Konfront


Author's note : It is thirty minutes to midnight. I was supposed to be sleeping half an hour earlier. But I miss writing story. Sorry if the story doesn't get any more sensible, since I am too sleepy to write, but I enjoyed it. Plus, thanks to Coldplay and the cloudy weather during my journey on the train back home. You trigger the little voice inside my head to speak. Plus it is in Indonesian! Yeay!

Ini sangat konyol. Kami saling menatap canggung begitu kami berjalan sejajar sambil mendorong pintu masuk. Tidak ada yang datang tepat sesuai janji. Kami setengah jam terlambat. 

Seraya menyapa datar, kami akhirnya memasuki ruangan kafe. Mata kami saling terpaku begitu. Aku tahu. Kedua dari kami menyembunyikan sesuatu. Sebuah alasan yang disimpan hambar dibalik janggalnya senyuman yang mengembang di bibir kami yang sama sama dibaluti pengkilap bibir.

Aku tidak tahu cerita dia petang ini, tapi, aku betul betul terjebak macet sehabis rapat. Tapi, tanpa harus menelaah, tidak ada satupun dari kami yang niat menyempatkan diri untuk mengarungi macetnya jalan, maupun menunda kegiatan yang lain lain, agar tiba di tujuan tepat waktu. Kami malah saling menghindari.

Ia mencarikan meja kosong untuk dua orang. Lalu, ia menyodorkankan menu makanan kepadaku dan mempersilahkan aku untuk memesan terlebih dahulu. Ia persis seperti kakak. Selalu mengalah. Aku mengambil menu dan membaca perlahan. Aku yakin 100% aku tidak pernah mengidap disleksia, hanya saja deretan huruf di menu nampak mengacak-acak dihadapanku.

Mungkin, aku memang tidak tertarik untuk memesan makanan apapun. Lapar dan haus pun saja tidak. Maka, dari balik buku menu yang terabaikan itu, aku merenunginya. 

Aku jamin, tidak ada orang yang menyangka bahwa wanita bertulang pipi tinggi yang wajahnya berbentuk hati ini, akan berulang tahun ke-40 dua bulan lagi. Tinggi badannya pun tidak melampaui daguku. Lingkar pinggangnya terlalu mungil untuk ukuran ibu beranak satu. Dengan mata sipitnya yang nyaris tak berkantung, kulit dan otot yang kencang, dan potongan rambut menyerupai laki laki, ia terlihat lebih tua dari umur 30.

Ia hanya memesang secangkir kopi, dan aku pun hanya mengikuti. Aku mencoba mengalihkan perhatianku kepada pelayan yang tengah mencatat pesanan kami. Namun, diam diam aku berfikir. Apa yang hendak aku katakan begitu pelayan ini pergi dari meja kami? Bagaimana aku memulairpercakapan? Haruskah aku yang memula--sial, pelayan itu sekarang melenggang kembali ke balik bar. Aku meremas lututku.

Haruskah aku bertanya tentang Zidan? Etis-kah?

"Maaf," itulah kata yang berhasil aku ucapkan pertama kali kepadanya. Dengan mata yang terpejam, seakan akan menunggu selongsong peluru melontarkan tembakan maut yang kelak menembus tengkorakku. Aku menunggu hujaman darinya. Namun, dia hanya menatapku dengan mata sipitnya yang membuka lebar, penuh binar, berusaha mencerna.

Aku ulangi lagi, "Maaf." kali ini dengan mata yang terbuka, aku beranikan diri menatap matanya. Lebih adil rasanya.

"Kalau kamu merasa terluka. Dan, kalau kamu rasa kamu harus menghukumku supaya kamu merasa lebih baik... Silahkan, saya ngerti." ujarku. Meski rasanya aku ingin menghantam kepalaku ke permukaan meja. Apa kabar dengan 'pidato'ku yang aku sengaja aku bisikan sering sering di belakang kepala?

"Saya nggak ngerti," katanya, tapi tidak sedikitpun terdengar ketus. "Menghukum kamu bagaimana?"

"Menghina, mencemooh, mengejek, bahkan sedikit kekerasan fisik pun saya terima."

Mendengarnya, ia pun tertawa. "Lain kali, kamu jangan pernah pancing orang lain buat mukul kamu. Kalau kejadian nanti baru tahu. Untung saya sama sekali nggak tertarik dengan kekerasan dalam segala bentuk."

Dengan berat hati, aku mengiyakan sugesti sarkasnya, atau mungkin, dia tidak memberi sugesti apa apa. Sebab, wanita ini begitu tenang dalam menyampaikan perkataannya. Aku tidak bisa membacanya. Ia memang hanya sekadar mengenakan kaus souvenir berwarna ungu Malibu yang pas di badan, celana trainee berwarna putih dan sneakers bercorak senada, tapi sikapnya begitu anggun. Lebih berkelas dari aku yang masih rapi dalam riasan dan baju kantor. Aku adalah profesional muda, umur 26, yang selalu percaya diri. Namun, dihadapannya, ia tidak tahu aku menggeliat gelisah.

"Maksud saya, kamu berhak marah kepada saya." tambahku.

Minuman datang dan dihidangkan, memotong perbualan kami disaat aku sudah sedikit nyaman untuk membuka suara kembali. Mungkin, sang pelayan membaca gerutuan dari sorot mataku. Ia langsung angkat kaki. Sementara, lawan bicaraku menghirup latte-nya aku kembali berbicara,

"Mungkin kamu sekarang sulit percaya dengan apa yang saya sampaikan, tapi, kamu harus tahu, saya tumbuh di lingkungan yang baik dari keluarga berpendidikan dan beragama. Saya nggak ada niat untuk mencelakai orang atau mencampuri hidup orang lain--" aku berhenti sampai disitu, kemudian menghela nafas. Kenapa ini semua terdengar klise?


Aku menghembuskan nafasku dalam kemudian bercerita layaknya teman. "Saya nggak pernah jatuh cinta sebelumnya. Saya bahkan tidak punya rencana untuk jatuh cinta. Mungkin saya nggak terlihat lugu lagi, tapi yang namanya berpacaran pun saya belum pernah. Sampai tiba tiba, saya bertemu seseorang..." dari sini aku menatap mata kecil itu yang kian berpendar dengan lekat. "... di waktu yang sangat tidak tepat. Tapi, saya yakin, dia itu adalah orang yang seharusnya."

Gila, kau! aku mengutuk dalam hati. Apa yang sekarang lawan bicaraku ini rasakan? Kalau kami bertukar posisi, aku sudah semburkan satu cangkir latte panas kearah blus si jalang ini. Namun, aku masih tidak bisa membacanya. Air mukanya nampak tenang, namun, aku malah tambah risau.
Aku ingin ia menyemburkan latte itu sekarang juga dan menunjukkan kepada seisi pengunjung kafe bahwa aku ini adalah seorang wanita jalang yang berani mengambil suami orang.

Tapi dengan santai ia menjawab, "kenapa saya harus marah melihat pasangan yang sedang jatuh cinta? Saya pernah kok jatuh cinta." sempat, aku mendengar nada tercekat di ujung kalimat. Aku pun ikut pilu.

"Saya mengajak kamu untuk bertemu bukan untuk berkonfrontasi. Saya hanya mengingatkan, tentang dia yang akan kamu nikahi nanti--"

"Saya mengambilnya dari kamu--" celaku menggebu-gebu. Menyalahkan diri karena tidak sepatutnya aku diperlakukan begini baik. Aku malah merasa hina.

"Kamu tidak mencuri siapa siapa, toh, dia juga memilih. Saya hanya mengingatkan sosok yang kamu pilih itu. Dia pribadi yang besar. Tujuh belas tahun yang lalu, dia adalah seniman muda berumur 21 yang sedang naik daun. Muda dan penuh kuasa, ia bisa melakukan apa saja yang ia mau dan bisa bekerja dengan nama nama besar di industri. Telefon di meja kantornya tidak pernah berhenti berdering. Hingga datang saya, yang kodratnya selalu lebih tua dua tahun diatas dia. Kita saling mengenal. Kalau kamu bilang, kamu sudah mencuri dia dari saya, seorang wanita tanpa pengaruh apa apa. Kamu terbayang betapa sulitnya menjadi saya? Seorang aktifis biasa yang mencurinya dari sorot lampu panggung, beribu penggemar yang mengelu-elukan, termasuk pendukung loyalnya, dua kakak dan satu orang ibu yang amat mencintainya--" ia berhenti sejenak, dan mengapit punuk hidungnya dengan kedua jari tangan. Ia menunduk lemas kearah minumannya, seakan menolak berbagi pandangan kepadaku. "--mereka kira saya ini sejenis biksu sekaligus penghisap ganja. Membawanya kabur kehutan belantara. Mereka khawatir akan keselamatannya ditangan saya. Padahal, saya hanya mengajaknya meditasi sesekali--" ia mengembuskan nafasnya berat. "Makanya, mereka tidak mendukung keputusannya untuk menikahi saya di usia muda."

"Kamu jangan kecil hati. Kamu sudah berhasil melalui itu semua selama tujuh belas tahun dan Zidan..." aku mencetus. Lalu aku tertegun sendiri, akan betapa bodohnya aku karena terlalu nyaman mengutarakan simpatiku terhadapnya. Semua jadi berputar ke lain arah. Aku berada di posisi yang salah untuk bersimpati.

Isak tangis yang ia tahan mulai mengambur. Aku tahu, aku tahu, rasanya ingin aku peluk badannya yang mungil itu. Sementara butir butir tangisan itu bagai mata pisau yang mencucuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang sepatutnya aku katakan kecuali, "Terimakasih, saya sangat berhutang budi pada kamu."

Kemudian, ia mengangkat wajahnya yang memerah. Aku bisa melihatnya kembali berseri dengan cepat. "Oh, saya tidak menyangka saya bakal menangis di depan kamu. Harga diri saya entah kemana sekarang--cih, harga diri." celotehnya sambil tertawa. Kemudian, ia bercakap dingin dan  terus terang. "Dan, iya, kamu berhutang budi kepada saya."

Belum sempat aku menahannya, ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan aku dengan seribu pertanyaan. Walau sempat aku sebutkan tadi, tapi apa sebenarnya hutang budi yang kami maksudkan.

"Hey!" panggilku.

Tapi, terlambat. Langkahnya terlalu cepat, aku tidak tahu ia pergi kemana. Badannya sungguh mungil, maka ia leluasa untuk bergerak ke segala celah. Aku kembali lagi ke meja di dalam kafe. Sambil merenung dan menimbang-nimbang ponsel di tangan. Ada yang perlu penjelasan tentang pertemuan singkat dan rahasia ini--calon suamiku.

Namun, aku mendengar derap langkah dari kejahuan. Kemudian, aroma tembakau menyerbu masuk hidungku. Dia kembali lagi ke hadapanku dengan satu rokok tersulut diantara dua jari. Lucu, aku kira selama ini dia bukan perokok.

"Impaskan hutangmu. Bayar minumanku saja," ujarnya sengau.

Belum sempat aku iyakan, ia sudah pergi lagi.

Aku mengecek kembali daftar menu. Miris hatiku melihatnya. Semuanya ditebus dengan  secangkir kopi seharga tiga puluh ribu. 

Comments

Popular Posts