 petarung bebas lainnya dan konsentrasinya belakangan ini tidak bisa diganggu.

"Jadi, apa yang mau kita bicarakan?" ia menghembus-hembuskan nafasnya ke atas permukaan teh yang berembun panas. Ia terlihat lebih berhati-hati, seperti terbawa dengan sikap dan disiplin latihan tarungnya.

"Bisa aku kecilkan suara TVnya?" tanyaku.

"Ya,"

Aku mengambil remote dan langsung menekan tombol mute.


"Itu di mute, bukannya dikecilkan suaranya." keluhnya sambil menatapku sedikit sebal. Namun, bagaimanapun ia tetap akan mendengarkanku kalau aku memasang air muka serius. Senyum sumringah tampil di wajahnya. "Kamu tahu, kamu kelihatan manis kalau sedang marah," jari-jarinya menggapai daguku, namun aku menjauhkan wajahku.

"Tom, no touching, please."

"Okay," Tom mengangkat dua tangannya ke udara, merentangkan lengan kekarnya yang ditutupi tinta tato. "What is it, babe?"

Aku diam sejenak. Memutar otakku, mencari cara untuk menerangkan ini dari awal. Aku menelan teh yang masih sangat panas, rasanya seperti timah cair turun ke kekerongkonganku.

"Aku dapat peluang wawancara di kantor BuzzFeed sebagai intern." kataku ceria.

"BuzzFeed? Itu bukannya tempat kerja para-para hipster."

"Ya, keren kan? Akhirnya, aku bisa dapat pekerjaan sungguhan dengan visa kerja yang layak."

"Oh ya, aku ingat kamu memintaku jadi cameraman untuk video aplikasimu. Selamat, sayang..." Tom hendak mencium pipiku namun aku menghentikannya dengan membuka telapak tanganku ke hadapannya.

"Orangtuaku akan datang ke London." ucapku, setiap kata seakan menamparku kembali ke realita.

"Ya... dan..." Tom mencari-cari patahan kata selanjutnya. "Apa kamu yang khawatirkan?"

Aku menatap Tom yang dari tadi mengamatiku. Kamu. Seandainya aku bisa mengatakannya secara terang-terangan. Tom hanya memandangku kembali, mencerna dan mengerti maksudku. "Aku? Kamu bingung memperkenalkan aku kepada kedua orangtuamu?"

"Ini adalah kali pertama mereka terbang ke London. Mereka bisa jadi orangtua yang modern dan bekerja di kota, tapi pemikiran mereka konservatif..."

"Jadi, apa mereka akan kaget saat bertemu denganku? Pria bertato? Seorang petarung bebas?"

"Satu hal yang kamu harus janjikan kepadaku, Tom. Jangan pernah sebut tentang gym, tarung bebas atau pekerjaanku sebagai resepsionis. All hell will break loose. Dan ya, harapan orangtuaku adalah bisa mendapatkan calon menantu yang bekerja kantoran, atau dokter, atau pengacara..."

"Tapi, aku bukan dokter, pengacara atau bekerja di kantor. I get beat up for a living. Apa mereka ada masalah dengan itu?" nada suara Tom terdengar defensif.

Aku menghela nafas. "Oke, Tom. Jangan salah sangka. Orangtuaku adalah orang yang asyik dan toleran. Kita bisa mencoba meyakinkan mereka, asalkan saja kamu bisa, you know, menutupi identitasmu."

Tom nampak terperangah. "Darling, have you said anything about me to your mom and dad?"

Aku menggeleng. "Belum. Kita baru berkencan selama enam bulan."

"Tujuh sebenarnya," Tom ralat. "Dan, kamu sudah bertemu dengan Ibu dan adikku."

"Tom," aku berdecak. "I was barely talking to them, we were in supermarket. We were not introduced to each other,"

"Apa aku akan bermasalah dengan orangtuamu?" tanyanya kembali.

Oh, aku mulai menyesali ide untuk berbicara kali ini. Rasanya memang lebih mudah kembali bercinta, menelanjangi tubuh masing-masing ketimbang menelanjangi rasa khawatir dan pikiran ragu.

Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak."

Tom meletakkan cangkirnya ke atas meja, masih penuh. "Kamu tahu, kamu seperti menyimpan sesuatu dariku?"

"Apa?"

"Entahlah, rasa ragu..."

"Ragu? Tom, aku..." aku berhenti sejenak. Sarah, kamu baru mengencani pria yang kamu lumat bibirnya di depan pub saat mabuk berat, tidak mungkin kamu akan bilang bahwa kamu cinta kepadanya.

Tom merenung masuk ke mataku, ia tidak mengatakannya namun aku bisa membaca kekecawaan seperti patah hati di matanya.

Ia beranjak dari sofa. "Sudah Sarah, kamu tidak perlu mengatakannya."

Aku masih duduk di sofa membeku.

"Kamu tahu, kamu mendapatkan yang terbaik, S2, penghasilan dan apartemen bagus, karena kamu terkadang berhati-hati dalam melangkah. Itu bagus. Kamu selalu patuh. Selalu mengikuti nilai-nilai yang ada. Aku tahu itu, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa suatu hari aku menjadi penghambat harga dirimu yang sempurna itu."

"Tom, kamu ngomong apa sih?"

"Kamu yang mengencaniku, bukan orangtuamu, kan? Jadi kenapa harus malu dengan identitasku? Kenapa kamu dan aku harus peduli dengan apa yang mereka pikirkan?"

"Aku tidak malu dengan identitasmu. Hanya saja aku khawatir dengan penilaian orangtuaku. Mereka adalah keluargaku, Tom. Tidakkah kamu khawatir, setidaknya mencari cara untuk memenangkan hati mereka?"

Tom memandangku sebelum ia membuka pintu rumah. "Dengan menyembunyikan identitasku?" tanyanya. "Kamu belum tahu alasanku bertarung bukan?"

"Tom," aku menguburkan wajahku di dalam tangan. "Makanya, aku ajak kamu bicara baik-baik. God, it seems like we are only good together when we shag... and I am so embarrased on that. Tom, aku tidak mau berkelahi, oke?"

"Ya, aku juga tidak." ucapnya. "Makanya, sekarang aku mau pulang."

Kemudian, pintu depan terbanting.

"Fuck." kutukku.

Selanjutnya baca bagian 3

Comments

Popular Posts