A happy place called Tom - 6

Sebelumnya baca bagian 5

Terkadang kita selalu buru-buru menggapai sesuatu atau menuntaskan suatu persoalan karena kita tidak sabar untuk memulai sesuatu yang baru, atau lari dari hal yang tidak kita sukai. Kita selalu ingin menghindari permasalahan.

Aku kira meraih gelar S2 akan membuat nilai diriku bertambah, memudahkanku mendapat pekerjaan dan melancarkan rejeki. Namun, sudah hampir setiap hari dalam seminggu aku menghadiri interview. Aku belum mendapatkan pekerjaan yang aku mau, atau pekerjaan yang tidak aku mau sekalipun. Belum ada panggilan masuk. Aku mulai ragu, mungkin saja ini karena mereka tidak mau memberikan dokumen kerja bagiku. Karena visa kerja bagi warga negara asing sangat mahal, dan jarang perusahaan besar ingin memperkerjakan mahasiswa yang baru lulus serta tanpa pengalaman kerja.

Kalau kembali ke Indonesia rasanya aku belum siap. Aku belum siap untuk memulai kehidupan baru, karena nyatanya kehidupanku berada di kota London.

Di dalam cermin aku menatap bayangan seorang perempuan muda yang cantik di dalam kebaya dan bawahan batik. Wajahnya dipolesi oleh make-up tipis dan rambut sedadanya di gelung seperti konde. Tapi tidak ada yang bisa membaca kemelut di hatinya. 

Baru kali ini, aku merasa hilang arah tujuan. Namun, itu bukan berarti aku tidak merasakan bahwa perubahan yang akan datang di dalam hidupku. Perubahan itu datang ketika aku memilih untuk bekerja di gym. Hari-hari yang begitu membosankan. Padahal dulu aku paling takut kalau dicap bosan atau tidak asik. Namun, lama-lama kebiasaan seperti itu, harus aku akui adalah bagian dari kehidupan juga. Aku tidak perlu berusaha banyak untuk menarik perhatian, menjadi orang yang menyenangkan dengan bertingkah seperti orang penting atau asik. Lambat-laun, tanpa sadar aku membersihkan 'lingkaran' sosialku, ada orang-orang yang akhirnya aku tinggalkan dan ada orang-orang yang secara aku sadari, mendekat.

Salah satu yang mendekat adalah--ya, kalian tahu siapa.

Tapi, yang-kalian-tahu-siapa sekarang menghilang. Membuatku berlarut, karena aku tidak ada niat menyisihkan Tom. Aku merasa bersalah, karena aku sudah sengaja maupun tidak menyisihkan Tom dari kehidupanku. Ah, kalau saja ada cara untuk mengajak Tom kemari dan mendekat.

Aku mendengar Ibu memanggilku untuk keluar. Aku akan diwisuda. Aku menarik nafas panjang. Oke, satu babak kehidupan dewasaku berakhir dan babak baru segera di mulai.

Selamat datang kehidupan nyata!




Semenjak datang ke London, Ibu dan Ara tidak berhenti berbagi cerita internal. Entahlah, tentang laki-laki yang sepertinya sedang mendekati Ara yang katanya juga sedang bersekolah di London dan juga kemenakan dari salah satu menteri. Ya, Ara. Ara anak yang manis dan baik-baik, aku tidak heran segala cerita dongengnya. Dari kecil, ia sudah dibesarkan dengan kepercayaan bahwa ia akan tumbuh sebagai putri raja. Aku juga dibesarkan dengan pemikiran seperti itu. 

Tapi, aku tumbuh dewasa dan semuanya berubah. Ara? Ia tumbuh seperti yang Ibu harapkan.

Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Hanya saja, kenapa harus Ara yang mencuri perhatian di saat hari besarku tiba?

Akhirnya aku bertemu juga dengan pria yang disebut dengan Rey. Reynald Subagio. Subagio, nama keluarganya sama seperti nama Menteri Penerangan dan Informasi. Pantas saja Ibu bersimpatik dengan Rey. Usianya sama denganku, berarti lima tahun lebih tua dari Ara. Mereka saling mengenal saat Rey ke Jakarta dan kebetulan salah satu teman Ara adalah teman baik Rey. Secara Ara tahu cara berdandan dan membawa diri dengan baik untuk menutupi banyak kekurangan diri di balik tebal-tebal riasan wajahnya itu, tentu saja Rey langsung suka di pandangan pertama.

Mereka sudah pacaran selama satu tahun. Lebih lama dari aku dan Tom. Ara, adikku yang beruntung. Tapi, aku tidak ingin merendahkan diriku dengan menjadi cemburu. I am better than that.

Rey betulan datang ke acar wisudaku. Lima jam setelah aku duduk di dalam aula hanya untuk mendengar namaku di panggil dan menerima satu kertas penting di dalam hidupku itu, aku keluar. Aku melihat sekelilingku dan merasakan banyak kebahagiaan dan rasa haru. Ini adalah terakhir kali aku akan berjumpa sahabat-sahabatku. 

Begitu juga saat aku melihat pasangan yang baru diwisuda dan mereka memberikan ciuman sebagai tanda kasih. Kemudian seperti mendadak aku merasakan awal kelabu memayungi kepalaku. Saat aku memutar badan, aku malah menemukan Ara sedang berpegangan tangan dengan Rey, mencoba untuk kelihatan mesra namun malah terlihat menjengkelkan.

Aku terpaksa harus memblokir Ara dari sosial media karena ia selalu menyebarkan update pacaran yang menggelikan dan juga memuakkan. Aku bahkan tidak tertarik untuk pacaraan atau punya kekasih karena update sosial medianya. Rasanya semua terlihat ribet dan terlalu diatur. Senyum manis, pegangan tangan di depan kamera... tapi aku menebak Rey dan Ara pasti kerap bertengkar. Mereka berdua adalah dua manusia alfa yang merasa lebih baik dari yang lain.

Ya, sayang Tom tidak ada di sini. Aku rasa Ara juga akan sangat kagum dengan Tom. Ia pasti tidak menyangka kakaknya yang terlihat introvert dan ia selalu sangka seperti 'girl next door' itu bisa bersanding dengan seorang Tom. Yang jelas, Rey pasti tidak mau mencari gara-gara dengan pria seperti Tom.

Tapi, aku buang jauh-jauh pikiran itu. Segalanya tentang Tom. Karena, Tom tidak di sini.

Aku melangkah ke depan. Terus mengikuti langkah Ayah. Ia berjanji untuk mentraktir kami sekeluarga (plus Rey) untuk makan di restoran di tengah London. Entah dimana, sepertinya lumayan mahal, karena aku dengar ini adalah restoran kesukaan Rey dan Ara (padahal aku yang di wisuda!)

Namun, tidak apalah. Mungkin semua ini rejeki. Kebagian makan di restoran Michellin Gordon Ramsay. 

"Sarah..." panggil Ayah. Ada suara keraguan dari nadanya bicara.

Aku yang terseok-seok di dalam sepatu hak tinggi yang menguliti tumitku. Aku mendongak. Kemudian menemukan Tom di hadapan kami.



Berdiri canggung dengan memegang sebuah buket bunga mawar merah. Baru kali ini aku melihatnya mengenakan setelan jas, dan ya Tuhan, aku rasa aku tidak bisa menopang berat badanku sendiri. Ia seksi saat ia berkeringat telanjang dada di ring, lebih seksi saat ia bergulat denganku di bawah selimut dengan tubuhnya yang polos. Tapi dengan setelan jas, ia nampak seperti lelaki berbeda. Entah karena potongan jas atau memang tubuhnya yang bagus, aku menyukai bagaimana bahu Tom yang bidang terbingkai sempurna di dalam setelan itu kemudian setelan itu mengerucut di bagian perut dan pinggang memperlihatkan bentuk tubuh Tom yang sempurna.

Tom berada di samping mobil kami, berdiri canggung. Pantas saja Ayah terlihat ketakukan. Tom persis seperti pencuri mobil.

"Hi, babe." ujarnya dibalik senyumnya yang tipis dan cemas. Cemas karena pertama kalinya ia bertemu orangtuaku. Tanpa ia sadari, penampilannya yang tinggi dan besar juga mengintimidasi keluargaku.

"Hai," aku berjalan selangkah mendekat, kemudian Tom buru-buru menarik pinggangku dan mendaratkan ciuman terburu-buru di kening. Wajahku memerah. Aku menoleh ke belakang, bunga buket aku dekap di dada, bersiap melihat ekspresi anggota keluargaku. Mereka semua nampak diam dan tertegun.

"Hai, Pak. Nama saya Tom." Tom mengumpulkan kejantanannya yang tersisa dan melangkah lebih dekat ke arah Ayah yang berdiri 10 sentimeter lebih rendah darinya. Untuk pria berumur 55 tahun, Ayah termasuk gagah, dan ia selalu terlihat percaya diri. Namun di samping Tom, entah kenapa kelihatannya percaya diri itu hilang, sepertinya ia harus menggunakan Old Spice hingga kepercayaan dirinya kembali lagi.

"Hai," Ayah menjabat tangan Tom kembali. Tom kemudian menjabati tangan Rey. Haha. Betapa senangnya aku melihat perbedaan tinggi badan Rey dan Tom. Kemudian ia menjabati Ara, yang menatapnya dengan terbengong-bengong.

Lalu, Ibu. "Hi, Ma'am. Lovely to meet you." Tom menjabat tangan Ibu paling lama dan paling erat, mungkin karena tahu Ibu yang paling galak dari mereka semua, jadi hatinya yang harus ia menangkan terlebih dahulu.

"You look lovely, darling. Is this a traditional clothes that you are wearing?"

"Is that a bruise on your face, Tom?" aku membalas pertanyaan yang kemudian membuat Tom kikuk.

"Um, ya..."

"It must be The Cage," Uh, aku harap lebam di matanya tidak akan mengurangi rasa simpati kedua orangtuaku. "Did you win? How was it?"

Sebelum Tom menjawab, Ayah menyambar dengan senyum lebarnya. "Ayo, daripada ngobrol di sini lebih baik kita makan malam biar bisa ngobrol sama-sama."

Aku memandang Tom lekat-lekat. Jari-jarinya menggamit tanganku dengan keras.


Beruntung bagiku, Bahasa Inggris Ibu tidak begitu lancar. Jadi di meja makan malam, Ibu hanya menjadi penonton. Sama seperti Ara dan Rey. Mereka diam, bukan karena keterbatasan bahasa, sepertinya sosok laki-laki seperti Tom memang secara natural bisa mengintimidasi. Tapi mereka tidak bisa melihat yang aku lihat. Di dalam sosok pria itu masih hidup anak kecil, yang begitu manis dan terkadang bisa jadi rapuh. 

Aku menggenggam erat tangannya di atas meja makan, tidak sungkan lagi mengumbar kedekatan di depan orangtuaku. Meskipun, nampaknya Ibu tidak setuju. Ia tidak bisa berkata-kata. Namun, Ayah setiap kali ia melihat Tom, ia seperti melihat bintang film barat yang ia kagumi.

"Jadi Tom, dari mana kamu berasal?" tanya Ayah dengan Bahasa Inggris lancar dengan aksen Indonesia yang ringan. 

"I am from Hammersmith, Sir, that is the Southern part of London." Tom menjawab dengan fasih, namun aku gemas karena melihat sekelibat rasa takut dan patuh di matanya. Oh, Tom. Kamu berani bertarung dengan pria-pria ganas, tapi dengan Ayahku yang tubuhnya setengah lebih kecil dari kamu, nyalimu jadi mendadak ciut.

Aku tersipu melihat sikapnya yang hati-hati dan tidak berhenti menahan tawa.

"Oh ya? Keluarga masih di sana?" tanya Ayah lagi.

Pertanyaan itu menohok kami berdua. Aku memandangi Tom dan meremas dengkulnya pelan. Ia meletakkan tangannya di atas tanganku. Mencoba mencari ketenangan.

"Saya hanya dibesarkan oleh Ibu saya, dan ya, Ibu saya sehat tinggal di Suffolk dengan kakak perempuan saya." senyum Tom.

Ayah mengangguk. Di sampingnya Ibu memperhatikan gerak-gerik Tom dengan jeli, berusaha menerjemahkan bahasa lisan maupun gerak-gerik Tom.

"Work..." lontar ibu terbata-bata. "And you are working... as... what?"

Aku terlonjak begitu Ibu melontarkan pertanyaan itu. Seharusnya Tom juga, namun ia masih memiliki ketenangan yang begitu dalam. Ia mencoba membuat Ibu hanyut dengan senyumnya. Oh Tuhan, aku harap Tom tahu harus menjawab apa.

Perawakannya tidak memungkinkan dirinya terlihat seperti dokter, ya? Hmm... mungkin seorang pengacara, banker, eksekutif advertising kek...

"Saya bekerja di bidang olahraga. Sports." jawab Tom tenang.

"Sports?" Ayah mengangguk perlahan seperti bangga. "Kamu atlit?"

"Ya."

"Atlit apa?"

Aku meremas dengkul, Tom. Berharap ia berbohong saja atau menghentikan percakapan sampai di situ dan mengalihkan ke hal yang lain.

"Mix Martial Arts." jawab Tom jujur, dan jawaban itu membuatku menutup mata. Rasanya semua mendadak kecut.

"Oh? MMA? Tarung bebas?"

"Ya." Tom mengangguk.

Aku melihat wajah Ayah yang tadinya bersahaja menjadi serius. Alis matanya naik dan dahinya mengeriput. Muka Ibu bertambah masam. Ara nampaknya terkesima, sementara pacarnya, Pangeran Reynald, mendadak pucat pasi. Semua punya reaksi berbeda. Termasuk aku, yang jadi menggigil aneh.

Ayah menunjuk ke arah Tom. "Tidak..." ia menggeleng.

Tom menurunkan wajahnya.

"...Tidak mungkin. Tidak mungkin, kamu petarung yang saya lihat tanding semalam di TV, bukan?" tunjuk Ayah ke arah Tom.

"Bapak menonton The Cage semalam?"

"Saya tidak ingat acaranya. Tapi, ya... hahaha... itu kamu, bukan? Tom!" Ayah meninju lengan Tom yang keras. Sebagai balasannya, Tom menoleh kepadaku tersenyum lega. Ada banyak campuran emosi di situ.

"Sayang kamu kalah. Padahal, aku suka caramu bergulat. Aku pikir kamu akan menang dari si rambut merah itu."

"Urgh, si rambut merah Jenkins. Ya, aku juga tidak menyukainya." imbuh Tom.

Di meja itu aku merekam kebersaman Ayah dan Tom yang terasa hangat. Sementara, Ibu duduk diam dan lebih banyak mengobrol dengan Ara. Di sampingnya, Rey merasa tidak nyaman seperti berada di tempat yang salah.

"Hei, aku tidak tahu kalau kamu kalah dari pertandingan semalam." bisikku ke Tom saat Ayah tidak mengajaknya mengobrol.

Ia mengangkat bahunya. "Entahlah. Tapi, rasanya aku menjadi pemenang malam ini." ujarnya sambil mengedip kepadaku kemudian meneguk champagne.



Di dalam mobil, hanya ada aku dan Tom saling berpandang-pandangan. 

"Kamu tahu apa yang aku rasakan sekarang?" aku memainkan jari-jari Tom di tanganku. 

"Lega?" jawab Tom halus.

Aku mengangguk. "Thanks, Tom." Aku mengecup pipinya kemudian bibirnya. Ah, sudah terlalu lama. Lantas, Tom menyambutku dengan ciuman yang lebih dalam, seperti mengisap nektar dari bunga.

Aku meletakkan tanganku di dada Tom. "Orangtuaku bisa melihat kita."

"Jadi?"

"Tom..." aku mengernyit. "It is just that we can't be so publicly affectionate in front of them."

"Ya, aku tahu. Budaya dan segala macamnya itu." jawab Tom lesu, kecewa. "Jadi, malam ini, ya. Ke tempatku?"

"Tom, keluargaku ada di sini malam ini. Aku harus melayani mereka." Tanganku meraih rahangnya yang keras dan kasar. "Sabar ya. Aku rindu kamu juga."

"Okay, sweetheart." Ia mendaratkan ciuman lembut di bibirku. "Off you go, biar aku kembalikan mobil ini ke rental."

"You are the best!"

Aku melihat Volkswagen itu menjauh perlahan dariku. Kemudian aku bergegas menemui keluargaku di suite. Ibu sedang duduk di ruang televisi, bersama Ara yang nampaknya letih. Ia melipat kakinya ke atas kursi, tidak memperdulikan gaunnya. Sedangkan Ibu, melepas hijabnya dan mengurai rambut pendek sebahunya. Entah Ayah berada di mana.

Aku menghadirkan diri di tengah-tengah mereka. Ibu mendongak ke arahku, tatapannya tajam. Ia memberikan tatapan yang sama setiap kali aku membuat kesalahan besar. Ia tidak memberitahuku secara langsung apa kesalahan itu, tapi aku tahu.

Kemudian, ia berjalan masuk ke dalam kamarnya. Di atas kursi, aku lihat Ara memandangku dengan senyum yang begitu tipis, tanda kemenangan.



"Hey," Tom terkejut begitu aku tiba di depan pintu juga.

"Hai." Aku berusaha menutup kegusaran di wajahku.

"Aku kira kamu sedang melayani keluargamu." 

Aku melangkah dari ambang pintu dan menuju kearahnya. Memburu bibirnya dengan satu dan dua ciuman. Jari-jariku memberontak dan melepas kancing bajuku satu-satu.

"Fuck that. Aku melayanimu sekarang."

Tubuh Tom yang besar terdorong ke belakang. Aku membungkamnya lagi dengan ciuman. Sudah lama, aku tidak intim dengannya. Makanya, wajar kalau aku merasakan sensasi yang meledak-ledak. Tubuhku memohon. Namun, mataku yang terpejam kemudian membuka saat aku mendengar suara-suara riuh.

Beberapa teman Tom ternyata sedang ada di rumahnya. Buru-buru aku lepaskan ciuman dan merapatkan kancingku yang terbuka. Betapa malunya. Rasanya aku mau menghilang.

Kelima pria itu meminta diri, sedangkan aku memalingkan wajahku.

"Oh, malunya." ujarku.

Tom tertawa. "Kamu harusnya bilang jadi mau ke sini. Kami sedang menonton Piala Eropa."

Aku menghembuskan nafas dan mengikuti Tom masuk ke dalam rumah. Aku hempaskan diriku ke atas sofa.

"Jadi, ternyata aku harus lebih charming lagi ke orangtuamu?" aku bisa mendengar Tom menyeduh teh di dapur.

"Ya, selalu begitu. Apalagi dengan Ibu. Semua langkahku selalu dilihat salah. Dan akhirnya kamu ketemu dengan Ara. Kamu lihat sendiri betapa menyebalkannya dia, bukan?"

Dari belakang sofa, Tom mendekatkan wajahnya dan mendaratkan satu lagi ciuman. Singkat.

"Hadiah wisudamu." Tom menyerahkan kotak besar ke hadapanku. Sebagai pelipur lara aku menguncang kotaknya dan mendengar bunyi tak terduga. Aku membelalak.

"You know, I cannot afford a ring, just yet." ujar Tom.

Aku mengangkat seekor anak kucing berbulu putih dari kotak tersebut. "Aku mengadopsinya dari penampungan."

"Are we going to raise this baby together, Tom?"

"Are you thinking of other ways?"

"Tom, this is us against the world now."

"It has been always us against the world."

Aku menahan nafasku, kemudian aku beranikan diri untuk mengatakan. "I love you."

"I love you, too."

Dan malam itu, kami bercinta dengan hebat di hadapan anak kucing kami, Milky. 

Comments

Popular Posts