Meet Samantha
Previously posted on my tumblr , one of my recent writings as well. I hope this can be a good addition to my blog.
Have you ever think how hard it is to impress your in-laws? No, not
his mother. I am talking about his elder sister. Then #MeetSamantha
Meet Samantha
Sebenarnya, aku risih mencium bau tembakau menyaru
ke seluruh penjuru ruang kamar. Karena, sebelum ini tidak pernah aku
dapati kamar tamu sebegini baunya menusuk. Tapi, aku pasrah saja. Maka,
aku sematkan kembali helaian seprai tempat tidur masuk ke celahnya
kembali.
“Sayang,” panggilnya seraya aku mendekatkan diri
dan menerima kecupan lembut di pipi. Namun, mataku masih tertuju kepada
tamu kami. Wanita itu menghiraukan kami dan memilih untuk menyantap mie
rebus telur yang ia habiskan sampai dasar mangkuk, hingga seruput kuah
terakhir.
Tapi, aku tidak keberatan. Biar tetap saja seperti itu. Lagipula, aku segan ketika mata kita hendak bertumbuk beradu.
“Kak, aku pergi ke kantor dulu, ya. Takut macet.”
ucapan Dody, suamiku, sambil menutup lembar koran. Mendengarnya, sempat
aku setengah kelayapan. Begitu Dody memelukku dan mengecup pipiku kedua
kali pagi itu, mata kami terus berpapasan. Sepenuh keyakinan aku
tumpukan pesanku kepada dua bola mataku yang melalak dan otot muka yang
tertarik setengah tersenyum. Jangan sekarang—itu dia pesanku.
Sayangnya, Dody tidak mencerna betul betul. Malah dengan sumringah ia menambahkan setelah ia berjalan keluar pintu.
“Kalau butuh apa apa, bilang ke Sabrina saja.
Anggap rumah sendiri, kak.” ujarnya sambil berlalu. Sementara, aku
memandangi mobil itu melaju keluar dari ambang pintu. Berlama-lama
disitu. Masih segan untuk menjajaki ruang dalam rumah sendiri.
Akhirnya, aku mengerahkan segenap daya untuk masuk
kembali. Aku takut yang di dalam curiga karena aku yang berlama-lama
tegak di ambang pintu, entah memandangi apa. Nyatanya, dia terpaut
dengan selembar koran pagi yang ia bentangkan lebar nyaris menutupi meja
makan. Lagi lagi, aku menghiraukan.
“Maaf Kak, sarapannya sederhana pagi ini.” aku
berujar sambil berharap cengar-cengirku membawa usaha untuk menceriakan
suasana. Tapi, dengan mata menghadap koran ia menjawab datar, “Oh, nggak
apa apa kok.”
Aku menelan ludah. “Kakak, mau minum apa? Kopi? Teh? Jus?—“
Ia tidak merespon sama sekali, sampai aku
menyebutkan, “—susu?” Ia baru menatapku setengah bingung setengah
melotot, kemudian menggelengkan kepala tanpa menyuara.
“Air putih aja,” ia menjawab juga.
Aku mengiyakan cepat dan segera berjalan menuju pantry terburu-buru. Masih mencari alasan sopan untuk menghindar.
“Semalam, kira kira jam dua pagi, aku dengar suara
perempuan nyanyi dari kamar mandi. Itu suara kamu ya?” tembak Samantha
dari balik punggungku.
Aku terus mengingat kebiasaanku yang suka terbangun
dini hari untuk menuntaskan ‘bisnis’ yang biasa datang mendadak.
Kebiasaan itu datang dengan kebiasaanku yang lain juga, yakni antara
membaca novel atau menyanyi. Sekarang ini, buku bacaan sudah aku lahap
habis. Maka untuk menyelingi kebiasaanku, aku tidak punya apa apa
kecuali uji tarik suara seorang diri. Aku ingat betul malam itu aku
terbangun lagi. Tepatnya pukul dua pagi. Aku ingat menyanyikan lagu
ballad popular kesukaanku, “Someone Like You” oleh Adele. Sungguh bukan
tipikal lagu kesukaan perempuan tangguh seperti Samantha.
“He-eh, iya kak.” jawabku malu malu. Harap harap
dia tidak berkehendak untuk mengomentari nada falset yang aku tiru dari
penyanyi aslinya—yang tentu saja gagal.
Syukur, komentarnya singkat saja. “Oh,”
Merasa sudah menguasai keadaan aku memancing
percakapan lagi saat aku mengantarkan segelas air putih ke hadapannya.
“Kok, kakak belum tidur jam dua pagi?”
Saat itu bola mata berseluput kontak lens warna abu
abu itu akhirnya beradu dengan mataku, dan saat itu dia menjawab.
“Gimana bisa tidur?” ia langsung meraih dan meneguk air putih dari dalam
gelas.
Aku tertohok. Sengaja aku biarkan kalimatnya
barusan membahana mengonsumsi setengah akal pikirku. Aku mencoba
menganalisa dari nada suaranya, sikapnya berbicara, kata katanya yang
terkesan ambigu—apa benar benar suara falsetku yang membangunkannya dini
hari itu. Selama aku berumah tangga dengan Dody—walau belum genap
setahun pun—Dody tidak pernah kelihatan terganggu dengan mekanisme
pencernaanku dan bagaimana caraku mengatasinya dengan ‘bisnis’ku yang
unik.
Sekalipun bersaudara, tidak menjamin karakter orang
pun akan sama. Aku makin yakin dengan hal itu. Dody, anak bungsu,
pembawaannya sangat penuh pertimbangan namun, selalu komunikatif. Ia
selalu tahu pilihan kata. Mana kata kata yang pantas atau tidak pantas
digunakan. Maka, aku salut ia terus konsisten memanggil Samantha sebagai
“kakak” dari dua puluh tujuh tahun hidupnya. Lain seperti teman teman
kami yang selalu merujuk saudara lebih tua dengan panggilan “oy” atau
“lo”, dan merujuk diri mereka dengan sebutan “gue”. Aku sadar semua itu
adalah usaha untuk mengakrabkan tali persaudaraan satu sama lain, namun,
kebanyakan batasan batasan mulai terkabur—yah, begitu pendapatku secara
pribadi.
Sementara, aku yakin Samantha sendiri punya
pendapat pribadi tentang hal tersebut. Walau aku yakin, akan bertolak
belakang dengan pendapatku.
Samantha kemudian bangkit dari kursi dan nampak bergegas pergi.
“Kakak mau ngantor?” tanyaku sambil
memperhatikannya melenggang menuju pintu. Tidak menjawab sepatah kata
pun. Aku kira dia akan menghabiskan hari di dalam rumah.
“Kakak, mau aku antar sekalian? Aku juga mau
berangkat ke kantor.” tawarku yang langsung teringat akan lokasi kantor
kami yang berdekatan. Ironisnya, dua kantor agensi periklanan yang
letaknya berdekatan dan saling berkompetisi. Wajar saja, kalau selalu
aku mendapat sikap dingin dari Samantha.
“Nggak, thanks. Gue ada presentasi. Macet, gue naik
busway aja.” katanya sambil berlalu menjauh sampai keluar halaman
rumah. Aku memandangi lagi dari ambang pintu sambil memikirkan jawaban
yang kurasa kurang logis itu. Jelas akan lebih cepat sampai kantor bila
ikut tumpangan.
Waktu menunjukkan nyaris pukul tujuh pagi, aku
masuk dan menguncikan pintu untuk terakhir kali sebelum berlepas menuju
jalanan Thamrin yang akan semakin padat.
Dua puluh menit kemudian—setelah jatah waktu ikut
terpakai untuk mencari tempat parkir—sebuah paket datang di meja
resepsionis. Katanya di tujukan kepadaku. Betul aku buka saja
kemasannya.
To : Ms. S. Surjabrata.
Paket itu datang dari Singapura setelah membaca
balutan kertas putih pelapisnya. Aku heran mendapati beberapa mounting
board dengan beberapa desain grafis yang ikut tertempel diatasnya. Hasil
seni seperti ini kurang familiar untukku yang adalah seorang media buyer. Lebih cocok ditujukan kepada art director. Lagipula,
aku sendiri tidak pernah memesan lukisan lukisan—atau bentuk kesenian
apa lah—dari luar negeri. Aku sendiri mendengus heran.
Lalu, aku menelaah lagi kiriman itu. Lucu, mungkin
mereka tidak aku kirimkan undangan pernikahanku, lantas staff perusahaan
kurir barang ini mencantumkan embel-embel “Ms.” ketimbang “Mrs.”
Aku hanya bisa menggeleng-geleng.
Namun, aku tertegun. Apa betul kiriman ini
ditujukan kepadaku? Tidak biasanya, perusahaan kurir besar seperti
FedEx, bisa salah perkiraan. Dan, aku ingat ingat lagi. Tadi terlintas
istilah art director barusan saja. Kemudian, sesosok wanita
yang sudah tentu terlintas di bayanganku. Celana peranakan jins dan
legging itu membalut ketat kaki jenjangnya yang ditopang oleh sepatu
boots berhak sama hitam dengan baju blusnya. Bahu blus sabina yang
menguak jatuh setara dengan ketiak. Menguakkan aksara unik berbentuk
lebih kompleks dari abjad romawi. Wanita itu tengah mengapit rokok
ramping rendah nikotin ditangan kiri, sedangkan di tangan kananya, ia
sibuk mengenggam geram stylus dari drawing pad. Ia menoleh padaku yang
mengintipnya dari ujung kamar tamu. Kedua kantung mata itu menatap lesu.
Satu nama tercetus di benakku. Nama yang berawalan
sama dengan huruf awal yang tercantum di kolom penerima. Nama yang
membuat keliru pengirim barang.
Aku bergegas keluar gedung sebelum sempat mengisi
atensi pagi. Aku berlari dua blok gedung jauhnya. Pasrah sudah dengan
badanku yang kini bau matahari pagi, hanya untuk menemukan wanita
berdahi keriting yang sedang mondar mandir di depan gedung kantor sambil
menggenggam telefon di telinganya. Ia mengenakan setelan hitam hitam
lengkap dengan sepatu boot berwarna senada. Tak lupa rambut keriting
kepirangan yang mengimbangi.
“Samantha!” pekikku lega sambil menghampiri dia
yang kini terkejut bukan main. Entah karena kedatanganku, atau seonggok
papan papan besar yang aku bawa berlarian satu ruas jalan tersibuk di
kota.
Ia menghambur menghampiriku yang bercucuran keringat di anak tangga.
“Ini?? Beneran??” tanyanya dengan hati hati sambil
memilah-milah papan tersebut. “Lo dapat darimana? Lo—lo—lo bener bener
gila ya!”
Aku kebingungan melihat sikapnya yang
tergopoh-gopoh masuk ke dalam bangunan sambil memeluk papan papan itu
seperti anaknya sendiri. Persis seperti ilmuwan gila yang sukses
bereksperimen. Semua mata memaku kepada Samantha yang sekarang berlari
masuk ke dalam lift, meninggalkan aku sendirian di halaman kantor
pesaingku.
Aku menyudahi misi ini dengan tersenyum hambar, kembali berjalan ke kantor dan mengisi atensi dengan yang tertunda.
Selebihnya hari terasa seperti biasa. Kerja, makan
siang dan kembali kerja. Hingga satu jam sebelum jam pulang aku mendapat
pesan singkat. Samantha memintaku untuk menjemputnya pulang dari
kantor. Misi ini belum berakhir seperti yang aku kira.
Sore itu sengaja aku keluar beberapa menit lebih
awal. Walau letak kantor kami hanya berjarak beberapa blok di ruas jalan
yang sama, aku harus mengelilingi satu jalan penuh untuk bisa
menyandangi kantor Samantha. Jakarta betul betul ribet, ya?
Untung saja, Samantha tidak menunggu lama. Ia baru
saja tiba di lobby depan gedung kantornya. Kini sepatu boots itu sudah
ia tukar dengan sepasang sandal jepit. Rambut keriting itu dia sanggul
dengan sederhana. Ia langsung merebahkan dirinya yang nampak begitu
kelelahan di kursi penumpang depan. Aku hanya bisa mengamati setelah
teguranku dibalas dengan seadanya. Aku kembali fokus ke jalanan yang
mulai merayap padat.
Kesunyian itu mulai terusir saat bunyi kaca jendela
di rendahkan dan bunyi pemantik dinyalakan. Dengan pasrah, lagi lagi
aku iyakan dia merokok. Kali ini di dalam kemudi mobilku.
Lalu, ragu ragu aku bertanya, “Kakak, mau diantar pulang ke rumah kita atau ke rumah Ibu?”
“Terimakasih ya,” sahutnya sumbang.
“Untuk apa kak?”
“Untuk yang tadi pagi. Masa lo lupa? Lo kok bisa
tahu itu kiriman buat gue? Gue udah mampus di presentasi kalo lo nggak
datang, lari lari sambil bawa order printing gue buat klien.”
Aku hanya menjawab tersipu. “Saya kira salah kirim,
kak. Nama depan dan alamat kantor kita nyaris sama. Saya sadar
panggilan di kolom pengirim. Saya pikir mereka salah tulis, rupanya
engga, mereka salah lacak. ”
Samantha tertawa mendengar penjelasanku, dan asap
itu ikut terkepul-kepul keluar dari mulutnya. Lalu, ia nampak merenung.
Sekejap saja. Mata itu beradu kepadaku lagi, hanya saja, aku tidak takut
lagi. Bahkan tidak segan pula.
“Jauh banget, ngeprint sampe Singapur.” celetukku.
“Yah, wajar aja kalo agency gue ketimbang lebih maju dari agency lo, Sab.” balasnya. Sejenak aku diam dan mencerna sinisme itu. Aku hanya bisa memanggut-manggut.
“I owe you so much, Sab.” ia menyambung tulus.
Senyum itu terukir di wajahnya yang selama ini
terlihat begitu muram. “Lo bisa berhenti di halte busway. Gue pulang ke
apartemen baru gue. Satu halte jaraknya dari sini.”
Dadaku terdesak rasa bangga. “Selamat, kak!”
“Akhirnya, Sab. Gue nggak perlu lagi hidup nomaden
lagi! Kalian nggak perlu khawatir buat nampung gue lagi!” cetusnya
dengan tawa bangga sembari menggerakkan jarinya menekan tombol pemutar
radio mobil.
Senyum pun ikut terukir di wajahku. Hingga radio
memutar melodi piano yang aku kenal. Mendayu-dayu. Sial, kenapa harus
lagu ini di saat keadaan mulai nampak membaik terkendali.
Aku setengah menundukkan wajah kearah batang setir.
Melawan hasratku untuk ikut menyanyi. Aku bertahan hingga lagu memasuki
chorus, bagian yang paling aku suka. Sial lagi. Mobil berhenti di lampu
merah. Kalau Samantha tidak berada disebelahku aku akan menyanyi falset
sekonyong-konyongnya. Oh, bila saja—
Nevermind, I’ll find someone like you
I wish nothing but the best for you two
Aku melongo saat mendengar kakak iparku menyanyikan
lirik lagu. Kemudian ia mengerling kepadaku, seperti memberikan
isyarat. Kemudian, terjadilah duet maut falsetto di dalam ruang kemudi
Honda Jazz hitam di tengah lampu merah.
Don’t forget me, I’ll beg
I remember you said
Sometimes, it lasts in love
But sometimes, it hurts inste-eeead
Sometimes, it lasts in love
But sometimes, it hurts instead
Selepasnya, kami menghambur dalam tawa.
“Kakak… suka Adele juga, ya?” aku tidak bisa menampik pertanyaan yang terlintas dibenakku pertama kali.
“Kenapa? Lo kira cewek potongan kayak gue ini ga bisa galau juga apa?” balasnya ketus—hanya saja, aku tidak keberatan.
“Berarti, suka ini juga dong—BUT I SET FIIIREE, TO THE RAIN WATCHED IT POURS…” aku menirukan sebelum dengan dingin kembali Samantha berkata. “Nggak.” tegasnya—setengah bingung, setengah melotot.
Apa boleh buat, masih ada sepuluh menit lagi sebelum sampai ke halte.
Comments
Post a Comment