Crossing Over - Part 1


Aku tahu Galang tidak mencintaiku. Lelaki yang menikahiku, meminangku dan meminta izin dari Ayah lima tahun lalu selalu mendambakan sosok perempuan sempurna. Bukan perempuan biasa-biasa saja sepertiku.

Kasur semakin dingin. Aku hanya bertatap muka dengannya 2 jam sehari. Satu jam sebelum ia berangkat ke kantor dan satu jam setelah ia pulang ke rumah. Selebihnya, kami tidur saling membelakangi punggung masing-masing.

Aku rindu sentuhan dan hangat tubuhnya. Jujur saja, Galang secara fisik ia bukan tipe lelaki idamanku. Tidak punya mata belo, tinggi badannya hampir sama seperti tubuhku yang hanya rata-rata 165 sentimeter ini, dan kulitnya seputih susu. Pinggangnya bahkan lebih ramping dari pinggangku. Mungkin karena itu, di luar sana ia punya banyak sekali penggemar, baik wanita bahkan pria!

Tapi dari bermilyaran manusia, ia memilih bercinta denganku. Ia menyukai segala kekurangan yang aku benci dari tubuhku, seperti guratan hingga luka bekas operasi di bawah pusar yang mati-matian aku tutupi. Ia malah membukanya dan mengecupi semua satu-satu hingga bulu kudukku meremang. Ia tahu cara membuatku terasa seperti satu-satunya wanita yang berbahagia di muka bumi.

Sungguh, aku rindu suamiku yang dulu.



Seperti pasangan pada umumnya, aku dan Galang adalah dua manusia yang memiliki kepribadian berbeda namun tetap sama juga. Kami bisa menjadi dua kutub yang saling tarik menarik, atau menjadi polar yang saling membelakangi.

Kami saling mentolerir perbedaan-perbedaan kecil yang dulunya merisihkan kami. Seperti barisan giginya yang kuning dan bau tembakau yang selalu melekat di tubuhnya, atau aku yang tidak bisa hidup tanpa daging.

Menulis adalah hal yang menyatukan dan juga membedakan kami. Sehari-hari, aku menghabiskan waktu menulis untuk melindungi citra suatu perusahaan, Galang hidup dan membuat penghasilan dari menjual segala kebenaran. Kadang aku dibuatnya takut, karena kadang dia bersentuhan dengan hal-hal atau segala permasalahan tabu di negeri ini. Mulai dari isu kesetaraan gender hingga ideologi kiri.

Kadang aku selalu dibuat risau dengan keberadaannya. Atau dengan siapa ia berbicara. Mungkin saja dengan para narasumber atau rekan seprofesi yang sama-sama cerdas dan intelek. Aku membayangkan Galang meminjamkan korek api ke wartawati muda yang masih baru berusia 24 tahun itu, kemudian mereka ngobrol tentang isu-isu penting di depan halaman gedung KPK. Tangan-tangan siapa yang dia jabat. Siapa yang ia temui.

Memikirkannya membuatku gila. Karena, aku jatuh cinta kepada Galang. Tapi, aku selalu bertanya apakah ia mencintaiku kembali? Walaupun ia sudah menjadi suamiku. Aku masih bertanya-tanya.

Kadang aku bisa berlarut-larut memikirkan ini semua. Rasanya aku sudah menjaga diriku dengan baik, dan aku juga dipertemukan dengan pria yang baik, tampan juga cerdas. Namun, hubungan kami yang merenggang membuatku terlempar kembali ke rumah. Ibu dan Bapak yang sudah berusia kepala lima. Ibu yang asyik dengan rajutannya dan Bapak yang asyik menonton video dari iPhone barunya.

Aku tahu keduanya saling mencintai, itu yang Ibu selalu ingatkan saat aku mendapatinya menangis terisak di kamar adek sehabis bertikai dengan Bapak. "Jadikan ini pelajaran, supaya kamu bisa membina rumah tangga yang lebih baik lagi."

Jarak yang berada di tengah aku dan Galang membuatku berpikir, bahwa aku sudah gagal dari nasihat itu. Ya, kita tidak bertengkar, tapi kami hanya saling diam. Melumat emosi masing-masing. Galang terlalu sibuk, bahkan untuk di akhir pekan. Sedangkan aku, hanya bisa menunggu kapan ia mau menyisihkan waktunya.

Berbeda dengan Drew.

"Hai, kamu sedang di mana? Lagi apa? Kamu mau ngopi?"


Begitu pesan tersebut berbunyi. Ah, Drew. Ia berbeda dengan Galang. Ia akan selalu menyisihkan waktunya untukku, dan aku tidak harus mencarinya. Ia yang akan mencariku. Aku ini mungkin ibarat candu morfin yang ia hisap. Hidangan penutup yang ia tunggu-tunggu setelah menyantap hidangan utama yang membosankan.


Berbeda dengan Galang, Drew mempunyai fisik seperti ksatria dambaanku. Kulitnya cokelat terbakar paparan sinar matahari. Tubuhnya besar namun tidak nampak gempal karena tinggi tubuhnya menjulang 180 sentimeter. Drew selalu bilang, kalau di tanah kelahirannya di Selandia Baru, ia termasuk pria yang mungil. Namun, aku tidak memperdulikannya. Bagiku ia terlihat sempurna. Alis matanya tajam dan lebat, sangat cantik membingkai matanya yang teduh hijau kecokelatan.  Namun aku tidak mencari sempurna.

Mungkin itu yang membuatnya gusar. Selama enam bulan kami menjalin hubungan ini, mungkin ini adalah kali pertama Drew terganggu. Namun, aku rasa dia terlalu manja. Karena, kita sepakat, hubungan ini bukanlah hubungan yang mengikat ataupun ekslusif. Ia tahu aku sudah menikah, sedangkan dia, seperti yang diutarakan di mukaku, sudah berpisah dari tunangannya. Mereka sudah bersama-sama selama lima tahun. Usia yang sama dengan pernikahanku dan Galang.

"Kenapa kau tidak tinggalkan saja dia?" tanya Drew mencoba menyembunyikan rasa kesal namun aku bisa melihat guratan di wajahnya.

"Aku tidak bisa." jawabku pelan. "Bukankah kamu bahagia dengan hubungan ini, Drew?"

"Jujur saja, tidak. Aku meninggalkan tunanganku. Dan kamu, apa kamu bahagia dengan pernikahanmu dengan Galang?"

"Kata siapa aku tidak bahagia?"

Drew menyunggingkan senyumnya. "Kalau kamu bahagia, kamu nggak akan berada di coffeeshop ini ngobrol ngalur-ngidul tentang hidup bersamaku sampai jam 11 malam."

Aku memeluk cangkir tehku yang mendingin. Semakin lama kami berada di kedai kopi ini, semakin dalam aku terpojok. Sudah aku katakan berkali-kali, bahwa melakukan perceraian tidak semudah itu. Bahwa budaya di Indonesia berbeda dengan negara tempatnya berasal. Di Selandia Baru, populasi manusia lebih sedikit dari populasi biri-biri tahu! Dan, biri-biri itu kerjaannya tidak menggosip ke sana sini.

Drew menyunggingkan kembali senyumnya. Kali ini senyum terhibur. Ia menggamit tanganku, kemudian mencium jari-jariku.

Mungkin orang-orang di sekitar kami mengira kami adalah pasangan yang sedang dimabuk cinta. Betul. Drew terlihat seperti kekasihku yang datang jauh-jauh menyebrangi lautan untuk menemuiku, perempuan Indonesia yang jauh dari kata seksi yang menunggu penuh harap. Mungkin perempuan-perempuan yang berdandan dan berdiri di tumit sepatu mereka sedang memandangku sinis, bagaimana perempuan bertubuh sintal berpenampilan sederhana ini bisa mendapatkan pria segagah Drew. Aku tertawa dalam hati.

Hidupku terlihat seperti dongeng. Tapi, aku berusaha keras untuk mencintai diriku seutuhnya. Dari ujung rambut hingga ujung kuku jari kaki. Aku tidak pernah mengharap dua pria menakjubkan seperti Galang dan Drew hadir di dalam hidupku.

Namun, semua ini rasanya seperti kutukan. Kutukan yang membuatku kembali membenci diriku sendiri.

Malam itu, Galang tidak memberiku kabar. Drew mencari alasan supaya aku bermalam di hotelnya. Aku tegaskan kepadanya, aku tak mau bercinta. Aku hanya ingin tidur dengan pakaianku lengkap dan kembali ke rutinitas di esok hari.

Dan keesokan harinya, Galang tidak memberikanku kabar.

Tengah hari kemudian, kantor berita menelfonku. Galang dikabarkan menghilang.

Comments

Popular Posts