Nyiur yang Diam

pic courtesy of weheartit.com

Satu persatu aku raih kopi kertas yang jatuh dari mesin. Entah apa karena rokku yang terlalu ketat, atau lingkar pinggangku yang tambah melebar. Membungkuk pun aku tak kuasa. Aku bangkit dari lantai terus mendongak ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan delapan malam. Sudah tiga jam dari jam pulang. Tiga jam melebihi waktu yang tertulis di dalam kontrak. Cuma aku turuti saja.

Beberapa kawan kantorku yang masih bertahan, menyeru dan mengajakku untuk makan. Pesanan sudah datang kata mereka. Tapi aku tolak. Karena aku bekerja hari ini bukan untuk satu loyang pizza raksasa. Hari ini, aku kerja untuk pulang.

Lima belas menit setelah aku selesai menyusun tumpukan dokumen yang bukan tanggunganku itu, aku bergegas pulang. Aku melirik meja depan saat aku beranjak keluar. Yang tersisa dari pizza itu kini hanyalah kardus petak kosong. Aku menggerutu. Seharusnya aku tidak usah sungkan, atau rela diam protes karena dipekerjakan sampai lembur. Dengan perut kosong, aku keluar gedung. Berlalu.

Aku kini menjelma menjadi bayang bayang kota ini. Kota yang tidak pernah tidur. Bahkan dua jam perjalanan bus, pun aku tidak pernah tidur. Aku malah mencoba terjaga, karena sudah malam. Menghindari musibah yang sepatutnya seorang perempuan hindari saat berpergian ketika gelap. Tapi siapa yang berani mengangguku? Maksudku, siapa yang mau? 

Aku telaah bayanganku di dalam kaca. Dibelakangnya ada pendar pendar lampu kota yang berkilat melesat cepat. Aku tangkap bayangan wajahku yang begitu memelas dan letih. Apa dia selalu mendapatiku seperti ini setiap kali pulang kerja. Wajahku yang lusuh, rambut lembap yang terurai. Bagus kita tidak bertemu hari ini. Bagus aku lembur. Dia--seorang teman dari kantor sebelah.

Pantaslah ia tidak lagi menegurku, kalau aku terlihat begitu kumuh. Dibibirku tersungging senyum getir. Macam orang gila, sumringah sendiri. 

Dari dua jam perjalanan yang aku ingat adalah singkatnya. Secara fisik, aku beranikan tidur. Namun batinku terjaga. Begitu juga sesampainya aku dirumah, aku tidak langsung tidur. Karena waktu telah menunjukkan pukul 12 malam. Lewat jam tidurku. Jadi aku singgah di depan sofa dan TV. Mengutak-atik saluran yang menarik.

Inilah mengapa aku lebih memilih menonton sains fiksi ketimbang drama cinta. Walaupun sama sama berlebihan, sains fiksi tidak pernah mengelabui penonton. Karena, penonton paham konsep mengesankan nan mustahil ala Star Trek tidak akan terjadi. Maka setidaknya, ekspektasi penonton terkendali. Dibandingkan cerita cinta. 

Mungkin aku yang pahit, tapi kenyaatan cerita seperti ini lebih sadis. Cuma ada tiga pria yang sanggup aku sukai, dan nyaris aku cintai sebelum mereka menjadi pacarku. Pertama, sekali adalah sahabatku sendiri dari jaman SMA. Kedua, senior kampus. Ketiga dan baru baru ini, anak kantor sebelah itu. 

Sementara, belajar dari pengalaman teman temanku, aku selalu berasumsi bahwa mereka bodoh. Karena, mereka merasakan ketertarikan yang kuat terhadap lawan jenis mereka masing masing, tapi menunda. Kadang melihatnya aku dibuat kesal. Ketertarikan bukan hal yang bisa dianggap sepele. Hal itulah yang nanti berkembang jadi cinta. Terus berkembang menjadi komitmen untuk bekeluarga. Berkeluarga adalah salah satu cara menggapai kelangsungan hidup, bukan hanya secara materi tapi emosi.... Atau itulah setidaknya definisi yang melekat dibenak seorang wanita kantoran di awal 20an, atau benak anak manja yang baru mengetahui getir kehidupan.

Beruntung beberapa kawan menemukan pria yang tepat. Beruntung  pula mereka mendapat balasan yang baik. Sementara, ketiga lelaki yang aku sebut sudah menyia-nyiakanku. 

Aku tontoni sinetron di hadapanku dan sedikit tenggelam. Jujur, aku belum pernah dihargai sepenuhnya oleh seorang lelaki. Belum pernah merasakan ada seseorang yang menunggu. Sanggup melakukan sesuatu buatku. Malah sebaliknya, yang berusaha adalah aku. Belum pernah aku diajak sukarela keluar berdua. Tanpa alasan yang menentu. Dirayu atau dipuji betapa cantiknya aku malam itu. Aku selalu penasaran adakah seseorang yang menyadari rambutku yang dipotong baru, pensil mata yang aku gores tipis diatas kelopak dan parfum daisy yang aku kenakan. Adakah sedari mereka, lelaki, yang mengawasi setiap gerak gerikku? Adakah nantinya seorang lelaki yang menjemputku keluar rumah dari orang tuaku, untuk satu malam minggu dan nantinya selama-lamanya? 

Tiba tiba aku rasai pipiku basah. Mataku berair. Apa-apaan ini? Menyedihkan betul. 

Tiba tiba, aku rasa gerah. Mungkin juga karena aku belum mandi dan langsung duduk di sofa setiba dirumah. Maka aku lepas satu satu baju yang aku kenakan. Dimulai dari luaran kardigan. Lalu kemeja putih ketat yang bagian dadanya harus disekatkan peniti agar tidak mencuat. Aku telajangi kakiku dari stocking hitam yang jahitannya sudah mulai longgar menggumpal. Terakhir rokku.

Di dalam cermin panjang adalah sesosok wanita biasa. Polos dalam pakaian dalam dengan warna tak senada.  Bra polos dan celana berenda.  Payudara yang berisi namun lemak pinggangnya mencuat dari  batas karet pinggang celana dalam. Apa yang terjadi kalau ada pria yang mendapatinya sekarang? 

Aku bertekuk di hadapan cermin sambil meraba permukaanya yang licin dan dingin. Meredakan tangis.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Belakangan ini, aku ketahui nama perempuan baru bermata sembap itu adalah Nyiur. Padahal lebih bagus namanya Desi, walau agak sederhana, karena sesuai dengan wangi tubuhnya. Ia selalu masuk kantor pagi pagi, selalu keluar makan siang telat dan sendiri. Selebihnya aku tidak tahu. Tapi waktu menunjukkan pukul satu. Dan, aku sudah menghabiskan detik, menit, jam, hari, minggu... hanya melirik keraha meja kerjanya.

Apa mungkin dia tertarik untuk makan siang bersama?

Inspired by Angus and Julia Stone's Big Jet Plane. Title translation is A Silent Tide. Above is a short fiction of a girl who deals with her self-confidence and anxiety to be desired by men.



Thanks Angus and Julia Stone of for your great works! 


Comments

Popular Posts