In reverse part I
This costs me to abandon my dissertation progress. This costs me to stop spending time with friends in a while. But, I hope this worth for a long run. I have six more left in my document folder, and the rests are under hearty progression. This one is the beginning.
she wants to outrace her maturity clock, he wants to catch what he had missed
In one city, two different, desperate commitment attached.
In one city, two different, desperate commitment attached.
IN REVERSE
taken from weheartit.com |
“Maaf, mbak, gate D7 dimana, ya?”
Akhirnya setelah sang petugas kebersihan terminal
menunjuk ke arah kiri,
“Disana, Mas.”
Galuh beserta Kinan, sang kekasih, bergegas menggeret
koper-koper kecil mereka yang seukuran satu perempat kabin, menyusuri koridor yang
dipenuhi ragam toko cinderamata bandara. Mereka nampak tergesa gesa.
Belum pernah ke luar negeri. Siapa yang menyangka dibalik gaun bermotif
bunga keluaran butik ternama, kemeja polo necis dan kacamata Ray-Ban berhasil menyembunyikan
itu semua. Mungkin, itu yang membuat mereka gugup dan mewanti-wanti satu sama
lain untuk tiba di terminal internasional secepat mungkin. Meski dalam
artiannya, duduk satu jam tiga puluh menit lebih awal di ruang tunggu dari
jadwal lepas landas.
Empat puluh lima menit waktu habis oleh Galuh yang
asyik memandangi stempel imigrasi pertama di lembar awal paspornya, sembari
menanti panggilan untuk boarding di
ruang tunggu. Sementara duduk disampingnya, Kinan bersembunyi di balik poni
rambut, menunduk. Entah malu melihat kelakuan kekasih yang dipikirnya terlampau
udik dan berlebihan. Walau sendirinya, menampik secara naïf sebuah fakta bahwa
keduanya memang belum pernah berpergian keluar Indonesia. Maka dari itu, ia
mengalihkan perhatian dengan gadget
android di pangkuannya.
Sebetulnya, ia tidak betul betul berkutat dengan gadgetnya ataupun halaman twitter timeline yang tengah ia buka. Ia
memandangi penumpang yang silih berganti masuk memenuhi kursi ruang tunggu. Ada
keluarga dengan dua anak pra-remaja yang nampak anteng dengan permainan konsol
di genggaman. Ada segelintir pasangan, asing dan lokal, yang nampak sama muda
seperti Kinan dan Galuh. Alih alih mengenakan pakaian kasual yang sedap
dipandang mata, mereka hanya mengenakan kaus katun dengan corak sederhana dan
celana pendek. Kinan juga memandangi tas
ransel raksasa di punggung mereka secara heran dan takjub.
Sadar atau tidak, sebenarnya para pasangan muda itu
sungkan duduk bersebelahan dengan Galuh dan Kinan, ataupun koper koper kecil
mereka yang dengan sombongnya menempati satu-dua kursi kosong disekitarnya.
“Ladies and Gentlemen, flight TG 1407 is ready for boarding.”
Begitu pengumuman boarding tersiarkan, kedua bola
mata hitam itu berbinar binar menatap Kinan.
“Akhirnya kesampean juga kita liburan ke luar, yang!”
seru Galuh sumringah sambil menggamit jemari jemari Kinan yang tadinya sibuk
menggulir layar tablet.
Kinan mengiyakan dengan senyum datar yang
menyembunyikan penyangkalan kegembiraan dan segelintir rasa gengsi untuk
mengakui. Namun, terlambat sudah, saat salah satu pasangan muda lokal perlente
tegak dari kursi menyengir masam. Terlihat menghakimi mereka berdua yang di
mata mereka nampak terlalu nekat bergaya untuk ukuran orang yang belum pernah
keluar negeri.
Kinan bersungut wajahnya. “Udah, yuk, ah.” Ia
menepuk-nepuk lutut Galuh, tidak sabaran dan berjalan dengan penuh percaya diri
ke antrean di depan boarding gate. Berbaris persis di depan pasangan muda
perlente itu. Kinan masih mengangkat dagunya, sampai petugas bandara menegur.
“Maaf, Bu. Sekarang boarding hanya untuk penumpang
dengan nomor kursi 70 sampai 50 saja. Nanti selanjutnya, baru penumpang dengan
nomor kursi 50 sampai 25.” ujar sang petugas setelah mengamati boarding pass
Kinan. “Silahkan tunggu dibelakang.” tutupnya.
Di pandangi oleh
dua sorot mata yang nampak familiar, Kinan terpaksa menggeret Galuh beserta
koper mereka keluar dari barisan. Lagi
lagi merasa tercemooh.
Skak Mat.
Kandas sudah nafsu berlibur Kinan ke Bangkok.
Sayap besi itu menukik turun dan membelah kumpulan awan
di hadapannya. Galuh mulai merasakan lantai pesawat yang bergetar-getar.
Perlahan ia tumpukan kedua telapak kakinya di atas footrest kursi pesawat. Masih saja ia merasakan, kakinya dengan
samar samar terguncang seperti di kursi pijat. Ia memejamkan matanya, pura pura
tertidur, dengan tungkai leher yang sengaja ditegakkan lurus. Dari balik
matanya yang terpejam, diam diam ia mengintip. Ke arah Kinan yang masih asik
mengetuk-ngetuk layar tabletnya dari lepas landas tadi.
“Ladies and
Gentlemen, this is your captain speaking. We are experiencing a slight turbulence. May you return to your seat and be
seated in upright position. The use of lavatory is prohibited during this
situation for your own safety…”
Galuh menelan ludahnya.
“Yang, udahan dong main tabletnya.”
“Memang kenapa?” Kinan menjawab acuh.
“Lagi cuaca buruk begini.”
Kinan lalu menoleh dengan ekspresi wajah datar saja.
Berikut timpalannya yang diucapkan dengan sinisme “Jadi saya membahayakan nyawa
ratusan penumpang pesawat beserta kru nya, begitu?”
Mata Galuh terpaku keluar jendela di sebelah
kanannya. Memandangi bagaimana awan awan
ikuti kembali bergulir seiring pesawat terbang makin merendah seolah
menghampiri. Bagaimana sayap sayap besi itu kembali menerobos kumpulan awan
yang lebih tebal. Bagaimana seluruh
anggota tubuh Galuh seakan akan terhempas ringan dari atas ke bawah. Kini, ia
membenamkan wajah pucat pasi di meja lipat di hadapan. Masih sisa satu jam
empat puluh menit lagi sebelum mendarat—batinnya.
“Yang, tolong dimatiin dong tabletnya,” terdengar
ringisan dari balik meja lipat.
Kinan mendesah kesal. Kalau Galuh bisa melihat di
sekelilingnya, para penumpang lain nyaris tak terganggu dengan sepasang headset
dan monitor in-flight entertainment di hadapan mereka.
“Lain kali, kita naik odong odong ke Bangkok, yang.” sindirnya
untuk terakhir kali, sebelum menghabiskan satu jam empat puluh menit di atas
udara dengan in-flight magazine yang terdapat dari saku kursi. Terpaksa di baca
dua kali sampai habis sebelum pesawat benar benar mendarat.
Lima belas menit setelah mendarat, keduanya
mendapatkan stempel kedua di lembar awal paspor mereka. Resmi sudah Kinan dan
Galuh keluar negeri. Logika Galuh setelah sampai di bumi Bangkok adalah untuk
berfoto foto sebanyak mungkin. Sudah lima puluh foto terkumpul dalam perjalanan
dari pesawat, menuju eskalator terminal, menuju imigrasi hingga akhirnya sampai
di pengambilan bagasi.
“Yang, fotoin aku disini.” Galuh menunjuk kepada
sebuah patung manusia setengah burung dengan sayap terbentang dan mahkota emas
yang nampak macam antena.
Belum siap Kinan mengeluarkan kamera digital saku
dari tasnya, Galuh sudah ancang ancang mengambil pose. Yakni mencangkungkan
kedua batang kaki bak ballerina dan membentangkan kedua lengannya setinggi
mungkin. Kemudian, tersenyum dengan sengaja memonyongkan barisan gigi depannya.
Memamerkan gusi hitam akibat kebiasaan merokok yang parah.
Saat ditanya kenapa Galuh rela berpose bak idiot
seperti itu oleh Kinan, ia hanya menjawab.
“Biar mirip ama patungnya, yang.”
Kinan hanya terkikih. “Kalau kamu mah, engga usah
maksain pake pose aja sudah mirip.”
Galuh keluar dari sikap posenya sejenak. “Ih, kamu
emang paling senang ya ngatain aku. Ya udah, gih, buruan ambil fotonya.” Ia
kembali mengepakkan kedua lengannya, persis burung, kemudian (masih) mencoba
tersenyum dengan gigi depan dimancungkan. Mungkin untuk menyembunyikan ekspresi
muka yang cemberut.
Kinan buru buru menjepret gambar dan menyerahkan
hasilnya ke Galuh. Sambil berwaspada terhadap sorot mata turis lain yang seakan
mengejek seberapa kampungan pasangan muda ini.
Setidaknya Kinan harus minimal mengambil gambar lima
kali sebelum Galuh berkata sambil mengeritingkan bibirnya, “Hmm… Bagus juga.”
“Yang, cari nomor yuk. Buat tablet aku nih.” rengek
Kinan.
“Loh, nomor kamu yang dari Indo, kan bisa dipakai.
Bukannya sudah didaftarin kemarin?” jawab Galuh yang masih konsen melihat hasil
jepretan Kinan, yang berupa gambar sesosok pria muda umur dua puluh empat, di
dalam kemeja polo terbaiknya, bergaya bak makhluk mistis di sebelah patung
Garuda Thailand yang begitu mewah. Walau, nyaris hilang kesakralannya karena
pria berkulit gelap, berpostur tubuh seadanya dan berambut bergelombang itu
berada di sebelahnya.
“Itu lah yang. Jaringannya tiba tiba error begini.
Udah lah, aku ganti nomor sini aja. Cari konter yuk.” Kinan menebarkan pandangannya
ke penjuru bandara untuk menemukan beberapa sosok ibu-ibu atau bapak-bapak,
yang nampak kipas kipasan di balik meja kaca yang menjajarkan berbagai macam kartu
perdana warna warni. Namun kenyataannya tidak begitu di Bangkok.
“Udah lah, nanti saja. Lebih baik kita cari hostel
dulu, baru nanti cari nomor. Pasti di sekitar kawasan turis. pasti banyak.”
Kinan bersungut. “Hostel…Kawasan turis… Kamu memang
sudah tahu kita mau nginep dimana?”
“Disini,” Galuh merujuk pada peta yang baru ia ambil
dari konter informasi bandara. “Namanya Khao San Road. Banyak tempat penginapan
murah meriah.”
“Kesana mau naik apa?”
Galuh menjentik jentikkan jemari padatnya ke dagu. “Naik
bus aja gimana? Biar ada petualangan.”
Kinan menengok ke jam tangannya. Waktu menunjukkan
pukul enam kurang lima belas menit, dan sewaktu waktu, suasana hari akan
menjadi gelap. Kinan menuturkan hal itu kepada Galuh. Namun, sang kekasih
menyanggupi dengan segenap percaya diri.
“Naik bus aja. Percaya ama aku deh, pasti mudah.”
Rasa ragu yang Kinan sengaja sisihkan pun menciptakan
penyesalan kecil. Setengah jam sudah berlalu dan habis digunakan mereka berdua
yang hilir mudik, menaiki dan menuruni lantai, sebelum akhirnya sampai ke
pangkalan bus shuttle antar kota. Galuh pun tersadar, ia hanya memegang
beberapa lembar Baht. Maka dari itu, sepuluh menit terpotong untuk mencari
konter penukar uang yang menawarkan harga wajar dan memiliki petugas yang memahami
Bahasa Inggris seadanya.
Akhirnya, berselang tiga bus dari bus yang seharusnya
mereka naiki lebih awal. Kinan dan Galuh berangkat juga. Menaiki sebuah shuttle yang menyerupai bus travel
Jakarta-Bandung. Menyusuri jalanan tol bandara Suvarnabhumi menuju jalanan
padat Khao San. Mereka menerka-nerka, kalau Jakarta ada Monas, Kuala Lumpur ada
menara kembar Petronas, di Bangkok ada apa yang menandai kota ini.
Galuh sibuk mengarahkan telunjuknya ke arah bangunan,
monumen, pepatungan dan kesana kemari dengan semangatnya. Sesekali mengambil
gambar dan mengajak Kinan mengobrol. Sedangkan, Kinan hanya duduk berselonjoran
dengan tablet yang kembali ia pangku. Menjauh dari percakapan dan membiarkan
Galuh bermonolog seorang diri.
Kinan tertegun saat tablet berwarna merah jambunya
hilang dari pandangan. Galuh serta merta mengepit tablet Kinan di bawah ketiak.
“Yang, kita ini lagi liburan. Kamu kan bisa main
tablet kapan kapan. Coba dinikmati dulu lah liburannya.” nasihat Galuh.
Kinan menyilangkan kedua lengan di depan dada.
Menatap Galuh penuh ketidak setujuan yang kini yang entah kenapa jadi sama
cerewet seperti sang ibu.
“Asal tablet saya engga pake diketekin dong.”
singgung Kinan.
Galuh menuruti dengan menyimpan tablet itu di pangkuan
dan diselubungi oleh jaketnya. Selanjutnya, pasangan itu tidak saling bercakap.
Galuh dengan sendirian asyik mengambil foto ke luar
jendela mobil, sementara Kinan hanyut menatap ke depan. Walau entah apa yang
sebenaranya ia tatap lurus lurus ke depan. Ia memperhatikan penumpang lain.
Rombongan backpackers yang duduk di kursi belakang.
Beberapa pasangan muda yang saling duduk berpencar baik di belakang, di depan
maupun di tengah mobil. Dan, satu satunya keluarga yang ikut berpergian di
mobil yang sama. Keluarga asing yang terdiri dari ayah, ibu dan kedua anak
mereka yang masih kecil nan rewel. Kinan memandangi anak perempuan mungil
dengan rambut keriting pirangnya merengek dan menunjuk ke arah mainan yang
tengah dimainkan oleh sang abang. Terus ia merengek, sampai akhirnya sang ayah
menepuk-nepuk punggungnya dan membuat suara, “hush, hush, hush.”
Tangisan yang memekik itu lama lama kian mereda di
dalam pelukan sang ayah. Kinan hanya memasati. Sebelum, sang ayah bule itu
menyadari dan mulai menimpali ke Kinan.
“She’s quite a
sleeper.” bisiknya.
Kinan membalas kembali dengan senyuman, tanda
memaklumi. Ia kemudian menoleh ke arah Galuh yang masih sibuk, acuh-tak-acuh,
menangkap gambar kota Bangkok lewat kameranya. Kemudian, bergantian memandangi
kembali sang ayah yang masih menidurkan si bungsu. Kemudian, gantian memandangi
sang anak sulung yang tengah mengangkat-angkat pesawat mainan ke udara.
Selanjutnya, Kinan memandangi sang ibu dalam gaun
bermotif bunga yang anggun. Sedang membaca buku dengan tenang.
Terakhir, Kinan memandangi pucuk perutnya, dan
kembali lagi memandangi Galuh. Kali ini mengarahkan kameranya ke depan muka
sebelum memotret seperempat bagian mukanya bersama jalanan ramai kota Bangkok.
Rasa resah itu cepat cepat Kinan rebahkan ke alam
tidur.
Comments
Post a Comment