A happy place called Tom - 4

Sebelumnya baca bagian 3

Kata Katherine aku terlihat seperti ikan mas yang hampir mati di depan televisi. Aku tidak datang ke gym selama seminggu dan kerjaanku hanya menonton film-film horor yang biasanya enggan aku tonton. Film-film horor yang terasa tidak menakutkan. Mungkin berat badanku sudah naik 2 kilo dan aku khawatir kebaya yang ibu bawakan dari Indonesia sudah tidak muat lagi untuk wisudaku.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Katherine sambil mengisap rokoknya, ia duduk disampingku dan memindahkan saluran televisi kemudian menyetel Games Of Thrones dari Netflix.

Dia menjawab sebelum aku sendiri menjawab pertanyaannya. "Kamu tahu? Laki-laki memang menyebalkan. They are nice, but some of them are bloddy pigs."

Aku tidak biasa bercengkrama dengan Katherine, karena ia juga punya kesibukan masing-masing dan awalnya ia terlihat seperti orang yang tidak bisa aku dekati. Baru kali ini, aku berbicara dengannya dan ia terlihat peduli, meskipun bersikap dingin. Ia mencoba yang terbaik untuk menceriakanku.

"Bersemangatlah. Sebentar lagi kamu wisuda." Ia kemudian mendorong satu cangkir teh ke hadapanku. Oh, itu cangkir yang Tom gunakan untuk minum sehari-hari di apartemenku. Ia selalu mengambil cangkir merah favoritku. Lantas, aku menarik selimut menyelubungi tubuhku. Rasanya aku ingin menggali sebuah lubang dalam-dalam dan menerjunkan diriku di sana dan tidak keluar.




Aku selalu berpikir apa yang membuatku tertarik kepada Tom. Mungkin dangkal kalau hanya menyebut masalah fisik. Karena sejauh ini, Tom adalah pria dengan penampilan paling tampan yang aku pernah kencani. Selisih tinggi tubuh kami 30 sentimeter, jadi aku hanya bisa berdiri sejajar dengan bahunya. Selama ini, aku selalu mengatakan kalau aku tidak punya tipe pria idaman, secara fisik. Namun, ternyata selama ini aku selalu tertarik dengan pria yang tinggi.

Meskipun Tom bukan yang tertinggi atau yang terberat diantara para petarung lain, tapi ada sesuatu yang membuatku selalu tertarik kepadanya. Seperti saat ia berjalaan di depan resepsionis, aku selalu tahu itu adalah langkah kaki Tom. Ia melangkah dengan berat dan cepat. Aku heran kenapa kami bisa bersama. Olahraga yang aku geluti adalah berguling dengan kasurku, dan, ya, aktivitas seks itu sendiri.

Tom adalah atlit, awalnya aku merasa terintimidasi saat kami pertama kali berhubungan. Berat badanku 55 kilo, sementara berat badannya 85. Bisa-bisa, aku remuk ditindihnya. Namun, tidak. Tom selalu menyentuhku dengan hati-hati. Seperti aku ini adalah piring antik atau botol kaca. Ia selalu menopang leherku ataupun punggung, meski tubuhku merebah aman diatas tumpukan bantalnya yang lembap.

Hubunganku dengan Tom tidak berawal dengan mulus. Setelah kejadian di depan bar. Malam itu kami pulang ke rumah masing-masing, tidak membuka kamar. Kami saling menghindari.

Tidak persis seperti sekarang, tapi kami saling menghindari. Aku merunduk tiap kali ia lewat depan meja resepsionis, dan aku rasa ia sering mengendap-endap keluar dari kamar mandi seketika aku selesai mengepel atau menyapu.

Hingga suatu malam, satu gym ditraktir oleh Gerrard yang baru saja memenangkan tiket semifinal ke UFC. Dua hari sebelum ia terbang ke Chicago, tepatnya satu tahun yang lalu. Kalau aku punya alasan yang lebih baik, aku akan cepat-cepat pulang. Namun, sayangnya sebelum pukul 8 malam kami diajak mengosongkan gym. Seluruh instruktur dan staff, termasuk aku dan Shirley. Dua wanita dan sebelas laki-laki dengan bobot badan 85 hingga 100 kilogram.

Shirley, ekstrovert yang mudah bergaul. Jadi, malam itu adalah malam yang biasa dengan segelas bir di tangan. Sementara, aku tidak minum. Tidak, kalau aku tidak berada di dalam rombongan teman-teman terdekat. Jadi aku duduk sendirian di meja dengan segelas mojito virgin. Di ujung yang meja, nampak Tom. Duduk juga seorang diri, memegang segelas bir hitam yang masih penuh. Ia duduk sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Sementara, aku mencoba untuk mencuri pandang. Ia terlihat seperti sedang mengikuti kontes siapa yang bisa menatap lebih lama dengan gelas birnya.

"Sarah! Tom!" panggil Gerrard, aksen kental Skotlandianya mulai terdengar begitu ia mabuk. "Giliran kalian menyanyi!" teriaknya dari balik mikrofon.

Kami berdua hanya saling menatap kaku. Sebelum pada akhirnya, ditarik ke atas panggung berdua. Dan aku mendengar aransemen instrumental lagu Dixie Cups, The Chapel of Love. Yang terlintas dibenakku adalah "Oh, kenapa?"

Aku menatap Tom, pertama kali aku menyadari ia mempunyai warna mata hazel yang teduh dan wajahnya yang seperti bocah meskipun ia mempunyai perawakan yang seram.

"Going to the chapel and we're gonna get married..." aku menyanyi, tanpa ada aba-aba. Terbawa melamun oleh keberadaannya. Aku tahu Tom juga hafal lirik lagu yang konyol ini, hanya saja ia malu.

"Going to the chapel and we're gonna get married..." ternyata nada suaraku tinggi, Tom menyambungnya dengan nada rendah yang sumbang, sampai membuatku tertawa di depan mikrofon.

Mendadak semuanya diam, suasana berubah menjadi serius. Tom memang tidak terlihat seperti mempunyai banyak teman, mungkin karena ia galak dan sensitif dan tidak suka dihina. Mungkin ini adalah saat yang buruk untuk tertawa. Tapi, maaf Tom suaramu memang buruk.

Tom menyadarinya, ia juga tersenyum melihat kearahku. Kami habiskan satu lagu itu dengan dansa yang kikuk di atas panggung karaoke dan juga dua gelas bir hitam sesudahnya. Aku dan Tom menjadi yang orang pertama yang meninggalkan bar.

"Kamu punya suara yang bagus," puji Tom.

"Prinsip hidupku satu, Tom. Lebih baik diam, daripada berkata bohong." kekehku.

"Tidak, aku bersungguh-sungguh." Tom merenung kearahku, setelah berkali-kali menoleh dan membuangkan wajahnya seperti ada yang takut ia sampaikan. "Hei, maaf. Aku belum sempat mengajakmu keluar. Aku benar-benar mau cuma saja aku selalu sibuk berlatih."

"Sibuk berlatih atau kamu takut mengajakku keluar?" godaku.

Tawa kecil lepas dari mulutnya, ia menggaruk-garuk kepala. "Ya, itu juga."

"Tidak apa-apa kamu mengantarkanku ke rumah malam ini."

Tom tersenyum kearahku. Ia melepaskan jaket tebal yang ia kenakan dan meletakkannya di atas bahuku. "Semoga tidak bau keringat."

"Tidak." Aku menggeleng. "Ini persis bau pewangi yang digunakan oleh gym."

Tom tertawa. Aku tertawa. Dan tanpa sadar kami sudah berdiri di depan gerbang flatku. Aku harap masih banyak waktu lagi untuk bercengkrama dengannya.

"Aku berhenti di sini." kataku dengan suara yang terdengar lirih. Tom memberikan senyum hangatnya, nampak ada dua lesung pipi yang membuatnya terlihat lebih kekanak-kanakan lagi. Aku menumpukkan berat badanku dan meraih punggungnya untuk ku peluk. Tom nampak terkejut. Kemudian, ia membuka lengannya dan mendaratkannya ke atas bahuku.

Pelukan itu sebentar. Namun, saat kami melepas pelukan kami bertatapan sangat lama. Seperti bercakap-cakap namun tanpa kata yang terucap. Canggung, buru-buru aku daratkan ciuman ke pipinya. "Terima kasih, Tom."

Tom hanya berdiri di depan gerbang begitu aku beranjak masuk ke flat. Namun, aku tahu Tom masih di sana seperti menunggu sesuatu. Aku tidak merasakan atau medengarkan langkah kakinya yang berat.

Aku memutar badanku dan melihatnya berdiri dengan tangannya di saku. Aku berjalan ke arahnya, malam itu dingin. Aku bisa melihat jelas uap putih yang keluar dari nafas kami. Aku memburunya dengan ciuman di bibir.

Malam itu, kami mulai saling mengenal dan mengetahui rahasia-rahasia masing-masing. Seperti aku mengetahui makna tato latin yang diukir di dada kiri Tom setelah Ibunya meninggal. Seperti Tom mengetahui bahwa aku masih perawan.


Pagi keesokan harinya, aku keluar dari kamarku dengan kaus besar yang hanya menyelimuti badan. Katherine duduk di meja makan. Mukanya letih dan pucat.

"Aku tahu kenapa ia dipanggil Tornado Tom." ujarnya singkat

Selanjutnya baca bagian 5

Comments

Popular Posts