Asilum : Part 8




Sebelumnya baca Part 7

Aku menatapi bergantian. Kertas kertas yang lembap yang terbasuh air hujan semalam, dan mataku yang sembap. Karena dua alasan : keterusan menulis dan bayangan Mikhail yang menghantui malam itu. Bagaimana ia bisa menghantui, karena nyatanya ia masih hidup dan mungkin mendengkur di balik biliknya.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, dan aku hanya tidur tiga jam dan terputus putus. Tapi aku tidak merasa letih.

Hanya saja begitu aku melangkah keluar dari pintu kamar, aku merasa semua yang berada di dekatku bergerak dalam gerakan lambat. Pasien yang meronta ronta di ujung lorong dan seorang pengasuh yang merespon telat. Troli yang disorong mendekat kearahku, dan gerakkan pintu yang melambat membuka.

Dari ekor mataku, aku menangkap silau. Salah satu pintu disampingku membuka dan di dalamnya aku menyaksikan sesuatu. Mungkin aku berhalusinasi. Tapi aku melihat seorang bocah berambut cokelat kepirangan berlari. Baru aku sadar pintu yang aku lalui adalah ruang penerimaan tamu, dan yang baru saja kedatangan tamu itu adalah Mikhail.

Didekapnya bocah itu di dalam pelukannya. 

"Jerome," bisiknya.

Dari situ, ada berbutir butir pertanyaan yang terlintas di dalam benakku.

Derap langkahku makin kencang begitu aku tahu Mikhail mengejarku dari belakang. Para pengasuh nampak kalang kabut mencegah kami yang membalap lorong asilum yang penuh orang. Akhirnya aku berdiri di tempat yang aman, di balik pintu kamarku. Yang rupanya belum aku kunci. Mikhail mendobrak masuk dan aku dengan spontan mengatur jarakku jauh hingga kesudut kamar.

"Please stop running!" hardiknya kepadaku sambil membanting, kemudian mengunci pintu dibelakang.

Rasanya aneh. Baru semalam aku merasa aman berada di dekatnya. Seakan jika tangan itu akan membelai lembut wajahku, aku tidak keberatan, malah bersuka cita. Lain halnya sekarang. Aku rasa tangan itu berkehendak lain bila ia meraihku.

"That is Jerome." kata pertama yang terlintas dia ucap namun masih terdengar asing bagiku. "He is my son. He is the reason why I am here. That's because you never asked anything about me."

"I was trying to figure out why you are here but you never gave me a chance to know why. You seemed so interested to hear about my story. Getting to know me that I am convinced that you are just as independent as I am."

"But I didn't wish Jerome to see his father started an intense argument in a wrong place and wrong time. I have been fighting for his custody."

"Custody?"

"Yes," jawab Mikhail tegas. "His mother and I are undergoing a divorce process. Are you happy now?"

Aku tidak menjawab dan kesunyian itu membuat Mikhail peka akan ruang kamarku yang nyaris kosong dan dipenuhi oleh kotak kotak.

"You have a rather empty space here," gumamnya

"Mikhail, after all that I have been through, I found it hard to believe in people. Having you as my friend is something to me and you had earned that, but what I didn't know it how quick I lost it."

"Runi," ia kemudian membelai rambutku. "I know it is heavy for you to absorb right now."

Aku ingin Mikhail berhenti. Seandainya ia tahu bahwa aku tidak pernah menjalin hubungan lebih dari pertemanan dengan laki laki yang bukan sedarah. Ketertarikan selalu ada, tapi tidak semua aku tanggapi dengan serius. Karena bagiku cinta itu skeptis, hanya ilusi. Yang aku paham manusia berinteraksi karena kita harus bertahan hidup. Konsep cinta itu dibuat sendiri dari manusia. Setidaknya hingga aku melihat kearah tumpukan ceritaku yang aku letakkan rapih di dalam boks kayu. Nantinya hendak aku bawa pulang. Cerita yang akhirnya aku suka cita selesaikan.

Kemudian, aku memandangi mata cokelatnya yang teduh. Aku tidak tahu harus percaya atau tidak.

"Sorry Mikhail, I just can't."

Yang aku tahu aku harus mengasingkan diri. Kemudian aku berlari keluar menyusuri jalan setapak yang aku kenal. Menuju kearah tempat istirahat yang biasa aku singgahi. Panggung dengan pilar yang seadaanya, atap jaring dengan lentera yang menyala. Kini semua rata dengan tanah.

Aku rasa pengasuh murka dengan kami.

Dan, memang aku lebih percaya bahasa alam dibanding dengan bahasa manusia. Kali ini alam membujukku pulang.

Maka, aku akan pulang.


END

Comments

Popular Posts