Jiwa Tanpa Raga : 2


Sebelumnya baca bagian 1

Mungkin ada setengahnya adalah alasan pribadi ketika Kin menyuruhku push-up seratus kali karena aku datang terlambat ke latihan.  Tapi alasan yang terlontar dari mulutnya adalah, "Petarung selalu disiplin."  Aku hanya cukup menuruti, karena tidak ada gunanya berkelahi--apalagi dengan pelatihmu sendiri.  Namanya cari mati.  Lantas, aku topang berat badanku diujung jari jari kaki dan dua tangan yang mengepal di lantai.  Aku merelakan tenagaku yang terkuras sebelum aku melakukan latihan.  Meskipun sebelumnya tenaga mentalku sudah duluan habis karena letih mengharapi jalanan ibukota di sore hari yang padat merayap.  

Aku berlari kearah kelompok latihanku yang masih melakukan pemanasan.  Aku satu satunya perempuan yang mengenakan kaus ketat olahraga tanpa lengan.  Sedangkan mereka yang badannya sepuluh kilo lebih ringan dariku bisa dengan leluasa mengenakan bra olahraga begitu saja.  Kalau bukan karena Kin, aku pun tidak sungkan memamerkan otot perutku yang tidak begitu memalukan ini.  Karena aku bisa merasakan matanya yang menyipit dan tidak menjaga pandangan dari buah dadaku saat ia menyuruhku melakukan jumping jack.  Risih juga, cuma aku biarkan saja.  Biarlah dia melihat dan tidak bisa menyentuhku.  Biar merana.

Kin berlari keluar dari area boxing untuk mengambil beberapa peralatan sebelum kami mulai berlatih.  Sementara itu kami bertarung dengan bayangan kami.  Aku sibuk memperbaiki gerakan kaki kiri dan tangan kiriku.  Dibanding dengan empat petarung wanita yang berlatih disini, keseimbanganku paling lemah diantara mereka namun tenagaku yang paling kuat.  Mungkin lagi lagi dapat aku sangkut pautkan dengan berat badan 63 kilo ini.  Wajar saja.   Aku pun memperdalami tekhnik muay thai bukan karena ingin menurunkan berat badan, namun lebih kepada peningkatan rasa waspada dan ketelitian.  Aku ini adalah orang yang sangat teledor dan mudah panikan--kombo mematikan.  Tapi kadang diam di dalam kamar, aku bahagia juga mengelus-elus lekuk pinggang dan otot perutku yang mulai berjejalan.  Kadang aku raba tubuhku sendiri sambil tertawa tawa kecil.  Mungkin karena ini juga tidak ada laki laki yang berani mendekatiku--yah, terkecuali Kin.

Seorang pelatih mengawasi kami dari kejauhan selama Kin pergi entah kemana.  Ia mengawasi kami lekat sebagaimana aku yang mengawasinya juga.  Aku menyadari keadaanya sedari pemanasan.  Ia terus berjalan ke depan, mendekati kerumunan kami.  Hingga akhirnya ia berada disamping Mega dan Rinjani yang tengah mengunci tangan dan kepala lawan masing masing dengan agresif.  Wajah pelatih itu sangat tenang tanpa rasa khawatir.  Aku saja dibuat ngeri yang melihat dua wanita yang berlatih macam gorila betina itu.  Bunyi bunyi yang mereka keluarkan dari abdomen dan gerakan mereka yang tangkas, membuat gerakan latihan terlihat serius dan sadis.  Entah apa yang sedang pelatih--atau asisten pelatih--itu sedang pikirkan.  Aku tidak pernah melihatnya sebelum ini.  Wajah tidak familiar.  Aku pun dibuat kerap bertanya dalam hati, pelatih apa yang punya badan sebegitu kurus?  Tubuh itu menjalar tinggi. Rasanya tidak sulit ia menjangkau speedball yang diletakkan 200 meter dari lantai.  Tubuhnya nampak kurus namun berisi.  Aku bisa melihatnya dari kaus putihnya yang jatuh mengikuti bentuk bahunya yang bidang.  Bagian yang aku suka dari setiap lelaki adalah lekuk belikat yang mengecap.  Aku menganggapnya seksi.  Ia memandangi kami dengan seksama sembari melakukan latihan seorang diri.  Tidak ada sepatah katapun yang terucap, tidak ada kata permisi.  Bahkan ia sama sekali tidak bercakap dengan Kin.  Padahal kami tengah melakukan latihan untuk sparing serius.  Kalau urusan latihan, Kin tidak bisa diganggu--namun hanya saja, kali ini ia tidak nampak terganggu.

Dua jam kemudian latihan usai.   Dan ia menatapku dari kejauhan.  Lama lama risih juga aku dibuatnya, maka aku hampirilah.

"Kenapa, Mas?" tanyaku yang bersalut keringat.  Tidak peduli ada laki laki jangkung berkulit putih dan berparas lumayan rupawan dihadapan.

Ia hanya menatapku.  Perlahan lahan tersenyum. "Maaf, aku sudah berkali kali menganggumu." katanya.

Dari bayanganku dicermin, alis mataku menukik.  "Saya baru melihat Mas sekali disini."

"Mas? Panggil saya Raga."  katanya.  Raga namanya.

Aku diam sejenak mencerna apa yang harus aku lakukan jika orang pertama kali berkenalan dengan sopan.  "Saraya.  Panggil Sara saja."  Aku cepat cepat mengulurkan tangan, karena perkenalan ini berasa makin jangal tanpa bersalam tangan.

"Jangan," ucap Raga pelan sambil mendekatkan wajah dan berbisik.  Ia tidak memberikan tangannya.

Tidak sopan.  Aku tanpa ragu menunjukkan raut muka itu kepadanya.  Raut mengerucut.  Namun, Raga tidak menangkap maksud  isyarat sindiran itu.  Untuk beberapa saat ia memutarkan bola matanya ke sekeliling ruangan.  Aku tak mengerti apa yang sedang ia jamah dan apa yang ia cari. Maka aku ikut memendarkan pandangan.  Tidak ada yang berbeda dari gym ini. Beberapa temanku masih berlatih di arena tinju.  Kin berada di meja resepsionis.  Beberapa tamu pergi dan datang.  Semua nampak sibuk.  Musik musik penuh energi--yang kerap membuat kepalaku sakit, dan kadang terekam nadanya di dalam otak--hari itu gym nampak sama.  Namun, kehadiran Raga membuat segalanya terasa berbeda.  Gerak geriknya yang membuatku keheranan.

Sampai aku menemukan dinding berlapis cermin itu, dan aku menghadapkan badanku ke depan. Menangkap bayanganku dan mencernanya sendiri.  Aku sendirian.  Di dalam cermin.  Sementara ada Raga berada di depanku seperti menahan tawa, melihatku yang membuka mulut menganga.

Comments

Popular Posts