Batang Terakhir (Keping)

Damn, I should think of this for the previous "black cover" writing project. Also, I am always fascinated by the protective nature of siblings. Anyway happy reading :)


BATANG TERAKHIR (KEPING)


source : weheartit.com

“Bakti, lima menit lagi ya.” sahut perempuan dibalutan kebaya putih dari balik pintu. Bakti hanya mengiyakan patuh, kemudian pintu itu meninggalkannya sendiri, tertutup.

Di dalam perpaduan setelan jas modern dan balutan songket tradisional, Bakti terlihat gagah. Namun, air mukanya terlihat sangat gelisah dan pasrah.

“Mana rokok?” gumamnya sambil membuyar dari hadapan cermin. Mengharap satu kotak rokok muncul di dalam laci laci meja kopi. Tidak satu batang pun ia temukan. Sampai akhirnya, satu karton rokok sisa dari tadi malam tergeletak persis di atas meja kopi. Nyaris tak tergubris. Ia memburu isinya, sebelum akhirnya ia terkekeh sendiri. Karton itu pun hampa tanpa isi.

Bakti pun teringat akan siapa yang membakar batang terakhir dari karton tersebut.



Kali itu adalah kali kedua, pelayan kafe menghampiri meja Bakti dan mendapatkan penolakan halus, “Nanti saja, orangnya belum datang”—untuk kedua kalinya.

Jangankan untuk tahu kapan wanita itu akan tiba, menerka rupanya pun Bakti tidak bisa. Mereka hanya sempat bercengkarama di dunia maya lewat Facebook selama dua hari, sebelum memutuskan untuk bertemu disini. Sayang baginya, wanita itu enggan meletakkan identitas lengkap di profil. Profile picture-nya pun hanya sekadar gambar mawar merah liar merekah. Persis seperti makna nama wanita itu, Abla Humaira.  Apa perlu jadi misterius begitu?

Tapi, Bakti punya ekspektasi tersendiri untuk Abla.  Ia hafal keberadaan Abla yang selalu mencolok dari wanita kebanyakan.

Seperti sosok yang kini berjalan melintas di teras kafe.  Rambut hitam kepirangannya tergerai ikal sampai batas dadanya yang berisi. Lekuk tubuhnya mencuat dari balutan gaun hitam ketat yang jatuh satu jari di atas lutut. Kaki ramping itu bergerak ditopang oleh sepatu hak lima senti. Hentakan tumit sepatu yang keras ke lantai, membuat mata mata itu mengerling sejenak. Memperhatikan gerakan tulang panggul yang melambat, sangat sugestif.

Bakti menyiapkan diri  begitu wanita itu memasuki kafe dengan pandangan yang memicing, mencari-cari. Tebakan Bakti betul, Abla kini berdiri di hadapannya. Menyamarkan ekspresi muka yang tertegun. Rasanya Bakti hendak menghaturkan maaf, karena hanya berpenampilan seadanya. Jejak habis bercukur, kemeja flannel, jins dan sepatu pantofel favorit yang penuh bercak tanah.

Sungguh tidak nampak sepadan jika disandingkan dengan wanita berfitur sempurna seperti Abla. Setidaknya, itulah yang ada di pikiran pengunjung kafe. Mereka nampak mengenali skenario ini. Abla bukan pengunjung biasa, dan tamu yang biasa Abla temui di kafe ini juga bukan tamu biasa. Kebanyakan tamu Abla punya pundi-pundi harta yang sulit surut. Kebanyakan pula, tamu tamu Abla punya maksud tersirat, yang tidak lagi tersembunyi, yakni kepuasan lahiriah yang mendesak. Dan, Abla adalah solusi yang mereka pandang sempurna. Sesosok penjamu tersohor di kalangan mereka.

Menghadapi Abla yang kini duduk di hadapannya, tanpa cakap, membuat jantung Bakti kian berpacu. Ia menundukkan wajah canggung. Sebelum akhirnya, ia dengan sama canggungnya, ia berdiri dari kursi.

“Kita pindah di luar saja,” ajaknya.
Dengan wajah bersungut-sungut, Abla yang baru saja terduduk, terpaksa menyanggupi.
Begitu mereka mendapati meja kosong secara acak, Bakti merebahkan diri kursi. Tangannya menggapai saku kemeja. Mengapit satu batang rokok diantara atas bawah bibirnya.
“Gue nggak punya banyak waktu. Kok bisa sempat-sempatnya lo ngerokok?”

Masa bodoh, Bakti hendak menyulut batang rokok dari karton yang isinya mula habis. Hendak menikmati momen ini. Degupan jantung yang mulai tenang, serta, percikan perseteruan yang ia rindukan lima tahun lamanya. Sial baginya, Bakti lupa membawa pemantik.

Abla ikut menyerbu karton rokok. Bakti tidak keberatan. Mungkin saja masih ada satu-dua batang lagi tersisa di dalam karton. Hanya saja, pandangan Abla tajam. Rokok itu sengaja belum ia sulut, masih terkepit diantara kedua jarinya.

Akhirnya, Abla mengulurkan pemantik kepada Bakti selepas ia menyulutkan rokok. Pemantik termanis yang pernah Bakti lihat. Berwarna merah muda lengkap dengan stiker simbol perdamaian bundar berwarna hijau.

Bakti menjajarkan rokok yang ia kepit di bibir dengan api biru yang mulai nyala di atas pemantik. Ia menghisap dari pangkal manis rokok dan menghamburkan asapnya ke udara, lega. Dadanya terasa lapang. Ia mulai tahu percakapan ini harus disetir kemana.

Baru hendak ia bercakap serius, Abla tertawa.
“Kenapa?” Bakti terheran-heran.
“Nggak.” tampik Abla, yang kemudian melanjutkan kembali dengan tawa. “Lucu aja ngeliat lo ngerokok. Terakhir kali ketemu, lo cuma setinggi bahu gue, tahu tahu sekarang udah bisa merokok.”

Bakti ikut menyambut dengan tawa. Seharusnya Abla tahu, bukan hanya dirinya yang saat itu merasa geli. Bakti pun tergelitik melihat sosok sang kakak yang dulu ia kenal penurut dan kemayu, tiba tiba terlihat sangat terbiasa menghembus-hembuskan asap rokok tanpa terbatuk-batuk. Kalau bisa menghakimi, Bakti hanya memposisikan diri sebagai adik kecil yang terlanjur tahu luar-dalam Abla. Lepas dari kritik sosial.

“Paloma, apa kabar, kak?” tanya Bakti.
“Baik,” Abla menyambut dengan senang.
“Aku mau ketemu Paloma. Masa cuma lihat dari facebook, doang.”
“Iya, nanti. Kita sendiri baru saja ketemu.”
Senyum terukir dari wajah Bakti. Rasa bahagia bertemu keping yang sempat terpisah.
“Jadi lo mau ngasih apa ke gue? Gue beneran nggak punya banyak waktu.”
Bakti langsung teringat dan memberikan sebuah amplop putih cantik yang dari awal sudah ia siapkan untuk Abla. Abla hanya mengernyitkan dahi saat menerimanya. Tanpa perlu membuka isinya, ia tahu persis apa yang sedang ia genggam. Serta-merta, mata Abla berkaca-kaca.

“Terakhir kali gue ketemu, lo masih setinggi bahu gue…”
Abla menyembunyikan air mata cengeng itu. Mengerjap-ngerjapkan matanya yang berlunturan tinta maskara hingga membasahi pipi.
“Sudah lima tahun kali, kak…” canda Bakti, berusaha membuat Abla berhenti sebentar jadi emosional.
Abla hanya tertawa datar sambil mengusap wajahnya dengan punggung tangan. “Gila, lo sekarang udah 22 aja.” komentarnya, takjub. “Cewek lo, anak mana?”
“Teman kuliah dulu kak. Orangnya pintar dan asik, kakak pasti suka.”
“Oh,” ucap Abla singkat. “Lo benar benar yakin soal ini?”
“Yakin, kak.”
“22 itu muda banget loh. Gue nggak mau, kalau lo bikin kesalahan gara gara kelabilan lo.”
“Maksudnya kayak kakak?”
Bakti bisa melihat Abla yang sama sekali tidak tertohok, malah menerima dengan sepenuh hati. “Cukup gue yang diusir dari keluarga sendiri karena kelabilan gue. Jangan sampai lo, diusir dari keluarga lain karena kelabilan lo.”

“Tapi, gue percaya kok sama jagoan macam lo,” lanjut Abla kemudian.
“Thanks,” Bakti menyimpulkan senyum.

Tidak sampai sepuluh menit dari pertemuan singkat itu, sesosok pria menginterupsi mereka. Penampilannya sama perlente dengan Bakti, hanya saja sosoknya lebih tinggi dan besar. Ia tidak bercakap apa apa, cukup menegur Abla dengan isyarat nanar. Gerak geriknya seakan membuat Abla tunduk patuh. Laki laki itu ingin menyegerakan mereka untuk mengakhiri pertemuan.

Bila Bakti mengikuti naluri protektif seorang saudara, sudah habis lelaki besar itu digulat habis berdarah di teras kafe, saat ini juga oleh mantan preman cilik ini. Namun, Bakti terpaksa mengikuti isyarat sang kakak yang berkata, “jangan”, saat berbagi kerlingan mata.

Bakti hanya memandang Abla yang meninggalkan teras kafe dengan senyum getir. Sebelum mereka berjalan menjauh, Bakti sempat menghampiri Abla yang berdiri lima jengkal dari tempatnya berdiri.

“Kakak, nanti besok datang kan?” tanya Bakti dengan penuh harap.
Abla hanya menyimpulkan senyum sebelum tergesa-gesa menjawab, “Dipikir-pikir dulu ya.”

Lalu, Abla hilang di belakang kaca mobil yang hitam tak menerawang. Bakti hanya menatap pasrah keping yang pergi lagi itu. Enggan membayangkan apa yang akan terjadi setelah mobil itu terparkir. Ia buang jauh jauh pikiran yang bukan bukan. Namun, di hatinya yang paling dalam, ia juga tahu, kakaknya adalah seorang jagoan.

Andai kata keping itu kembali datang saat ini, Bakti tidak perlu meresah dan mencari-cari rokok dengan gelisah.

Bakti memutuskan untuk sekadar mengambil udara segar pula. Masih lima menit lagi, ia acuh tak acuh berdiri sekadar mengaso di luar gedung acara. Mati gaya mau melakukan apa.

Hingga sekelebat bayangan pendek berlalu di hadapannya. Sempat membuatnya tersentak kaget. Rupanya siang itu Bakti tidak sendiri. Disana, ia ditemani sesosok gadis kecil dalam gaun merah muda dan sesosok pria yang sempat ia kenali. Gadis itu bersembunyi malu di balik kaki sang pria tersebut. Mengintip celah untuk menatap Bakti.

Laki laki itu datang mendekat. Kini, Bakti begitu yakin bahwa ia mengenal pria itu dari wajahnya yang nampak jelas. Dengan keramahan yang tidak ia duga,  Pria itu menawarkan sebatang rokok dan mengulurkan sebuah pemantik.

Merah muda lengkap dengan stiker perdamaian bulat berwarna hijau.

Keping itu tidak pernah ingkar janji.

Comments

Post a Comment

Popular Posts