Dakota
Since, I will be away for a while and I don't want you to miss me so much. As if. I post one of my writings. Recently I posted on tumblr and I submit this to participate a writing project, but then it was turned down. That's okay. In a way, this is a good read especially if you love Stereophonics and I recommend you to play "Dakota" along while reading this. This is purely inspired by the song. Non-Indonesian speakers, you can refer to Google translate to translate this page, because you don't wanna miss the story. As If. Every time I heard the song I just can't stop to visualize a cold town, a cliff and a chained telephone box. What do you visualize?
DAKOTA
source : pinterest.com
Pagi itu Ben terbangun dari tidurnya, merasa
terperkosa. Begitu awal yang dramatis untuk memulai suatu hari. Ia
mengumpulkan seluruh usahanya untuk tegak dari kasur, tapi ia terlalu
lelah. Lelah karena tercibir. Oleh selimut yang berbalut kusut
menyelubungi pinggangnya. Oleh bantal yang kini berserakan di bibir
rangka tempat tidur. Oleh secarik kertas yang tergeletak di samping
tubuhnya.
Don’t look for me.
D.
Permainan psikologi itu begitu mudah untuk ditebak.
Alamat itu tertera di belakang kertas. Dia ingin Ben untuk terus
mencari. Ben punya waktu kurang dari dua puluh empat jam untuk pergi
dari Manhattan menuju Montauk dan kembali lagi kota New York sebelum
berlepas landas ke tanah air. Ia sanggupi tantangan itu demi satu nama.
Dakota Redwood.
Ben harus berjibaku melawan padatnya The Big Apple
di pagi hari. Rasanya begitu mustahil. Kali itu intuisinya mengatakan
menyerah saja. Namun, ia tidak bisa menunggu sepuluh tahun lagi. Ia
harus tetap berjalan. Penn station hanya beberapa blok lagi.
Mungkin Tuhan mengizinkan Ben untuk menyanggupi
misinya.
Tiket kereta ekspress ke Montauk sudah ada di tangan. Kini, Ben
tinggal duduk tenang di kursi kelas ekonomi terakhir. Walau rambut
hitam sebahunya yang tergerai sama kusut dengan wajahnya kala itu,
menyita perhatian sepasang kakek nenek yang duduk berhadapan dengannya.
Ben hanya menyunggingkan senyum canggung hingga keduanya memalingkan
muka. Ben tidak keberatan. Ia tahu dua jam lebih ke depan perjalanan ini
akan lebih menyiksa.
Biasanya Ben akan memilih satu bangku panjang yang
cukup merebahkan badannya yang menjenjang 180 sentimeter tingginya. Ia
akan bersandar di kedua tungkai paha yang mungil itu, dan membiarkan
jari jari feminin menjajaki jalin-jalinan rambutnya.
“You’re the one,” perempuan berambut merah itu berbisik.
“You’re the one,”
Setelah itu Ben akan terlelap sampai ke tujuan.
Kemudian, dibangunkan dengan bulu usil yang sengaja menyeruak masuk ke
dalam lubang hidungnya. “I hope you didn’t catch a bad dream.” sambung si rambut merah sambil memamerkan kalung dream-catcher khas Indian yang mengayun-ayun dari leher.
Ben hanya tercengir mengingat semuanya seraya
memandang keluar jendela. Menatapi pemandangan bangunan pencakar langit
yang mulai tergusur oleh pemandangan yang lebih membumi dan bersahabat.
“Did you drink this before?”
Suara pak tua tiba tiba memecah keheningan . Ben
keliru, pak tua ternyata sedang berbicara kepada sang istri, bukan
kepada dirinya.
“Why do you give me half-empty cup of coffee? I wanted a cup full.”
protes pak tua sambil menunjuk secangkir kopi yang terlihat seperti
diperoleh dari kedai kopi bermerek, sebagaimana logonya tercetak di
badan wadah kopi yang berwarna putih. Tutup cangkir itu sengaja ia buka
seakan memperkuat bukti, Ben bisa melihat cairan pekat menempati
setengah ruang wadah dari cahaya matahari yang menerawangi lewat
jendela.
“Okay—Okay, I’m sorry. It went spilled.” aku sang istri. “But, I can say you have a half-cup full of good Java roast.” lanjut sang istri setengah acuh, setengah menghibur.
Pak tua menatap hingga ke dasar cangkir sambil
berdecak kecewa. Menyadari Ben yang dari tadi tengah menyaksikan
perdebatan singkat itu dengan membisu.
“What do you think, boy?” ia mendelik kepada Ben.
Ben sempat terkesiap beberapa saat. “This roast embodies dark and thick. A sip would give the elders strong kick.” dengan mata yang mencari cari sesuatu di langit kereta Ben menjawab begitu.
Kedua pasangan jadi saling berpandang heran. Ben menjawab dengan tawa yang terkawal. “I am not pessimist, nor an optimist. I am just poetic.”
Ben tahu betul reaksi seperti itu. Tawa yang
dibiarkan terkulum dan kernyitan di dahi, heran. Ia hanya bisa
memaklumi. Ia bahkan sering meragukan semuanya sendirian. Apa orang
puitis punya tempat di dunia yang berkarakter yang nyata dan penuh
analisa—optimis dan pesimis. Bila pun ada tempat, Ben masih harus
mencari untuk lari kemana. Sekarang yang ia yakini tempat itu bernama
Redwood Cabin.
Di dalam rumah berkayu putih itu, Ben bersama
Dakota akan menghabiskan waktu berdua saja selama satu atau dua hari.
Tidak beranjak dari tempat tidur. Dari selimut yang membalut badan
mereka jadi satu. Ben masih ingat setiap pagi ia akan dibangunkan oleh
secangkir kopi hitam dengan aroma menyeruak ke penjuru ruangan.
Sedangkan, Dakota duduk di pinggir kasur dengan senyum terbaiknya
mengucapkan selamat pagi. Harusnya, pagi tadi akan kembali mengulang
seperti sepuluh tahun kemarin. Alih alih menemukan Dakota meminum jus
jeruk kesukaannya seraya duduk di samping badan Ben yang terebah letih
di atas kasur, Dakota ditukar oleh kehadiran secarik kertas yang berisi
pesan. Ben tidak perlu itu.
Ben terus berfikir sendiri tentang beberapa jam
belakangan. Apa betul, kata itu patut ia sebut terperkosa? Karena, pagi
itu ada yang terenggut dari dalam dirinya. Bukan kali ini Ben pernah
bercinta. Ia bukan lagi perjaka. Ben bisa tidur dengan model-model
cantik yang ia temui tiap hari di tempat kerja, kalaupun ia mau. Tapi,
ia tidak mau. Masalah cinta selalu ia tuntaskan dengan feminin, hanya
kepada Dakota seorang.
Cuaca di luar kereta tidak seramah musim panas di
bulan Juni. Ben patut bersyukur kali itu tidak ada hujan es. Hanya saja
jalanan licin beralaskan salju cukup mempersulitnya untuk berjalan.
Setelah menyambung perjalanan dengan bus menuju daerah danau. Butuh lima
menit jalan kaki untuk menuju alamat yang ia datangi. Ben sekarang
tegak di depannya. Sebuah bangunan rumah townhouse yang
berdindingkan marmer abu abu yang menghadap danau dengan airnya yang
beriak tenang. Ia menguatkan diri untuk masuk melalui pintu pagar
setinggi pinggangnya yang dibiarkan tak terkunci.
Seorang wanita tua berambut keriting putih membuka
pintu setelah tiga kali bel rumah Ben tekan. Ia lantas bertanya-tanya
akan populasi tempat ini yang nampaknya selalu dipenuhi oleh orang
lansia yang tidak ramah.
“May I help you?” sambar wanita itu.
“I am looking for Dakota Redwood.” jawab Ben tanpa memberitahukan namanya terlebih dahulu.
Wanita tua itu menekukkan mukanya sebelum menjawab, “There’s no Dakota Redwood.”
Pintu di hadapan Ben langsung terhempas ke dalam, menutup kencang.
“B-b-but.”
Tanpa di bel untuk beberapa kali lagi, pintu itu
kemudian terbuka lebar. Wanita tua itu menghambur, meletakkan sebuah
kotak ke hadapan Ben.
“Your friend left something.” ketusnya untuk terakhir kali sebelum menutup pintu kembali.
Di depan pintu, Ben langsung bertekuk lutut.
Menyingkap isi di balik kotak berwarna hijau gelap itu. Ia yakin kotak
itu milik Dakota karena sebuah dream-catcher kecil nampak terjepit dari
tutup kotak. Ben mencari-cari ke dalam kotak itu. Alamat atau nomor
telefon, sambil berharap wanita tua itu tidak keberatan halaman rumahnya
berserakan kertas. Dakota tidak membiarkan permainan psikologi itu
terpecahkan dengan mudah. Ben pergi dengan tangan hampa. Kesal, ia
lampirkan kotak itu ke tempat sampah sebelum berlalu lebih jauh.
Ben menyendiri di bar sebuah diner yang
tak jauh dari stasiun. Ia hendak beranjak pulang ke Manhattan. Ia duduk
dengan ditemani dengan sekeranjang kecil calamari dan kentang goreng dan
sebotol bir dingin, serta seorang pelayan yang mengerlingkan matanya
sambil gugup bertanya, “do you need anything?”
Ben menggeleng kepalanya halus. Pelit bicara. Sang
pelayan yang hanya bekerja seorang diri kala itu dengan kikuk berjalan
menjauh, mencari kesibukan lain. Sampai Ben menegur, “Where do you get that necklace?” ia menunjuk kepada kalung dream-catcher berwarna hijau-biru yang bergantung mungil jatuh di dadanya.
“It’s a gift from my ex boyfriend,” jawab sang pelayan malu malu—ternyata keduanya masih menyimpan cerita persis yang susah untuk dilupakan dari masa lalu. Ben hanya bisa menyimpulkan mungkin ini adalah akhir dari pencariannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Pesawatnya akan berlepas kurang dari sepuluh jam. Meninggalkan separuh keranjang makanan yang masih terisi, ia bertolak pergi. Hingga pelayan itu menghampirinya dengan memberikan sepotong kertas kusam. Diatasnya terdapat nomor yang ditulis dengan tinta hitam. Kota ini terasa penuh misteri saat gadis itu berbisik. “She wants to see you.”
Ben memasati kertas itu dengan seksama sambil
bertukar pandang dengan gadis pelayan yang kini menatapnya kikuk.
Keduanya jalan berlainan arah. Sang gadis masuk ke dalam kedai,
sedangkan Ben menghampiri boks telefon umum yang tidak jauh dari sana.
Jantung Ben berdegup kencang saat jarinya sukarela
memutar nomor di telefon. Selanjutnya, ia menunggu suara halus menyambut
di seberang jalur. Memutus nada sambung yang sudah merisihkan kuping.
“Ben,” panggil perempuan itu sambil mengetuk kaca boks telefon. Sebuah telefon seluler bertengger di telinganya
“Dakota,” ia menyebut namanya masih lewat corong telefon. “Kemana kamu pergi? Kenapa kamu pergi tanpa permisi?”
“Kamu tidak perlu mencari saya.”
“I have to—saya harus. Kamu pikir saya
tidak terus mencari? Saya rela sepuluh tahun mencari. Suatu pagi kamu
hilang, bukan masalah bagi saya. Saya sanggup. Asal kamu jangan jauh
jauh lagi dari saya.”
“Kamu rindu dengan saya, Ben?” pertanyaan itu tersalurkan dengan manja.
Ben hanya menatap teduh kedua bola mata hijau tua
itu. Sebagai balasan ia merentangkan jemari jemari tangannya di atas
kaca. Tanpa perlu berkata-kata.
Dari kejauhan, sesosok pria berbadan tegap tinggi
mendekati mereka yang tengah bercengkrama. Di belakangnya terutas rantai
besi yang menjalar memanjang dari genggaman kukuh, terseret-seret.
Bunyinya gemericing memekakkan telinga, terlebih lagi saat bunyi itu
bergemuruh begitu beradu dengan kaca boks telefon.
Ben mengangkat tuas pegangan pintu naik turun,
panik. Namun lilitan rantai itu makin pasti melingkar di badan boks. Ben
terus mengangkat-angkat tuas hingga pegangan pintu terjungkit dan
terlepas dari dinding boks.
“Lihat saya sekarang!” seru Dakota dari luar.
Gelapan, Ben mendekatkan diri ke sisi samping boks.
Dimana Dakota senantiasa berdiri disana, dengan telefon yang masih
bertengger di kupingnya. Senyum tergurat dari wajahnya. Ben mengetuk
keras kaca yang membatasinya dengan gadis berambut merah itu, seperti
mencari bantuan.
“Tolong saya.”
Dari seberang telefon, Ben bisa mendengar tawa halus khas Dakota. Tinggi berirama.
Seketika, Ben merasakan pijakan kaki dan lantai
berubin yang berguncang seakan tercabut dari tanah. Ben menyaksikan
bagaimana pria gagah itu menyeret boks beserta Ben di dalamnya, diseret
dari rantai yang ia letakkan di atas bahunya. Ben dibawa menjauh dari
Dakota, yang mengejar cukup seperlunya.
“Dakota!” pekik Ben. “Tolong saya!”
Ia amat yakin Dakota bisa mendengar suaranya yang
menembus batas kaca. Hanya saja, Dakota lebih suka permainan ini.
Mengasingkan mukanya jauh dari Ben sambil tertawa lagi. Ben bisa
mendengarnya jelas lewat jaringan telefon yang tersambung.
“Dakota, lihat saya!”
Gadis itu tidak menggubris. Malah nampak bernyanyi sendiri.
“Dakota, lihat saya sekarang!” ulang Ben yang mulai
merasakan sesaknya ruangan itu dan keseimbangan tubuh yang mulai rubuh
karena sentakan dari rantai besi.
Kini Ben tersungkur di dalam boks seraya menepuk-nepukkan kaca. “Cuma kamu Dakota! Lihat saya sekarang!”
Gadis itu ketinggalan beberapa meter jaraknya dari
boks telefon yang terseret, kini mengejar lagi sepenuh tenaga. Mata
lembut itu kini membelalak. Jaraknya hanya satu senti tipis dari muka
Ben yang menatap kelu.
“LIHAT SAYA SEKARANG!” balas Dakota kencang dengan
mata basah. Ben bisa merasa kaca boks ikut bergetar saking kuatnya.
Seperti ada pesan lain yang ia ingin Ben untuk cerna.
“LIHAT SAYA SEKARANG!” ulangnya, kini
tanpa telefon yang bersandar di telinga. Ben jelas jelas bisa
mendengar. Hatinya berserakan di lantai. Ben masih tidak paham apa yang
harus ia cerna.
Kini mereka berdua tinggal sendiri di ujung tebing.
Pria yang menyeretnya entah berada dimana. Sekali dorong, laut hitam
ini akan siap menghanyutkan jasadnya. Dingin terkunci di dalam boks
ini. Ia mencoba sekuat tenaga untuk berdiri kembali. Diikuti dengan
Dakota yang tegak melakukan hal sama.
Ia meraba permukaan kaca yang menerawang.
Menyaksikan keindahan di depannya. Rambut panjang yang biasa ia sisir
dengan buku buku jari. Janggut yang menggelitik permukaan kulitnya.
Seketika ia tempelkan sisi wajahnya dengan tenang kesana. Ben pun
menuruti pula. Menempelkan sisi wajah satunya berdampingan disana.
Dakota menempelkan tangannya berdampingan dengan telinga, seakan mencoba
mendengar sesuatu dari dalam. Ben mengikuti pula.
Hingga kedua tangannya mendesak boks hingga mundur
selangkah ke belakang. Ben sudah menyiapkan diri. Ia kumpulkan nafas
sebanyak mungkin di belakang batang tenggorokannya. Ikhlas. Menghitung
mundur sebelum dirinya di telan dinginnya laut yang beriak gelap. Wajah
Dakota terlihat semakin menjauh. Bergulir menjauh semakin tidak bisa
dijangkau, kemudian hilang. Kali ini semuanya terhalangi batu tebing
saat dirinya terjun bebas. Menunggu dasar hitam meraup raganya.
Berdentam, hitam dan basah.
“Hallo? Hallo?”
Suara bocah kecil memanggil dari ujung telefon. Ben bisa mendengar derapan kaki sebagai latar suaranya.
“Who’s there honey?” sahut wanita dengan nada terburu-buru.
“I don’t know, Mom—“
Sejenak Ben tahu telefon itu sudah beralih ke orang yang berbeda. Lalu sunyi.
“Don’t look for me, Ben.”
Comments
Post a Comment