Ubud Writers and Readers Festival 2014

Dear Semuanya,

Senang bisa kembali ngeblog, setelah leyeh leyeh sehabis pekan yang panjang dan melelahkan (namun sangat asyik) di Ubud Writers and Readers Festival.  Ini adalah kali kedua saya mengikuti Festival sebagai volunteer.

Para volunteers bersama Ibu Janet Denefee di malam penutupan
Kredit foto : Anggara Mahendra (UWRF2014)
Kali ini saya ditempatkan sebagai LO penulis Indonesia atau bahasa kerennya Indonesian Writers Liaison.  Saya memegang 4 penulis, 2 diantaranya adalah penulis emerging alias penulis baru, satu pembuat film dokumenter dan satu penulis senior.

Pergi ke Ubud itu rasanya seperti cleansing.  Belakangan ini, saya selalu merasa gelisah dan kepingin marah.  Saya merasa terombang-ambing.  Mungkin karena saya baru meninggalkan Kuala Lumpur dan harus menata hidup kembali.  Saya kadang bertanya tanya, apa artinya ini semua kalau saya kembali lagi ke tempat asal? Apa ini sesuatu yang baik atau malah sebaliknya? Saya jadi galau tentang apa yang harus saya perbuat untuk masa depan. Mencari pekerjaan yang sesuai. Rasanya seperti anak baru lulus, padahal kenyataannya tidak.  Sering kali ideologi saya berbenturan dengan pemikiran orangtua, dan karena itu kami tidak luput dari argumen yang melelahkan.  Saya kecewa karena harus kembali ke kampung halaman yang kalah meriah dan ramai dengan kota besar yang pernah saya tinggali sebelumnya. Bukan meriah dalam artian megah, tapi saya sulit menemukan orang sepehaman yang bisa diajak bicara dan bertukar ide disana.


Saya merasa takut kena racun yang menjadikan saya pasif dan malas, karena saya tahu, saya menyimpan sifat itu di dalam diri saya.  Sifat kurang berinisiatif.  Maka saya harus dikelilingi dengan kelompok yang senantiasa berpikir dan bergerak.   Pokoknya saya udah capek.  Disempat saya kebingungan dan lelah, saya terus menekan diri saya dengan mengejar beasiswa, interview kerja satu ke lainnya, pindahan barang... dan belum lagi tarik-ulur masalah hati.... betul betul melelahkan. Beberapa hasilnya berujung pahit, bikin saya makin getir.

Eh, jadinya saya curhat kan...

Makanya saya memang sangat menunggu-nunggu ke Ubud.  Walaupun sempat urung karena pekerjaan baru yang saya sebutkan itu.  Namun, akhirnya saya memutuskan izin pergi dengan mengambil unpaid leave (worth it!).   Senang rasanya bertemu dengan teman teman disana, ada juga beberapa teman baru yang saya kenal di dalam festival dan juga teman teman sepermainan yang juga memutuskan untuk berangkat ke Ubud untuk festival sama.  Rasanya cukup takjub mengetahui takdir kita bertemu dipersimpangan lagi.  Persimpangan itu bernama Ubud.

Ya, kalau dipikir-pikir memang menakjubkan.  Di Ubud saya bertemu dengan 3 teman semasa kuliah dan 1 teman dari Kuala Lumpur.  Seakan akan Ubud ini adalah jembatan koneksi.  Menyenangkan saat memperkenalkan teman baik saya yang satu ke lainnya.

Untuk Festivalnya sendiri, rasanya tetap meriah.  Kelihatannya Festival terlihat nampak lebih sepi, namun setiap saya berkunjung ke panel, tempat duduk selalu penuh! Walau begitu antusiasme saya kali ini berbeda.  Tahun lalu saya lebih gelisah karena itu adalah pertama kali volunteer.  Dulu saya kurang bisa membagi waktu, nggak sempat melihat panel yang seru dan mengikuti workshop.

Kali ini, karena saya ogah rugi waktu. Saya selalu siap dari jam 6 dari penginapan.... mendaki jalanan campuhan - sanggingan yang menanjak lalu ikut kelas yoga gratis di taman baca, kalo nggak ikut yoga, saya pergi jalan-jalan ke sawah.  Kemudian sekitar jam 8-9 saya nongkrong di kopi seniman Left Bank sebelum bertugas dan lompat lompat panel dari siang sampai sore.  Baru kemudian saya turun, biasanya ke betelnut atau Bar Luna untuk acara malam dan kembali lagi ke hotel jam 12.... hebat! 

Saya nggak merasakan capek sama sekali, tapi sepulang dari Ubud nafsu makan saya luar biasa bertambah!  Saat mengetik post ini saya sudah memakan 1 bubur ayam, 2 keping biskuit sari gandum dan nyemil kacang bali.  Sudah menyeruput 1 gelas kopi, setengah kotak nescafe french vanilla (yang terpaksa dibuang karena terlalu manis) dan 1 gelas teh... dan ini bahkan belum jam 12 siang!

Mungkin istilahnya, meskipun memiliki antusiasme berbeda, saya lebih menjiwai UWRF tahun ini!

Ini segelintir dari penemuan menarik saya di Ubud tahun ini....




ROOM4Dessert

Piring piring makanan penututup yang sudah habis, favorit saya adalah:
Todo sobre mi coco (Coconut Dessert) and Creme Brulee (The menu says 'Just Vanilla', trust me, it is not!)
Room4Dessert adalah restoran khusus hidangan penutup dengan nuansa menarik di depan Neka Gallery.  Kafe ini dimiliki oleh Will Goldfarb, seorang pastry chef yang memiliki restoran dimana mana, termasuk juga di New York!  Will juga speaker TEDxUbud untuk tahun ini.  Saya merasa beruntung karena saya tidak hanya mencicipi dessert buatan Will, tapi juga bertemu dan berbincang dengan Will sendiri.  Orangnya sangat bersahaja dan sangat menghargai setiap tamu yang datang ke restoran.  Pertama kali datang ke Room4Dessert, saya datang di malam hari bersama lima teman teman saya.  Suasana restoran berbeda dengan suasana tempat makan di Ubud lainnya.  Dengan pencahayaan yang lembut, lagu lagu indie yang mengalun dari iTunes personal Will, pengunjung yang memadati bar dan meja--tempat ini terasa bukan di Ubud.  Sangat urban, tapi tidak terlalu ramai.  Memang tempat yang cocok untuk menghabiskan malam.  Room4Dessert buka dari pukul 7 malam hingga 3 pagi.  Berbeda dengan tempat tempat publik Ubud lainnya yang tutup jam 10 malam. Tahun ini Room4Dessert dijadikan sebagai venue beberapa acara seperti program seni dan peluncuran buku di UWRF.  Will mengundang kami untuk datang.  Suatu sore saya iseng datang untuk peluncuran buku resep Mohana Gill, teman baik Pak Bondan Winarno, chef berkebangsaan Malaysia yang tumbuh di Myanmar... Saya bertemu dengan Will lagi, dan dengan ramah ia mengenali dan menyambut saya.



Demontrasi memasak Mohana Gill

Teh Myanmar, asam segar, terbuat dari rosella, namun... tidak merah!

Book Launch. Mohanna Gill (sebelah kiri dengan gaun pink) dan Pak Bondan Winarno (you know which one he is!)

ARMA (Agung Rai Museum of Art)

Dikarenakan ada prosesi Pura Gunung Lebah disepanjang Jalan Raya Ubud-Sanggingan-Campuhan, semua event di Museum Blanco dialihkan di ARMA.  Suatu tempat yang saya nggak tahu dimana--tiba tiba cukup duduk di shuttle dan dibawa keliling Ubud--rupanya dibalik Monkey Forest aja.  Tapi jangan sekali kali jalan dari Pasar Ubud sampai ke ARMA... Pokoknya jangan! Kecuali kalau mau persiapan marathon atau adu fisik.

Saya nggak bohong, kan? Kita sampai pake tikar
Credit photo : UWRF 2014 photography team
Suasana Closing Night Party di ARMA
Credit Photo : UWRF 2014 Photography Team
Alphamama on stage
Credit Photo : UWRF 2014 Photography Team

Ontosoroh Theater Performance
Credit Photo : UWRF 2014 Photography Team
Venue ARMA sendiri jauh lebih kecil dari Museum Blanco, tapi cukup untuk menampung kerumunan untuk 2 acara malam, termasuk penutupan, sebelum festival berakhir.  Saya ikut nonton bareng "Sokola Rimba", pentas teater "Ontosoroh", dan penampilan musisi mancanegara.  Sengaja nggak duduk di kursi, tapi saya dan teman teman menggelar tikar biar bisa tidur tiduran sambil menatap langit malam dan bulan purnama diatas sana.  Splendid moment, indeed!

Poetry... Poetry... Poetry

Puisi... Puisi... Puisi... Ah, apa artinya hidup tanpa puisi?  Saya datang ke Ubud bukan dengan tangan kosong. Kalau enggak, saya paksakan, bela-belain ngeprint di kantor dan belajar pake stapler gede, datang pagi atau saat lembur... saya nggak bisa membawa zine saya ke Ubud!  Apa itu Zine?   Saya sendiri baru tahu tentang Zine pertama kali saya datang ke event Senorita di Kuala Lumpur.  Zine itu adalah kreasi paling sederhana tapi paling efektif dan murah kalau kalian ingin memamerkan karya kalian, biasanya yang berupa puisi atau grafik.  Zine nggak tebal (kecuali Zine saya) dan ada juga yang nggak dijilid.  Jadi bikin Zine sesuka hati.  Saya bawa 10 kopi Zine saya ke Ubud.  Masih ada sisa.  Saya bagi bagikan ke penulis yang saya pegang dan teman saya (yang katanya) mau memajangkan Zine saya di kafenya.  Itu sudah lebih dari cukup.

Tapi ternyata... saya kurang lega kalau nggak ikut Poetry Slam!

Dan ini benar benar gila.  Saya nggak habis pikir kenapa saya mau ikut Slam.  Mau mempermalukan diri?  Cuma setelah saya pikir.   Biasanya saya nekat aja maju ke panggung spoken word di Kuala Lumpur dengan sajak yang lupa lupa ingat.... pede aja... kalau saya bisa di Kuala Lumpur, kenapa nggak di negeri sendiri?

Jadi saat itu pukul 6 sore.  Saya baru turun dari Jalan Campuhan ke Betelnut, untuk screening 'Tracks'.  Baru datang, tiba tiba sudah credit rolls aja.... hiks.  Jadi saya duduk sendirian di Betelnut. Sofa paling atas dan tengah.  Penonton sudah pada surut pulang.  Saya me-whatsapp teman teman sekalian biar datang ke Betelnut untuk Poetry Slam lebih awal 1 jam, karena saya yakin venue bakal penuh.  Saya duduk aja sembari curi start awal.  Pekerja di Betelnut lagi sapu-sapu dan beres-beres, but none was making a fuss about me being there.  Betul saja, 30 menit sebelum Poetry Slam dimulai, antrian pengunjung di depan Betelnut sudah panjang sampai ke IO/CO, butik yang bersebelahan dengan venue.  Takjub saya melihatnya.  Padahal saat Pecha Kucha, di malam pertama, antrian panjang tapi nggak lebih panjang dari antrian yang ini.

Jadi mundur ke beberapa jam saat Poetry Slam belum mulai dan saat Betelnut masih kosong melompong, saya duduk menatap panggung yang kosong.  Lengkap dengan mic dan proyektor yang belum nyala.  Kok rasanya panggung ini mengundang saya untuk maju ya?  Saya mengecek beberapa postingan teman teman di Path, entah kenapa... langsung saya tergerak untuk menulis sajak singkat berjudul "I do not know how to be 22."

Yang sebenarnya satir.   Melihat teman sebaya yang kepingin cepat nikah atau berada di hubungan yang amat serius, kadang yang bikin muak... mereka suka pamer pamer... atau yang suka pamer foto foto saat bekerja untuk menandakan seberapa mapannya dia atau pamer barang barang belanjaan... Saya enggak tahu, mungkin perasaan saya saja.  Tapi saya disana di Ubud, menyadari ambisi saya berbeda dari mereka.  Apa mungkin saya nggak bisa bertingkah seperti anak usia 22 sewajarnya?

Sedang menjiwai puisi
Credit Photo : Bimooo... UWRF 2014 Photography Team
 Seharusnya peserta poetry slam mendaftar secara online.... namun, saya belum mendaftar.  Saya takut ini akan menjadi kendala.  Tapi karena saya sudah curi start, dan sempat bertemu Jessie dan Kamau, dua duanya adalah spoken word champion yang menggawangi kompetisi malam itu, saya malu malu minta dimasukkan di slam, dan akhirnya... mereka memperbolehkan saya tampil!

Ah sial!  Perasaan saya campur aduk.  Puisinya baru ditulis 2 jam dari kompetisi dimulai.  Belum latihan.  Tapi entah kenapa, rasanya itu nggak begitu penting.  Yang penting saja maju dan cerita apa yang saya rasakan.... Saya juga deg degan, karena harus berkompetisi dengan Melizarani, spoken word artist asal Kuala Lumpur dan juga mentor spoken word saya selama di KL, yang tampil memukau banget malam itu dan juga Mbak Putri Minangsari, spoken word artist Indonesia yang bener bener romantis dan soulful... ada juga Uti, anaknya mbak Putri, yang masih muda dan talented banget.  Wah, saingannya berat!

Namun setelah itu, saya merasa lega.  Berkat dukungan teman teman saya maju.  Selepas acara saya juga sempat berbincang dengan idola saya, Kosal Khiev, mantan napi asal Kamboja yang di penjara di Amerika dan Abe Nouk imigran asal Sudan yang mencari suaka di Australia.  Keduanya punya latar belakang yang menarik dan keduanya adalah penyair yang waaaaah.... so cool!   Saya juga bertukar zine dengan Stephanie Dogfoot, spoken word champion Singapura-UK!  Saya suka puisinya yang betul betul berbicara soal 'tekanan' dan 'ekspektasi' saya rasa itu yang saya rasakan juga.

Pokoknya malam itu adalah malam terbaik setelah sekian bulan saya merasa galau... mungkin hari terbaik setelah sore terakhir saya di kantor Kuala Lumpur dimana saya memeluk teman teman kantor bahkan atasan yang menyebalkan dan menghabiskan waktu dengan teman spesial yang baru datang ke Kuala Lumpur dan keesokan harinya saya bangun, berteriak dan lompat lompat di kasur... "I DON'T HAVE TO WORK!"

Hari Minggu, saya mengikuti workshop puisi oleh Emily Zoe Baker.... dipenghujung hari puisi kelompok kami rada mencla mencle meskipun brainstormnya keren.  Tapi nggak apa apa deh.  Ya penting have fun!


Pada akhir kata...  Sebetulnya masih banyak cerita yang nggak bisa saya sampaikan dalam satu posting saja. Tapi Ubud selalu memberi saya pengalaman dan wawasan yang memperkaya.  Di mulai dari isen ikut TEDx tahun kemarin sampai Oktober bulan ini, ada 'oleh-oleh' yang selalu saya bawa saat meninggalkan Ubud.  Ada persahabatan baru, ada cerita baru dan ada kepercayaan diri baru... dan juga rasa kangen.

Meskipun tahun ini faktor 'misteri' atau 'kejutan' nggak sebesar tahun lepas, karena tahun lalu saya masih meraba raba Ubud, tetap saja saya berniat mengunjungi festival tahun depan... Doakan saja sebagai penulis kali ini!! (AMIN)



See You Next Year
Credit Photo : UWRF 2014 Photography Team

Catatan kecil... Entah kenapa saat kembali ke Indonesia, saya yang mengharapkan dapat bekerja di lingkungan yang 'Indonesia'.  Saya punya motivasi besar untuk berkembang sekaligus bermimpi untuk jadi Creative Director atau Copywriter ternama.  Tapi jalan memang masih panjang, saya harus banyak berlatih dan bersabar.  Sekarang, berada di Indonesia dan bekerja dibawah pimpinan asing mengajarkan satu dan dua hal, lebih banyak ke refleksi diri dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Entah kenapa malah tenaga asing lebih dominan menguasai Indonesia.  Setiap jalanan di Ubud, saya melihat banyak iklan yang menawarkan 'room for rent' atau 'room for lease' berbahasa Inggris.  Jelas saja targetny,a orang ekspat, toh? UWRF contohnya sendiri diprakarsai oleh seorang usahawan Australia.

Bukannya nggak mau menghargai jasa orang luar yang sudah membantu membangun Indonesia, tapi entah kenapa, saya melihat adanya pergeseran. Kemana talenta asli orang Indonesia?  Apa hanya nyaman di sektor BUMN atau pemerintahan?  Dan, sudahkan mereka menciptakan dampak signifikan di negara yang tercinta ini?  Oh, mungkin sudah, tapi mungkin saya kurang jeli menangkap hasilnya.  Lebih jeli mengamati iklan iklan dadakan di jalanan Ubud tersebut.

Kalau orang dari negara lain bisa mengapresiasi budaya dan talenta asli Indonesia dan mau melestarikan, gimana dengan orang Indonesia sendiri?  Apakah sebetulny ada keinginan untuk bisa mandiri secara penuh? Atau nyaman dengan yang sudah ada?    Maka dari itu, apresiasi dan gerak kecil untuk melestarikan budaya Indonesia saya mulai dengan menulis postingan dalam Bahasa Indonesia.... :)  Setidaknya, ini keahlian mentah saya yang bisa disumbangkan untuk menggerakkan wawasan teman teman dan diri saya sendiri.  

Comments

Popular Posts