Off The Tracks : Tanjung Puting


Entrance to Camp Leakey
Dipertengahan tahun 2012, saya benar-benar terobsesi dengan novel Supernova keempat yang berjudul Partikel.  Ceritanya berkisar tentang seorang fotografer muda bernama Zarah yang sempat menetap di Tanjung Puting, kawasan hutan luas di Kalimantan Tengah.  Disana, ia menjadi 'ibu angkat' dari bayi orang utan.  Di akhir tahun 2014, akhirnya, kesampaian juga mengunjungi daerah Taman Nasional Tanjung Puting, Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah.

Ide liburan tercetus ketika jam makan siang di gedung seberang.  Cilla, art director di kantor bilang, "Enaknya liburan kemana ya... yang tenang, tanpa hura-hura kayak di Bali. Pokoknya kepingin santai aja ngeliat pemandangan."  Terus saya mencetuskan saja, "Kayaknya Tanjung Puting enak tuh, gue juga belom pernah kesana."

Sebulan kemudian, here we are... jalan jalan ke Tanjung Puting.


Hari 1 : Pangkalan Bun - Tanjung Harapan - Pondok Tanggui



Tanjung Puting's dark waters
Kami tiba kurang lebih saat waktu makan siang di Bandara AU Iskandar, Pangkalan Bun dari Jakarta. Waktu tempuh Jakarta - Pangkalan Bun kurang lebih 1 jam dengan Trigana Air.  Ada 2 pilihan maskapai yang melayani rute Jakarta - Pangkalan Bun, yaitu Trigana Air dan Kal-Star.  Kami menunggangi kedua-duanya.  Trigana Air untuk pergi, Kal-Star untuk pulang.

Ini pertama kali saya dan teman-teman ke Kalimantan.  Dari bandara kami langsung bergerak menuju dermaga di Kumai.  Banyak boat berjajar, kami menaiki kapal "Dolphin" yang mengantarkan kami ke petualangan memasuki Tanjung Puting selama 4 hari 3 malam.

Boat yang disediakan melebihi ekspektasi kami.  Saya yang sudah wanti-wanti membawa Super Bubur dan Mi Gelas dan beberapa snack jadi kecele, karena pelayanan boat sangat memuaskan. Kami diberi makan lengkap untuk Sarapan, Makan Siang dan Makan Malam.  Bahkan disuguhi dua piring makanan ringan seperti sukun goreng dan pisang goreng untuk makan sore!  Ini bahkan lebih mewah dari makanan kami sehari-hari di kos!

Camp pertama yang dikunjungi adalah Camp Tanjung Harapan.  Ada 3 Camp yang terdapat di Tanjung Puting : Tanjung Harapan, Pondok Tanggui dan Leakey.  Sore hari kami pergi itu sesi feeding orang utan pertama.  Sambil berjalan memasuki hutan kami harus berhati-hati dengan keberadaan semut api atau kotoran babi hutan.  Maklum, namanya juga hutan.

Di Tanjung Harapan, ada lapangan luas dari pasir.  Konon katanya, wilayah ini sebetulnya adalah dasar laut yang mengering.  Membuat saya berpikir sejenak dan bersyukur, betapa beruntungnya kami dapat mengunjungi Tanjung Puting yang masih terjaga dan terlindungi. Siapa tahu, nasib hutan dan alam di hari-hari kedepan. Tanjung Puting sendiri dilengkapi dengan fasilitas seadanya dan terlalu luas untuk bisa dijaga.


Feeding station

Feeding area di satu camp, ke camp lain tidak jauh berbeda.  Ada panggung dari kayu, ranger yang membawa pundak-pundakan rotan yang berisi pelepah nangka dan buah pisang.  Ranger akan menyerukan seruan yang mereka yakini sebagai panggilan orang hutan ala Tarzan.  Namun, menurut saya, they are just making noise, mereka cuma bunyi-bunyi aja.  Tapi orang utan sendiri mempunyai suara yang khas.  Coba kecup punggung tangan Anda kuat kuat atau bayangkan Anda sedang panasnya bersenggama dengan pasangan, kluk-kluk, bunyi itu sama seperti orang utan ketika ia merasa terancam.

Orang Utan di satu camp ke camp lainnya punya karakter yang berbeda.  Besok kami melanjutkan perjalanan ke Camp Leakey.  Camp tertua di Tanjung Puting yang didirikan oleh Birute Galdikas.

Sebelumnya, kami bermalam di depan Camp kedua, Pondok Tanggui.  Kami juga sempat night trekking ke dalam hutan dan menemukan organisme nocturnal seperti kalajengking, tarantula, burung biru... untung saja nggak ketemu ular, ya!  Karena, katanya sering muncul.

Hari 2 : Pondok Tanggui - Camp Leakey

Pagi pagi, kami dibangunkan dengan keberadaan Atlas, orang utan 10 tahun yang lincah melompat di pinggir sungai tempat perahu kami terparkir.  Atlas, sebetulnya tinggal di Camp Leakey, entah siapa yang membawanya sampai ke Camp Pondok Tanggui.

Anyway, setelah sarapan, kami berangkat untuk melihat feeding di Pondok Tanggui.  Proses feeding tidak begitu berbeda dari satu camp ke camp lain.  Hanya saja binatang yang terlihat di feeding bervariasi.  Bukan hanya orang utan saja, bahkan tupai juga hadir terpanggil untuk feeding.  Yang paling saya suka adalah melihat bayi orang utan... aduh, lucu banget!

Cuaca di Tanjung Puting tidak bisa ditebak, mendadak panas, mendadak hujan.  Boat berteduh sebelum melanjutkan perjalanan ke Camp Leakey!

Tanjung Puting's gateway

Waktu di Camp Leakey lebih cepat satu jam karena disesuaikan dengan waktu penelitian.  Camp ini didirikan atas gagasan primatologi muda Kanada, asal Lithuania bernama Ibu Birute Galdikas.  Ia sudah menetap di Indonesia selama 40 tahun.  Tiba di Tanjung Puting, ia berusia dua puluhan. Bayangkan menjelajahi hutan ini sebelum ada boat yang layak dan masih banyak binatang liar berkeliaran!  Sekarang Ibu Galdikas berumur 70 tahun dan menetap di Pasir Panjang, Pangkalan Bun. Sayang kami tidak bisa berjumpa dengannya.  Dimana-mana nama Ibu Galdikas disebut, seperti "Ibu" dari Tanjung Puting sendiri.  Ia terkenal lembut, penyayang dan akrab dengan masyarakat sekitar.

Camp Leakey juga terasa istimewa, karena disebut-sebut di buku Supernova Partikel.  Ceritanya Zarah menjadi ibu angkat dari bayi orang utan disini.  Saya yang sangat tergila-gila dengan ceritanya, merasa bersyukur pada akhirnya saya bisa mampir dan main kesini.

Siswi, dominant female in Camp Leakey


Orang utan di Camp Leakey lebih interaktif.  Mungkin, karena jumlah turis yang berdatangan disini lumayan banyak dan karena Camp ini adalah tempat penelitian.  Tidak menimpa kami, sih, namun kami di wanti-wanti untuk lebih berhati-hati dalam menyimpan barang-barang.  Karena, sewaktu-waktu orang utan bisa jadi nakal dan mengambil tas atau barang-barang Anda.
Disini kami bertemu dengan Siswi, betina dominan di Camp Leakey.  Siswi tidak bisa punya anak lagi.  Namun sebelumnya, ia sudah melahirkan 2 anak namun meninggal.  Rupanya tidak hanya manusia, orang utan pun punya insting keibuan yang kuat.  Siswi tidak suka melihat betina lain yang punya anak.  Siswi akan mengamuk.

Kebetulan saat kami lewat, Siswi pun sedang berada di tengah jalan.  Kami harus mulai mengatur langkah dengan hati-hati.  Setelah lewat, tiba tiba seekor betina lain dengan anaknya datang, Peta. Kami bisa melihat sendiri Siswi yang mengamuk dan bergulingan di lantai.  Peta terus berjalan dengan si kecil Peter yang bergelantung di tubuhnya.  Ia sesekali menatap ke belakang, mengawasi gerak gerik Siswi.

Hari 3 : Dermaga Pondok Ambung - Desa Sekonyer - Kunang Kunang



Interaction between one another
Dua hari kemarin, kami terkesan dengan air di sekitar Camp yang nampak merah cerah.  Seperti yang dijelaskan Nina, tour guide kami, air tersebut aman untuk digunakan untuk mandi karena tidak berbau dan tidak berbekas.  Merah warnanya karena, sudah lama terendam bersama akar akar pohon. 

Kami pun diajak untuk berenang di Dermaga Pondok Ambung, sebuah spot sepi dan aman bebas buaya--tapi katanya di depan spot adalah kandang buaya!  Beberapa orang lokal percaya diri untuk nyemplung bebas ke sungai sungai sepanjang Tanjung Puting yang banyak buaya. Karena mereka percaya mereka akan aman, karena buaya kenal sama mereka.  Lucu, ya?

Setelah berenang, kami bergerak maju ke Desa Sekonyer, di depan Tanjung Harapan tepatnya. Nggak terbayang hidup di desa yang terletak di dalam hutan.  Tapi, kehidupan di Desa Sekonyer tidak berbeda jauh dengan desa-desa lain.  Beberapa penduduk dengan kasualnya membakar jagung untuk Tahun Baru.  Ada satu sekolah disana, dan saya membayangkan jadi guru yang mengajar disana. Harus berjuang naik kapal dari Kumai hingga kesini.  Perjuangannya luar biasa.

Pada malam hari, kami makan bersama awak kapal.  Ditemani dengan cahaya kunang-kunang.  Baru pertama kali melihat kunang-kunang, mereka nggak jauh beda dengan hiasan pohon natal di mal-mal. Kelipnya memang terang.  Kami memasukkan kunang-kunang ke dalam botol.  They were out of this world.   Satu persatu, kunang-kunang terbang saat kami lepas. Melihat pijarnya yang asing dan mungil, mereka nampak indah.

pretty flickering fireflies

Kami mengawali awal tahun diatas boat dengan sunyi hanya ditemani bintang-bintang dan suara hutan.  Kami tidak menghitung menit ke jam 12.  Tapi cukup dengan indikasi letusan kembang api dari desa terdekat, akhirnya kami memasuki tahun baru.

Hari 4 dan 5 : Pangkalan Bun

Siapa sangka, perjalanan ke dalam hutan dapat mengingatkan saya terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggal.  Nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dipelajari dari alam sekitar dan makhluk hidup di dalamnya. Mendengar cerita-cerita unik dari kru kapal juga membuka wawasan kami tentang kehidupan dan budaya di Kalimantan Tengah.  Dinamika sosial yang ada di dalamnya yang berkaitan dengan kelangsungan penjagaan hutan.  Banyak sekali kapten kapal yang banting setir dari profesi surveyor yang bisa membiayai mereka sampai 20 juta sebulan, karena hati mereka terketuk.  Mereka sadar bahwa usaha yang membiayai hidup mereka merusak ekosistem.  Banyak juga cerita miris tentang penebangan hutan liar dan penembakan orang utan.  Cerita tentang hukum-hukum yang masih bisa dibengkokan.

Kami pulang di hari kembali ke Pangkalan Bun di hari keempat disambut dengan badai yang cukup kuat.  Sementara itu, kota ini masih dalam duka dan kehebohan tentang jatuhnya pesawat QZ8501 di dekat Teluk Kumai.  Kota ini mendadak jadi sibuk, bandara ditutup khusus untuk evakuasi.  Untung kami berhasil terbang dan selamat kembali ke Jakarta pada hari Jumat sore.  Sisa waktu yang tersisa kami gunakan untuk menyusuri Pasar, Sungai dan mencari Batu Kecubung

Perjalanan ke Tanjung Puting ini membuka keinginan saya untuk berpetualang lebih jauh lagi menuju alam alam Indonesia yang belum saya sentuh.  Cukup senang akhirnya bisa main ke Kalimantan. Destinasi selanjutnya apa, ya?

Comments

Popular Posts