Jiwa Tanpa Raga : 1



Bogor, 17 Februari 2014 7.01 pagi

Pertama kali aku bertemu dengan Raga adalah saat ia rubuh diatas kasurku.  Waktu itu baru lepas ba'da subuh.  Dan demi Tuhan, sebelum ini aku tidak pernah mengundang siapapun masuk ke dalam kamar... Apalagi naik diatas kasurku.  Bisa mampus aku kalau Ibu tahu. Mungkin Raga mengira aku telah terjaga.  Meski sebenarnya aku bisa merasakan kehadirannya. Rasanya berat selimutku saat ia bertopang di bawah kaki.  Aku sudah menyangka, dan hendak membuka mata. Namun nyata rasanya kelopak mata ini makin melekat, begitu Raga bergerak ke sebelah kiri badanku.  Aku bisa merasakan berat itu menggeser dengan malas--seperti merayap. Tenggorokanku tercekat.  Nama Tuhan aku panggil berkali kali tapi tidak ada yang menyahut.   Bahkan tidak terkecuali suaraku yang hanya menggumpal seperti batu di pangkal lidah.  Raga makin menggertak.  Makin aku panggil nama Tuhan, ia makin ribut.  Dan aku terus membatu meski aku berusaha melawan gertakan itu.  Seperti kekasih lugu yang dipaksa bercinta dengan pacar baru.  Sampai akhir ketika aku menyerah.  Membisikkan batinku agar sunyi diam.  Semua akan berlalu, semua akan berlalu, semua akan berlalu, tenang... Dan betul saja gemuruh itu surut.  Raga betul betul menyingkir.  Kemudian, aku bisa merasakan kelopak mataku menjadi seringan kapas.  Aku mengerjap-ngerjap.  Ruang tidak lagi gelap.  Matahari menyinari dari celah celah gorden kamar.  Disisi kiriku hanya terdapat bantal guling, yang aku langsung raih dan aku peluk. Tanpa mengkhawatirkan gerak gerikku yang mungkin akan memanggil Raga kembali. Karena entah kenapa, rasanya tiba tiba sepi datang.  Meski aku sudah terbiasa tiap pagi bangun sendiri. Dalam diam, aku mengidamkan seorang teman.

Tamu--begitu aku menamakan Raga sebelum aku mengenalnya.  Aku bertanya-tanya, kenapa aku dipertemukan dengannya.  Aku yang selalu rajin beribadah dan sehat akal, jiwa dan raga. Kemudian aku tersadar, mungkin sudah tiba waktunya kami dipertemukan.

***

Siem Reap, 25 Desember 2013

Aku duduk melunglai di kedai kopi bernama "John" sambil mendengar bunyi gigiku gemertakan. Cuaca Angkor begitu sejuk, engkau bisa melihat nafasmu sendiri yang berhembus menjadi uap. Dan aku berkali kali dibuat takjub.  Aku hirup dan aku lepas nafasku. Membiarkannya beradu dengan uap hangat dari secangkir kopi panas yang dituang susu. Sambil melirik aku, mempelajari betapa banyaknya turis yang berkumpul meski sudah dua jam berselang dari terbitnya matahari. Apa turis turis ini tidak merayakan Natal bersama keluarga mereka?

"Bukannya kamu seharusnya merayakan Natal di rumah?" sambar Jamal, seakan ia bisa membaca isi pikiranku.

Aku menahan pandangan mataku untuk beberapa saat.  Mengamati kumisnya yang terendam kopi begitu ia meneguknya perlahan.

"Aku tidak tahu." jawabku pasrah.

"Tidak tahu? Apa maksudmu?"

"Aku ingin menemani Ibu, tapi rasanya ada yang mengganjal.  Ada yang mengatakan tidak seharusnya aku pergi."

"Siapa? Nenekmu?" ucapnya santai sambil kembali menyeruput lagi--balasannya terdengar seperti candaan yang garing.

"Aku tidak mau membuat siapa pun merasa kecewa."

Kali ini giliran Jamal yang mengerlingkan mata bundarnya kearahku.  "Kamu ini aneh.  Kalau kamu mau pergi merayakan Natal ya pergi saja.  Kenapa kau masih takut kepada Nenekmu?  Toh, Ayah dan Ibumu sudah pisah lama dan Ibu sudah menemukan pasangan baru.  Hak apa yang Nenekmu punya untuk mengekang?"

"Tidak ada.  Hanya saja--jauh dari Nenek karena mereka bercerai sudah membuat hari hariku berat karena jarak itu makin nyata.  Aku pun ragu kalau Nenek bisa kembali menerimaku kembali setelah Ibu menikahi Chris.   Sampai sekarang aku rasa Nenek akan sangat segan bila bertemuku kembali.  Aku tidak akan indah dimatanya."

Jamal hanya mengembangkan senyum dibibir tebalnya yang menghitam karena rokok.  "Kau dengar dirimu sendiri?  Apa itu indah, Saraya?"

"Indah bagiku adalah ini--" aku mengisyaratkan kepada hamparan kabut tipis yang menyelimuti pekarangan Angkor Wat, "--tapi kalau boleh aku jujur, indah itu relatif, tergantung sikap."

"Nah, itu kau tahu sendiri jawabannya.  Indah bagi Nenekmu, belum tentu indah bagimu dan sebaliknya.  Dan, indah itu subjektif dan nggak bisa dipaksakan.  Kalau Nenek tidak bisa menerima indahmu, aku yakin banyak orang lain yang bisa memahami apa yang indah bagimu, yah--"

"Nenekku bukan seorang tua yang biasa aku temui setahun sekali saat Lebaran, Jamal.  Nenekku adalah orang tuaku.  Ia membesarkanku dan meluangkan banyak waktu ketimbang Ayah dan Ibu. Nenekku bukan teman teman sejawat yang sengaja aku hindari.  Yang pendapatnya bisa aku terima dari kuping kanan dan aku buang lewat kuping kiri.  Apakah aku ini masih hidup dimatanya.  Maka dari itu menjadi indah dimatanya masih sangat berarti bagiku."

"Tapi, sudah berselang sepuluh tahun semenjak itu semua.  Saraya, kamu adalah wanita muda yang independen dan tidak terikat. Aku tahu dari jenjang satu dekade ini, kau selalu memikirkan pertanyaan yang sama.  Mungkin semasa remaja kau masih lugu dan kau pendam saja.  Kian kau beranjak dewasa, kau mengerti sendiri bukan rasanya?  Ini bukan kesalahanmu. Terima ini sebagai proses pencarian dan pendewasaan. Bagiku, kau seperti menuhankan Nenekmu, bahkan Nenekmu sendiri masih punya Tuhan."

Mataku masuk menjalar ke dalam ketenangan dua bola mata kelereng Jamal.  Seperti biasa menerka akan ketenangan yang terlontar darinya mendengar ia bicara tentang Tuhan.  Ia dan beberapa teman teman yang aku kenal mempunyai pemikiran sama.  Mereka ibaratnya seperti karyawan tekun namun selalu dibuat kecewa dengan atasan dan diam diam mengeluh tentang pekerjaan saat jam istirahat.  Sedangkan aku hanya menonton diskusi tersebut sambil bertanya, "Bagaimana bisa?" dari dalam hati.

 "Ya, benar aku rasa aku harus berada di rumah bersama Ibu..." ucapku.

"Kenapa tidak, bukan?"

"... Karena aku ingin makan meatloaf dan ayam Turki.  Kamu tahu ini bukan pertama kali aku kabur ke luar negeri dari acara keagamaan keluarga.  Aku sudah empat kali kabur dari Opor Ayam dan ketupat.  Ini ketiga kalinya aku kabur dari Natal.  Sempat juga aku mencicipi Chrismast Pudding buatan Tante Ruth.  Enak juga, jadi rindu."

Jamal menyipitkan mata kepadaku.  "Kamu tahu hari ini hari Natal dan bukan kamu saja yang jauh dari keluarga, dan saya ini seorang vegetarian?"

"Terus?"

"Mungkin mereka buka buffet Natal di sekitar Siem Reap..."

Aku terbahak.  Dan saat itu jiwa yang redup itu kembali hidup.  Bukan hanya kehadiran dan petuah Jamal semata.  Tapi juga para petualang yang aku temui ditengah jalan.  Hanya saja Jamal membuatku yakin dan tidak pernah mau menengok ke belakang.  Dan hari itu aku berjanji untuk kembali saat lebaran dan natal.

Natal kali ini aku habis kan dengan Jamal dan segenap petugas guesthouse ramah yang jadi keluargaku. Malamnya kami disuguhi dengan beragam masakan Khmer dan ikan sungai kecil yang digoreng kering. Aku membasuh asinnya dengan sekaleng cola sementara yang lain menumpuk kaleng kaleng bir kosong dengan wajah memerah.  Aku tidak bisa memaksan untuk ikut serta karena aku masih cengeng terhadap efek alkohol.  Maka, kaleng birku masih penuh dan diambil untuk dijadikan fondasi menara.

***

Bogor, 17 Februari 2014, 9.46 malam

Lewat dua belas jam berlalu dari pagi itu.  Dan kamarku masih gelap tak bernyalakan lampu setibanya aku dari pulang kerja.  Aku merenung dan menatapi kosong dan gelapnya kamar itu. Masih berantakan dan tak terurus karena kegiatanku yang luar biasa padat.  Deadline deadline tulisan dan pelatihan untuk sparing persahabatan di penghujung minggu.  Bayangkan betapa lelahnya aku. Namun, malam itu aku lalui dengan terjaga.  Karena, aku fikir lebih baik begitu. Tubuhku sudah memohon untuk beristirahat, namun aku gubris dengan menghadap terangnya layar monitor hingga mataku berair.  Jam dua belas berlalu, seharusnya aku segera terlelap dari satu jam belakang.  Aku tambah lagi segelas kopi.  Waktu menunjukkan sebelas empat puluh di malam hari.  Rasanya aku perlu lebih dari dua puluh empat jam untuk kembali pulih.  Esok pagi aku harus mengejar interview dengan beberapa CEO di Jakarta dan sore hingga malam akan aku habiskan berlatih di gym.

Lantas, aku menyerah.  Mundur dari hadapan meja dan monitor kemudian menyalakan lampu tidur. Gelimang lampu tidur yang redup dan berwarna warni membuat kamarku nampak berbeda. Romantis--tidak seperti biasanya, gelap saja.  Gelap--sederhana saja.

Aku berkelut sendiri dalam senyap di gulungan selimut.  Tidak susah untuk mencoba terlelap. Begitu badan seberat 63 kg ini roboh di atas kasur.   Tubuhku mulai merasa ringan dan melemas, namun cepat cepat aku susupi lagi dengan alam sadarku. Seperti mengejar layang layang yang melaju kencang, aku menyentak benangnya.  Entahlah.  Malam itu aku ingin merasa sepenuhnya utuh dan terjaga.   Harus sepenuhnya.

Comments

Popular Posts