Asilum : Part 7



baca Part 6

Mungkin Dokter Saras benar. Sengaja aku duduk tanpa niat menyepikan diri dari keramaian. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sudah dari jam enam aku bersila di hadapan mesin tikku. Sudah hampir dua jam. Siapa yang sangka aku merasa nyaman berada ditengah tengah kerumunan yang bising sambil menulis. Disekelilingi mereka yang mengintipku dari belakang punggung, mencoba membaca tulisan cetak yang aku bubuhkan keatas secarik kertas putih. Meski aku yakin, membaca saja pun mereka tidak bisa. Tapi aku tidak merasa terintimidasi atau bahkan terluka saat aku mengetahui bahwa orang orang ada disekelilingku, pada saat aku meluangkan waktu untuk menulis. Kegiatan yang aku anggap sangat pribadi. Aku tidak sembarangan membuka tulisanku di tempat ramai. Sebetulnya bukan karena takut dicontek, karena jaman sekarang, orang orang sudah malas membaca apalagi menulis. Tapi, karena aku segan merasa tercemooh. Segan, mungkin bukan kata yang tepat. Takut, ya aku takut.

Mengingat kejadian masa kecilku dulu, saat aku mendeklarasikan sebuah puisi tentang bintang dan semestanya. Puisi itu tidak berbunga-bunga dan tanpa ambigu, melainkan penuh dengan kata yang betul betul bermakna literal, jujur. Aku selipkan nama nama planet dan tingkah laku mereka terhadap alam--berorbit, berotasi--setelah itu aku dicemooh dan dianggap gila.

Kalau mereka mendapati kabarku yang terkurung--atau--sengaja dikurung di asilum ini, pasti mereka tidak heran lagi.

Seruni, Seruni yang itu bukan? Yang sering baca puisi aneh? Oh, masuk rumah sakit jiwa dia? Tidak heran.

"Put it down," terdengar pria suara dari sebelahku, "Put it down Marjorie,"

Mikhail mengambil secarik kertas dari tangan Marjorie secara perlahan. Aku tidak sadar bahwa selama ini, dari aku mulai menulis, Marjorie berada disebelahku dan ia mencecar-cecarkan tumpukan kertas yang berisi tulisan cerita. Seharusnya aku merasa marah. Tersinggung. Pertama karena, urutan cerita sudah teracak sebab aku tidak menulis nomor urut disetiap halaman. Kedua, karena seseorang menyentuh dan membaca ceritaku.

Namun herannya, aku tidak merasakan apa apa. Cukup merasa terkawal, apalagi saat Mikhail mengambil kembali kertas kertas tersebut dan menyusunnya ditengah tengah. Ada aku, tumpukan kertas dan Mikhail duduk sejajar.

"Somebody looks very happy," katanya.

Kupandangi saja mata cokelatnya yang menyipit tanpa berkata kata. Sekejap kemudian, ia menghindari mataku. Malah membolak balik tumpukan kertas yang ada diantara kami, dan membacanya satu persatu dalam bisu. Aku tersenyum, dan kembali kepada tulisanku.

Tiba tiba saja, Mikhail tertawa. Awalnya, aku tidak yakin itu adalah suara tawanya, walau sebelumnya aku sudah mendengarnya berkali kali tertawa. Pertama terdengar seperti suara orang yang tercekat. Lalu suara orang yang tersedak sambil batuk. Menjadi sebuah tawa yang riuh.

"Wha--"
"Are you writing all these?" ia menunjukkan beberapa lembar kertas yang baru aku ketik.
Menyembunyikan tempramenku, aku berusaha untuk terdengar sesantai mungkin."Yes, why?"

Ini lah bagian yang aku takutkan. Saat tanpa alasan, ceritaku dibahas dan ditertawakan. Hanya saja, aku sudah berjalan sejauh ini untuk mencari ketenangan diri. Maka, singgungan dalam bentuk apapun, dengan segala usaha aku coba untuk abaikan.

"Honey, where do you learn these?"
"I have my references. Reading..."
"Such as what?" wajah Mikhail bersemu.
"I know what you are thinking, Mikhail," protesku tenang sambil menepis kertas dari tangannya dan mengembalikan ke dalam tumpukan. Mikhail membuang wajahnya, dan aku tahu ia menahan tawanya. Aku melihat lurus ke depan. Menghindarinya. Aku tidak mau ia sampai melihat mataku yang berair.

Ia memalingkan wajah kearahku ketika, mesin tik membuat bunyi nyaring saat beradu dengan ubin. Begitu aku meletakkannya ke lantai, secara kasar.

"Just because I am...inexperienced, does not mean that I hardly understand anything about desire and sexuality." lanjutku berat.
"Runi," ia memanggilku, sadar bahwa aku tersinggung. "You are overthinking it,"
"You were writing my story last time and now I am just following your writing direction. You made my character hopelessly in love with each other, which they shouldn't. I was getting trouble to explain the relationship of those two and I thought that is actually not a bad direction, I can say that I agree on that. So what should I do to explain that..."
"But that is not how it is supposed to be. I don't believe that these couple are infatuated with each other. Those are... lusts..."
Aku dibuat tak bergeming olehnya. Hingga kemudian, aku menegurnya. "You know what, Mikhail? I suck... I suck at being a communicator. I don't speak well. I cannot write well."
"You don't suck, Runi. You just gotta shake the tension off of your shoulder," seolah meragakan, ia memelintir bahunya dihadapanku.

Akankah ia mengerti, usahanya untuk membuatku tersenyum memang sia sia. Aku membuang wajah terlalu lama, sehingga aku tidak memperhatikan Mikhail yang lenyap dari sebelahku. Begitu juga bunyi petikan gitar yang datang tiba tiba.

Aku menoleh ke sumber suaranya, yaitu sebuah pemutar CD yang kuno. Saking kunonya, aku bertanya, apa masih tipe pemutar musik seperti itu masih dipasarkan.

"You don't even have to try... It comes easy for you..." aku menggigit bibir bawahku agar suara tawaku tidak serta merta meledak saat mendengarnya mengimbangi suara Eddie Brickell dari speaker. Sungguh lebih baik aku melihatnya menari, daripada mendengarnya menyanyi. Suara bassnya seperti tidak peka nada. Tangannya mengulur kepadaku, seperti mengajakku berdansa.

Aku tidak langsung menyambutnya.

"What the hell... come on Marjorie," cibir Mikhail yang langsung mendekati Marjorie yang berteriak riang.

Aku melihat keduanya lalu beberapa pasangan lagi pun berdansa di tengah tengah. Hanya aku yang menyertai beberapa orang yang merasa canggung disini yang menepuk tangannya mengikuti irama musik.

Hingga seseorang pasien lelaki menghampiriku. Nampaknya ia adalah jenis yang sama denganku dan Mikhail, pasien yang setengah sadar. Ia orang lokal, tapi tubuhnya semampai, kulitnya gelap bersih dan matanyanya lebar. Ia mengajakku berdansa. Aku sambut tangannya.

Good times, bad times gimme some of that
Good times, bad times gimme some of that 
Uh-Oh

Tiba tiba, badanku terpelintir dan aku terpelanting ke samping. Aku sangka karena gerakan ceroboh kakiku, namun rupanya Mikhail yang menarikku ke sampingnya. Pasanganku kini memutar lengan Marjorie keudara, begitu saat Mikhail memutar lenganku juga.

"Did you say anything about the bong to Dr. Saras?" bisik Mikhail
"If so, why?"
"We are in a deep trouble, honey." ia melirik kepada beberapa pengasuh yang melipat tangan mereka sambil memandangi kami berdua.

Tanpa merasa terintimidasi sama sekali, kami malah tertawa, dan berputar sekali lagi.

"Screw them!" desisku.

Kemudian mata kami bertemu, dan saling memicing mengisyaratkan tawa bahagia. Biasanya aku sanggup menatapnya lebih lama, tapi entah kenapa aku merasa, lebih baik aku menghindarkan pandangan.

Karena jantungku berdetak melambat.

Mungkin inilah yang orang orang sebut ketertarikan. Kita tidak tahu darimana itu berawal. Tapi semakin kita tidak mengerti, semakin kita percaya rasa itu ada dan nyata. Kadang ia datang tanpa sebab, dan kini datang menyeru dari tatapan cokelat musuhku sekaligus sahabatku yang hangat.

...

Aku sengaja mengasingkan diri dari kerumunan yang tidak kunjung pulang. Kembali kesudut temaram pondok diluar asilum. Sudah dua jam aku menulis, dan sudah setumpuk demi tumpuk halaman aku hasilkan. Dan, sempat aku meralat beberapa bagian. Bagian yang sempat disindir Mikhail, kini aku tatap dengan bangga.

Mikhail. Entah kenapa nama itu terdengar rancu dibenakku.

"Hi!" sapa sang setan dari balik punggungku. Aku terperanjat.
"Hi!" jawabku yang kaget, setengah memekik.
"Go to bed, it has already late...
"No it is not," jawabku singkat, sambil dalam hati meminta Mikhail pergi saja. Pergi, kau, pergi.

Aku tutupi rasa canggungku dengan pura pura mengetik.
"Wow," ucap Mikhail yang menatapi salah satu kertasku. Ia mangut mangut, "This is good stuff."
"You are looking at an adult scene. What a perv." aku menepis kertas jauh dari tangannya, "You make things awkward...

Tiba tiba saja, wajah Mikhail sudah sangat dekat dengan wajahku. Ia hendak mengambil kertas itu kembali--tadinya--tapi ia malah membeku. Aku pun enggan untuk bergerak, kaku.

"Let's go inside." ujarku memecah keheningan.
"Let's." balas Mikhail yang mengangkat tubuhnya secara serta merta.

Kemudian kami berjalan menyusuri dalam setapak dalam diam. Tadinya, sebelum ia berbasa basi kepadaku.

"Have you ever been to Beirut?"
"Been born and spend my childhood there."
"Cool," ujar Mikhail mencoba terdengar terkesan. "No wonder, your story resemble a lot about the city. How was it?"
"Well, could you guess from the story?"

Kemudian terdengar gelegar petir. Mikhail memintaku melangkah lebih cepat, sambil menyambung percakapan. "I supposed you are a young, rebellious journalist who flew for news coverage and enjoying a rather lustful captive under an ex-military. So Beirut is kind of roller coaster."

"No, I am not!" aku sadar pipiku mulai bersemu. Badanku mulai berhenti menegang. Aku merasa leluasa lagi disamping Mikhail."I was only a student, but yeah, Beirut was a roller coaster."

Saat menoleh kesamping, aku mendapati Mikhail yang menoleh kepadaku. Dan aku rasa, sudah beberapa detik ia begitu. Karena aku merasa seperti diawasi. 

"Is my story lustful?" lanjutku.
"I do not know, editor knows better, but I enjoy reading it. You have nothing to worry about!"
"Are you saying that you hold a legitimate comment?"
"I am not saying it," Ia mengangkat tangannya ke udara sambil tersenyum kepadaku. "I have a good taste. It is a fact. Sue me."

Dan, Mikhail satu satunya orang yang bisa membuatku tertawa lepas.

"Hey, Mike..."
"What?"
"Thank you,"
"For what?"
"For writing my story."
Ia menatapku lekat. "I am not writing it, I am just helping."
"Mike,"
"Yes," balasnya pelan, "You call me Mike again," imbuhnya
"I did," balasku. "Can I try something?"
"Sure..."

Dari sini kakiku mulai bergetar, dan menghitung sisa tinggi badanku untuk meraih keningnya, dari bibirku.

"Close your eyes,"
Ia mematuhi sambil tertawa. "Okay, okay, I feel that you are going to kiss me right now."

Kenapa Mikhail selalu membuatku merasa gugup.

"Just silence... okay."
"Yes, ma'am... honey"
"Stop calling me honey. I aint your honey." hardikku mencoba galak.

Maka aku menumpu semua berat badanku, 55 kilo, ke sepuluh jari kakiku, mencoba meraih keningnya dengan bibirku. Tapi ia terlampau tinggi, dan mungkin ia tidak begitu mematuhi. Karena tiba tiba badanku dirangkul mendekat. Bibirnya melekat ke bibirku.

Jantungku membalap kencang. Namun makin kami merapat, degupan jantungku makin terkendali.  Dan harum tubuhnya bagaikan ombak yang tiba tiba muncul ditengah hutan. Begitu pelik. Tiba tiba ada harum satu lagi yang aku hirup.

Wangi hujan yang membasahi tanah.

"I know you are going to kiss me,"

Belum sempat aku mengejar Mikhail yang sengaja menghindariku berlari masuk ke dalam, hujan mengguyurku.

Aku pasrah saja.

Selanjutnya baca Part 8

Comments

Popular Posts