A happy place called Tom - 7

Sebelumnya baca bagian 6

It is us against the world. Hanya kita berdua melawan satu dunia yang besar ini. Begitu kata Tom saat kami reuni di malam wisudaku, di atas seprainya yang sudah ia cuci bersih dan harum. Malam itu, ia benar-benar mengharapkan kehadiranku. Aku mengingat kata-kata itu bahkan saat aku berhadapan dengan Nick, kencan butaku.

Dari kencan buta itu aku kembali ke rumah untuk mendapati kamarku yang sudah kosong.

Hanya ada satu tempat tidur, bantal dan selimut serta koper biru yang duduk di pojokkan. Aku sudah mengirimkan semua barangku ke Indonesia. Tidak ada pilihan lagi. Visaku akan habis tepat 2 hari mendatang. Aku tidak ingin menjadi WNA yang buruk di sini maka aku harus pergi meninggalkan London.




"Hai," sapa Katherine lesu dari balik pintu.

"Hai, Kat."

Gadis berambut pirang itu celingak-celinguk menatap seisi kamarku yang sudah melompong. "Wow." ia berdecak.

"Ya, I know right." Aku melihat sekelilingku. Hampir 2 tahun aku menetap di sini. Tidak terasa. Dua tahun yang berkesan.

"So, Missy. How was your date?" Katherine mengerling. Aku tidak tahu mau menjawab apa keculi tersenyum dan menggeleng.

"Ya," Katherine mengaggukkan kepalanya. "Kalau aku punya mantan sekeren Tornado Tom, tentu aku memasang ekspektasi yang tinggi."

Tawaku terpancing. Sudah tiga bulan aku berpisah dari Tom. Bahkan, Milky yang kecil itu sudah semakin besar.

Kemudian, ada suara ketukan dari pintu depan. "I'll go get it." Katherine berlari-lari membukakan pintu. Sejenak kemudian, aku mendengar sayup sayup suara perempuan dan laki-laki berbicara diikuti bunyi derap langkah yang lebih berat dan kencang kembali menuju kamarku. Dengan sumringah, Katherine menampakkan wajahnya kembali. "You have a guest. Incoming."

Tak lama kemudian, Tom muncul di belakang Katherine menggumamkan terima kasih. Aku menghela nafas, jantungku berdetak kencang, aku merasa aliran darah di kepalaku dan membuat wajahku hangat. Tom tidak seharusnya berada di sini.

"Hai," sapanya ringan, kikuk, ia memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana jins yang ia kenakan.

"Hai," jawabku singkat.

"Oh, hai, Milky kamu sudah besar rupanya."

Tom mendekat kearahku dan mengambil Milky dari pangkuan. Aku memalingkan wajahku, aku betul-betul tidak ingin berada di dekat Tom atau membiarkannya menyentuh tubuh, wajah atau tanganku. Walaupun ia menyenggolnya sedikit saja, aku tidak mau. Aku berharap tidak mau mencintainya lagi.

Selama beberapa menit, aku hanya menontoni Tom menggaruk perut Milky yang gemuk. Pria tampan dan anak kucing, benar-benar kombinasi sempurna untuk meluluhkan hati wanita.

"Aku tidak percaya kamu besok akan terbang ke Indonesia." ujarnya lirih.

Aku merenung ke arahnya. "Ya, sama, aku juga nggak percaya. Dua tahun ternyata waktu yang singkat."

"Sudah melamar pekerjaan di Jakarta?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Jakarta, atau Indonesia. Semuanya itu adalah tanda tanya besar."

"Kamu sudah cek spam di e-mail?"

Aku mengernyitkan dahi. "Untuk apa?"

"Mungkin BBC mengirimkan surat penerimaan kerja, siapa tahu masuk di spam."

Aku terkekeh dibuatnya. "Oh, Tom. Berharap sekali kamu."

Dengan segenap keseriusan, Tom membalasku. "Apa kamu tidak mengharapkan hal itu?"

"Tom," aku beranjak dari tempat tidur, gusar, karena ia semakin mendekat ke arahku. "Aku sudah berharap banyak."

Aku merasakan keberadaan seseorang di belakangku, hembusan nafas menyusuri belakang leherku dan tangan yang lebar menggamit pundakku. "Tom, kamu tidak seharusnya di sini."

"Sarah, kita bisa melakukan ini. Kita tidak harus berpisah karena kita berjauhan. Aku bisa melihatnya."

"Melihat apa?" tanyaku ketus.

Dengan terbata-bata Tom menjawab "Masa depan," Ia kemudian menggamit wajahku. "Masa depan kita."

Aku bisa merasakan tangan Tom yang keras. Aku mengambilnya dari pipiku kemudian aku remas. Aku tahu pelan-pelan ia menyusupi benteng hati yang sudah aku bangun tinggi-tinggi. "Kamu ingat apa yang kamu katakan di restoran sebelum The Cage. Bahwa waktumu akan berkurang untukku, dan juga sebaliknya. Itu yang aku bisa rasakan dari masa depan itu. Melanjutkan hubungan kita, hanya sia-sia."

"Sia-sia, Sarah? Kamu tidak ingin mencoba untuk semua ini? Berjuang?"

Aku menatap matanya. Tidak ingin begitu tahu apa yang ia maksud dengan 'semua ini'. Hubungan satu tahun yang kira rajut. Us againts the world. Milky. Semua ini adalah hal yang wajar di dalam sebuah hubungan, kan? Semua hubungan memang mempunyai sesuatu yang spesial, tapi bukan berarti semuanya harus berjalan sampai seumur hidup. Semuanya ada tenggatnya.

Tapi, perasaanku terhadap Tom tidak akan pernah punya tenggat.

"This is goodbye, Tom." ucapku berusaha terdengar tegar di sela air mata yang satu persatu bergelincir turun ke pipi. "Sudah aku bilang. Semuanya menjadi sulit kalau kamu masih menemuiku. Can you just let everything go?"

Aku tidak pernah melihat Tom seemosi ini. Ia menundukkan wajahnya dan mendengus, kesal. Wajah penuh amarah ini hanya aku bisa lihat saat Tom latihan atau sebelum melangkah ke atas ring.

"Kamu bilang, can you just let everything go? Aku tidak salah dengar?"

Aku mencoba tegar saat Tom menatapku dengan berapi-api. Aku melihat ia mencoba memperhalus suaranya dan menahan air mata yang jatuh dari matanya yang berkaca. Ia tidak marah.

"Apa kamu melihat dirim di cermin. Kamu yang menangis. So, can you let everything go? It seems we are both not ready. But you want me so bad that I leave, so..." Tom mengelus pipiku kemudian menarik wajahku ke dekatnya, dan mendaratkan sebuah ciuman di kening. Lalu, aku melihat ia berjalan menjauh kearahku. Semakin jauh, aku menatap kearah punggungnya yang besar dan bidang.

Di kakiku Milky mengerang. Mungkin ia mau susu. Saat aku ke dapur, aku menengok ke jendela. Tom belum berjalan jauh dari rumahku.

"Tom!" sekali aku berteriak, Tom terus melangkah maju.

Baru tiga kali berteriak, ia memutar badannya ke arahku dan melihat ke arah balkon. Kami saling berpandangan. Bukan untuk yang terakhir kalinya.

Aku menemui Tom di bawah. Tanpa ada kata-kata, aku langsung menggengam tangannya. Mengitari London untuk terakhir kali bersama Tom. Makan di rumah makan Cina dan mengitari Little India. Sampai duduk di taman pinggir kota, menghadap Big Ben dan Sungai Thames.

"Apa yang kamu ingin lakukan sebelum pergi dari London?" tanya Tom. "Aku tidak akan latihan sampai malam. Aku sepenuhnya milikmu."

Aku menoleh kearahnya dan memicingkan mata. "Kamu sudah download episode terbaru Games of Thrones?"

Tom menghabiskan malam di apartemenku yang kosong. Ia membawa laptopnya dan duduk di sebelahku. Sampai aku terlelap. Aku betul-betul tidak begitu peduli dengan apa yang akan terjadi dengan Jon Snow. Mungkin aku bisa menonton episode terbaru di pesawat.

Di pagi harinya, aku bangun. Katherine menyediakan sarapan untukku. French Toast dan segelas teh. Kemudian, ia memelukku erat.

"Don't be a stranger, okay?" bisiknya.

Tom berjalan di belakangku, membawa koper biru besar sedangkan aku membawa tas ransel dan Milky di kandang kecil. Aku memasuki Volkswagen putih yang butut itu, kendaraan yang mengantarku ke bandara Heathrow, dan keluar dari Inggris.

Aku harap tidak untuk selamanya.


Comments

Popular Posts