In Bed with Milo


P.S : I cannot think of anymore story to write, so this is just a piece of what I have been writing and eventually becoming a scrap.  Still an intelectual property of Ayu Meutia Azevy. My brother's taking law, you might want to know that.



Dalam riwayat hidupnya yang bakal mencapai dua puluh empat tahun, Kinan dikenal sebagai jurnalis yang muda nan handal. Namun, tidak ada yang bisa membuat Kinan merasa lebih dungu. Ketimbang duduk di bar sebuah klub prestisius, sendirian dengan ponsel pintar digenggaman.

Sementara sebagian orang bercengkarama dan bersosial dan sebagian lagi asyik dalam dentuman musik. Ia sibuk dengan dunianya. Menggulir layar sentuh yang membuka halaman berita online  dengan jari telunjuk.

Marriage at a fall, a man attempted a suicide

One, cosmo, please” begitu Kinan melihat tajuk di halaman utama.

Sebuah gelas koktil kerucut meluncur dengan gerakan lambat di atas permukaan meja. Gelas itu terisi cairan berwarna merah penuh, sebelum akhirnya tinggal satu perempat gelas habis dalam sekali diteguk.

Baru lima hari pergi dari Indonesia, Kinan selalu rindu kabar dari tanah air. Maka, ia tidak pernah lepas memantau berita nasional. Bukan hanya karena kewajiban, ia selalu penasaran.

Padahal sebetulnya, hari ini ia hendak mengurungkan niatnya membaca berita, dikarenakan jam terbang yang begitu padat. Lagipula, ia sudah bisa menebak isi tajuk utama berita Indonesia yang tidak lebih dari korupsi yang tidak pernah berganti hari ke hari. Kadang diselingi berita ringan seputar aparat keamanan dan anggota dewan yang mendadak menjadi artis, atau munculnya girlband atau boyband baru yang mengusung alirian ke Korea-Korea-an. Ada pula berita musibah sosial yang selalu bikin prihatin dan berganti setiap harinya. Berita yang ia baca, contohnya.

Justru, hal hal norak ini yang membuatnya rindu.

Ia meneguk kembali campuran jus cranberry dan vodka itu hingga ke dasar gelas.

Another one,” ia setengah seru seraya menggoyangkan gelasnya ke udara kepada bartender bartender yang tengah sibuk melayani pengunjung yang silih berganti datang. Sampai beberapa menit kemudian, seorang bartender menundukkan kepalanya seperti isyarat mengiyakan.

Kemudian gelas itu digelincirkan lagi dihadapannya. Kali ini dengan gelas pendekmungkin karena gelas koktil biasa sudah terpakai—dan garnish berupa irisan lemon. Kinan biarkan disitu saja, tak tersentuh disebelah gelas koktil yang sudah kosong. Jarinya masih naik dan turun menyentuh layar ponsel pintarnya. Membaca-baca judul berita yang seharusnya sudah ia baca dari dua belas jam belakangan.

Selepasnya, ia meninggalkan koktil dan tiga perempat isinya beserta lembaran Dollar Singapura di atas meja.

What is that?” seorang pria kaukasia  menegur seraya mengernyitkan matanya yang kecokelatan.

Kinan menatap kembali lembaran uang yang baru saja diletakkan di mejanya, sesaat ia memutarkan pinggulnya dari kursi tinggi bar yang berputar ke arah keluar.

Dollars… ” jawabnya sangsi atas pertanyaan yang mengherankan itu.
Kinan masih terduduk di atas kursi bar dengan kaki yang sengaja diulurkan keluar, hendak berdiri dari kursi.

Pria itu menyeringai setelah itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mengeluarkan sekeping benda menyerupai kartu dari dompet yang baru ia keluarkan dari saku. Sebuah kartu kredit.

What year are you living now?” sindirnya penuh gaya. Ia berbisik kepada bartender seraya menerima pesanan minuman berupa gin & tonic.

It is on me,” ia memiringkan badan ke arah Kinan namun tidak beranjak dari kursi yang ia duduki, tidak terlalu jauh jarak dari tempat Kinan berada.

Kinan mendengus kesal.

Keramaian di klub ini sudah cukup membuat Kinan tidak merasa nyaman. Ditambah  kecongkakan lelaki ini membuat dirinya sebal.  Namun, dalam hati ia mengira-ngira, atau memang dia dan sifatnya yang anti-sosial.

Kinan mulai memancing sang lawan bicara. “Have you heard of time machine?”

“Yes, I have…  fictional time machine.” Pria itu menspesifikan

“Guess what. It is, in fact, actual. Because, I came from 1920 and my time travel works.”  ujarnya sinis sambil berlalu menuju teras klub. Menyentakkan kembali lembaran uangnya ke dalam tas. Paling engga bule playboy ini gue bikin rugi untuk sekarang—batinnya berkata.

Sejauh mata memandang dari teras, bangunan pencakar langit saling berjajar dan memamerkan lampu-lampunya yang satu mati—sebagaian lagi menyala—dari satu bangunan ke bangunan lain. Kinan menikmati pemandangan yang mewah ini, yang justru berbanding kontras dengan kampung halamannya. Dimana gedung gedung bersaing untuk menjadi yang paling megah dan cantik.

Alih alih terlaksana, adalah palang palang konstruksi yang bertengger di bangunan setengah jadi yang menjulang ditengah pemukiman rakyat sederhana yang penuh dengan genting oranye meretak.

Sekarang hal mana yang di dalam hidup tidak kontras? Barusan saja tajuk yang ia baca mengabarkan seorang lelaki nyaris bunuh diri karena gagal kawin.

Lelaki nyaris bunuh diri karena hampir batal kawin. Lelaki. Bunuh diri. Gagal kawin. Laki laki. Kawin. Bahkan, sebagai wanita yang usianya terbilang sudah siap menikah pun enggan memikirkan tentang urusan pelaminan. Mungkin jaman memang sudah berubah. Mungkin dia memang seorang penjelajah waktu.

Hanya saja ia teringat, bukan pria malang itu satu bukan hanya satu di dunia. Ada satu lagi. Dan sangat dekat di hidup Kinan.

Api itu merambati ujung rokok yang berubah menjadi abu, seakan membakar rasa gelisah Kinan perlahan-lahan makin meredup.

Aren’t you coming inside?” panggil suara berat yang diacuhkan Kinan begitu saja.

Suara itu makin mendekat, “I am sorry if I made you uncomfortable earlier.”

Dari ekor matanya, pria itu sudah ikut berdiri bersebelahan dengan Kinan. Sementara, Kinan masih menghisap pangkal manis gulungan tembakau. Giliran pria itu yang merasa tidak nyaman.

Kinan berjalan menuju asbak—yang bentuknya lebih besar dan terlalu layak untuk disebut asbak—yang tersedia di ruangan terbuka itu, dan menguburkan ujung rokok. Ia kemudian berjalan kembali menuju tempat ia berdiri semula. Langkahnya terhenti di depan pria asing yang tersenyum di depannya.

Kemudian, Kinan berlalu begitu saja.

Hey, wait. If you walk out now, you won’t be able to come in!” suara itu menyeru saat Kinan hendak menuruni tangga teras yang menuju pintu keluar gedung.

Says who?” tantang Kinan yang menolehkan wajahnya ke arah suara. Ternyata, pria itu mengejar dari belakang dengan lari lari kecil. Ia terhenti di pangkal tangga, berdiri dengan jarak dua anak tangga jauh dengan Kinan.

See that girl,” Ia mengarahkan jari telunjuk ke dalam klub. Merujuk kepada sesosok gadis manis berwajah hispanik kaukasia—yang terlihat lebih mirip gadis Melayu berkulit cerah—berambut ikal panjang gelap berhighlight dengan gaya pakaian bak rocker androginius memasuki ruangan, di kelilingi sekelompok lelaki berkeperawakan tinggi besar, lengkap dengan kaus hitam ketat.

Kinan memicingkan mata dan menatapi gadis itu lekat lekat. Kemudian membelalakkan matanya,

Is that Demi Lovato?” sebutnya.

Pria asing itu menganggukkan kepala dan menyengir lebar.

Yup. She’s having a private party now and booking the entire club. If you want to crash in, come in now.”

Kinan membalas pria itu dengan tatapan tidak terkesan.

Ia menghela nafas dalam dan mengerecutkan bibir, seolah mempertimbangakan dengan ragu. Lalu ia lepaskan dengan senyum, “No thanks.”

Kinan melengos dan menuruni tangga.

Hey wait!”
Kinan mendengar lagi suara itu mengejar dari balik pundaknya dan derapan sepatu.

Just because she’s grown up Disney star that doesn’t mean she’s not cool. I am her creative director!” Suara itu kedengaran seperti menebak pikiran Kinan.

Kinan menggetarkan lidah di dinding dalam bibir. “You sound convincing.”

Ia tidak mengacuhkan lelaki di belakangnya dan terus menelusuri tangga hingga sampai di ujungnya. Hingga pada akhirnya, ia keluar dan berganti memasuki elevator.

Pria itu terus menyusul. Sayangnya, Kinan kurang gesit. Pria itu buru buru masuk ke dalam lift, sebelum Kinan merapatkan pintu. Mereka berdua berdiri bersebelahan di dalam lift yang belum bergerak.

Which floor?” tanya Kinan satir. Ia kemudian menekan tombol “G” di dinding lift. “Oh, who am I kidding?” gumamnya.

Lift terus bergerak ke bawah dengan kedua penumpang di dalamnya yang diam. Satu menatap lurus dingin ke depan, dan satu lagi menatap satunya dengan seringai penuh keberhasilan.

Pria itu masih menolehkan kepalanya. Terus menatapi ke pucuk kepala Kinan yang sejajar dengan dagunya sambil meredam suara cekikikan, yang padahal Kinan dengar jelas. Lantas, Kinan merasa risih.

Would you stop doing that?

Lagu lounge itu berhenti, elevator berdenting, disusul pintunya yang bergeser membuka.

Ground Floor.” sahut mesin operator.

Kinan mempercepat langkahnya. Sekeluar dari gedung, ia bergegas dan melambai-lambaikan tangan sesampainya di halaman lapang terbuka. Berharap setidaknya ada satu-dua taksi yang memperhatikan. Sementara di belakangnya pria asing masih mengejar. Kinan tidak terinitimidasi.

Sesosok lelaki bermata sipit yang kulit keriputnya berwarna kuning langsat, yang Kinan sapa dengan sebutan “Uncle”, menyetopkan mobil berwarna mencolok yang ia kendarai di hadapan Kinan.

Can I come with you?” tanya pria asing itu memelas, saat Kinan hendak beranjak duduk di kursi penumpang taksi yang baru ia panggil.

Lantas, ia mengeluarkan setengah badannya dari taksi. I will get rid of you, once and for all—batin Kinan

Listen to me, Mister. If you are looking for random Asian woman to have a good time with. Then you’re looking wrong.” Ia menekankan pada frase “good time” dan mengucapkannya sambil mengisyarakatkan tanda kutip dengan jari-jarinya.

I am not looking for any good time.” pria itu membalas dengan membeoi bahasa tubuh Kinan barusan. “I just want to flee from the party.  This is my last day in Singapore and all I have been visiting were airport, my hotel room, concert hall, dance studio and that rooftop bar. I just want to go somewhere out.”

Well, the 360 degree view from that rooftop bar are good enough to sum the whole view of Singapore.” Kinan menyadari jawaban a la tour guide yang baru dilontarkan sungguh tidak akan membuat pria itu beranjak dari tempat berdirinya sekarang.

Kinan lalu mengimbuhi, “and I am not a Singaporean. I don’t know anywhere fascinating to take you.

That’s okay. He’s Singaporean.” pria itu menunjuk Uncle taksi asyik mencungkil sela sela giginya dengan jari kelingking, nampak acuh sambil terus memandang bayangan dirinya di kaca spion. Sesekali ia membuat bunyi clak-clak.

You discomfort me.” tegas Kinan lagi.

Would it comfort you if I tell you that I am married and I have a three-year old back in Los Angeles?”

Kinan serasa ditampar.

Sebenarnya, ia tidak menampik bahwa pria ini berpenampilan menarik dan mungkin ada terbesit sedikit rasa bule—ini—boleh—juga saat ia mendekati Kinan. Semula, ia berekspektasi pria ini masih melajang. Tak nampak sedikit pun tanda kebapak-bapakan dari perawakannya. Tidak ada perut buncit maupun kantung mata besar tanda letih.

Sebaliknya, Kemeja hitam itu membungkus sempurna figur yang tegap dan tinggi. Ditambah celana jins yang memudar dan sepatu tali kanvas yang senada dengan kemejanya yang ia kenakan. Tidak terlihat kekanak-kanakan, namun tidak pula nampak seperti lelaki yang berkeluarga.

Jelas saja, Kinan bisa menebak, pria ini mungkin paling jauh berjarak sepuluh tahun lebih tua darinya.

Kinan terbuyar dari invesitigasinya. Kadang ia menyadari, begitu bergantung sifat pribadinya dengan kodrat pekerjaannya sebagai jurnalis.

That is not comforting!” seru Kinan. “That is lethal, okay. I am in a serious relationship as well.” tanpa disadari, kata kata itu tergelincir dari lidah Kinan. Ia pun tidak mengerti apa yang ia ucapkan.

Pria itu mulai cekikian kembali.

You seem nervous.” ujarnya.

What? Nervous, what? Like I’m—into—you that kinda nervous,no…no.” bela Kinan terbata bata. “I mean that’s not comforting, the fact that a married man will be hitting on me…

Your face is as red as a chili crab,” potong pria itu dengan candaan.

Muka Kinan makin memerah tanpa ia sadari dan langsung memekik.

OH….pffff…. CARROTS AND PEAS, CARROTS AND PEAS!

“Woy, you two… are you going inside? Traffic light is turning green mah, can’t stop here any longer.” sela sang supir taksi yang menunjukkan raut muka kesal.

Seketika lampu lalu lintas di seberang bertukar menjadi merah, dan satu lagi di jalanan terdekat bertukar menjadi hijau. Kinan bergegas memasuki taksi dan membanting pintu keras. Diikuti dengan sang pria asing yang seketika sudah duduk di kursi penumpang di samping Kinan.

Stop me here! Stop me here!” Kinan menggoyang-goyangkan kedalam-keluar pegangan pintu taksi. Sementara lampu lampu jalanan melingsir ke belakang dari jendela pintu penumpang.

Can not, mah! You want me to get fine, no?” jawab supir taksi lantang.

Kinan menggerutu. “Drop me into the next stop available.” Ia melipat kedua tangan di dada dan merebahkan kepalanya di sandaran kursi.

Sejenak semuanya sunyi.

Sorry, if I discomfort you.That’s okay. I am walking after the next stop.” Suara itu terdengar lesu memecah keheningan

Pria disampingnya nampak letih seraya menyelonjorkan tubuh jenjangnya. Kaki panjangnya dipaksa melipat di belakang bangku penumpang depan. Kinan pun jadi sedikit bersimpati dan melengserkan asumsi bukan bukan terhadap kelakuan menyebalkan pria itu. Mungkin pria itu bersungguh-sungguh ingin mencari angin segar seperti turis. Bukan mau main kejar kejaran.

Perhatian Kinan teralihkan dengan bunyi sms masuk dari ponselnya. Ia membaca pesan dengan seksama dan kemudian berkata,

Sekarang ia yang mulai bertaruh. Betul atau salahkah tindakan ia selanjutnya ini.

Hey, do you want to come and shop with me?”

Comments

Popular Posts