Bangku ini Aku Pinjam
“Dan, sempat aku dengar 87% dari populasi di
dunia menemukan pasangan hidupnya yang merupakan seseorang saat mereka berumur
16 sampai 17 tahun. Pagi itu, aku terbangun dalam rentangan tangannya. Kami
sama sama tahu, hutang kami sudah terbayar.”
“Ada orang.” Berkali kali
aku katakan kepada manusia yang mondar mandir melirik bangku disebelahku,
kemudian bertanya setengah sopan untuk menduduki bangku cekung tanpa sandaran
berwarna merah itu.
Bangku ini aku pinjam
dulu, gerutuku dalam hati. Sudah nyaris dua jam lamanya aku letakkan tasku
diatasnya. Aku pun menggerutu karena dia yang belum nampak batang hidungnya.
Gengsi aku. Sebab dari tadi aku tidak bercakap cakap dengan bartender kekar
yang sekarang melirikku tidak nyaman. Tidak segelas pun minuman aku pesan dari
bar. Sementara mata mata itu semakin memicing kepadaku. Mungkin mereka bertanya
tanya dalam hati, kenapa cewek gendut ini berusaha menguasai satu satunya
bangku bar yang kosong—hak dia apa? Mungkin mereka pikir wanita seperti aku
tidak sepatutnya berada disini. Aku tidak menyangkal.
Ada betulnya juga. Malam itu aku nampak kontras dengan blus
kerja lengan pendek yang memamerkan satu jenjang gumpalan otot yang melekat
lembek ditulangku, serta rok pensil yang bagian bokongnya terlalu mencuat.
Kadang sesekali aku intip kancing atas blusku, harap harap tidak lepas karena
saking ketatnya. Sedangkan, pengunjung yang lain berpakaian memang sepantasnya
mereka keluar malam. Walau aku rasa,
tidak akan nampak cukup pantas jika busana itu mereka bawa keluar dalam konteks jalan jalan biasa.
Itulah mereka. Pemuda pemudi kota Jakarta dalam usia mereka
yang dua—tiga puluhan, dengan leluasanya bersosialisasi kesan kemari, cium sana
cium sini. Lain ceritanya dengan aku yang duduk canggung di atas kursi bar
sendiri. Sesekali merapihkan ujung ujung rokku yang terangkat naik. Tapi aku
kadang teringat—siapa yang rela mengintip
gelambir pahamu, wahai si gendut. Maka, kadang aku biarkan saja. Tapi,
karena aku betul betul tidak ada kerjaan selain menunggu, aku lakukan saja
kegiatan penting yang bisa menyita waktu. Aku tarik rokku ke bawah.
Dia kemana sih?
keluhku sambil memutar-mutar pandangan ke penjuru klab malam itu. Orang orang
nyaris terlihat menyerupai koloni semut, dan pantulan cahaya warna warni ini
menyilaukan mataku. Sialnya pula, Blackberry
usangku kehabisan baterai. Kalau tidak, ia sudah bisa aku hubungi dari tadi.
Tak lama kemudian, sosok yang aku tunggu menerobos
kerumuman koloni semut. Badannya memang tergolong bongsor ditengah kerumunan manusia
manusia berbetis mulus, ramping, jenjang menyerupai lidi.
“Rif!” pekikku kepada satu satunya lelaki yang mengenakan
kacamata tebal diruangan. Ia menggeser satu persatu orang dari kerumunan hingga
sampai kehadapanku. Aku tersenyum. Bertambah satu lagi orang yang kena picingan
mata dari pengunjung klab yang merasakan ada satu pasang muda-mudi yang tidak
sepantasnya berada disini.
“Hey!” Ia balas sambil menghela nafas lelah.
Aku singkirkan tasku dari sandaran kursi keatas pahaku,
menyilahkan dia duduk.
“Makin gendut aja kamu.” Sindirnya selagi ia bersusah payah
menarik bokongnya keatas bangku merah.
Aku memicingkan mata saat akhirnya ia berhasil duduk dengan
posisi sempurna di sampingnku. “Apa engga salah?” aku balas nyinyir. Melihatku
ia terbahak, “Pake acara cemberut aja.” Sindirnya lagi. “Engga kok, muka kamu
agak tirusan.”
Aku masih mengernyitkan dahiku. Baguslah! Sudah bersusah payah aku menghindari nasi dari awal aku
masuk bekerja, karena keluhan atasan terhadap proporsi tubuhku yang dirasa agak
kegemukan.
“Sehari sebelum aku mulai kerja, aku mau traktir pizza buat
teman teman termasuk kamu jam makan siang. Maksudku, supaya kita bisa sempat
cerita cerita sebelum aku sibuk ngantor—eh, kamu malah nggak bisa. Sekarang,
giliran diajak ketemu buat minum, kamu malah sempatin.” celotehku panjang
lebar. Aku melambaikan tangan kepada bartender terdekat.
“Terus kenapa?” balasnya bersamaan saat bartender datang
menhampiri. “Saya nggak minum. Dia—kamu aja,” ia mengisyaratkan ke arahku.
“Yah,” aku merendahkan bahu tanda kecewa. “Ngapain kita
kesini, kalo kamu engga temanin aku minum?”
“Aku kan nggak minum, May. Udah kamu aja, kalau ada apa
apa—ada aku.”
Aku menggelengkan kepala. “Satu coke,” terus menoleh
kepadanya. “Kamu apa?”
“Make it two,” ia
menyambar kepada sang bartender yang langsung mencatat pesanan dan hilang dari
hadapan kami. Ia kembali kepada pembicaraan yang tertunda. “Terus kenapa?”
“That makes you a
little bit promiscuous.” Aku sambung dengan tawa datar. “Lebih milih minum
ketimbang kumpul sama teman teman makan
pizza.”
Aku bisa melihat pipi itu memerah kemudian ia meledak
protes. “Yang itu—aku betul betul nggak bisa, aku ada kerjaan. Kali ini, untung
aku bisa sempatkan karena daerah magangku juga dekat dan—“ kemudian untuk satu
saat ia tercekat, “—apa sih yang mau kamu omongin, May?”
“Soal kerjaan, Rif. Belum sampai di
Jakarta satu bulan, aku udah ngerasa nggak betah. Apa aku pulang aja ya?” Aku
membenamkan wajah ke atas permukaan meja.
“Pulang? Ke Palembang?”tebaknya. Aku
anggukkan kepalaku yang ikut terbenam. “Aduh, Kenapa bisa, May? Ada apa di
kantor? Jangan pulang, May.” Tiba tiba saja dia yang terdengar lebih panik
dariku. Aku tengadahkan wajahku yang lembap karena tetesan air mata. Kedua mata
gelap itu tambah membelalak, kemudian hanyut, melembut.
“Ada apa di kantor?” aku ulangi
pertanyaannya. “—biasa ada anak baru di kantor, gendut, dan asalnya dari luar
kota. Bagus untuk dijadiin jonggos disini.” Aku mengekspresikan sebagaimana
para rekan rekan senior di kantor mengucapkannya.
Aku tumbukkan tinjuku keatas meja
sambil bergumam. “Ah, I need a drink. A
real one.” Bak gayung bersambut, sang bartener membawa dua gelas berisi
minuman gelap bergemericis gelembung dan es batu kehadapan kami. Dengan malas
malasan, aku teguk saja.
“Bah!” temanku nampak meludah
sehabis satu kali teguk. “Coke-nya dicampur sama tonic ya?”
Aku memandangi gelas yang aku pegang
sambil mengecap-ngecap. Rasanya pahitnya memang familiar. Samar samar pahit
rasa obat batuk itu memang bisa aku tebak dari kecapan. Aku mengiyakan.
“Mas, Coke satu lagi, tapi yang virgin!” sahutku kepada bartender yang
sama. Aku geser gelas temanku kesamping gelas Cokeku yang sudah habis setengah.
Ia hanya memperhatikanku dengan
seksama saat aku meneguk rakus pahit manis itu sampai habis di dasar gelas. Aku
tidak sanggup untuk menatapnya. Kegelisahanku asyik berlarut bersama dengan
cairan yang aku paksa masuk ke tenggorokan. Sekitarku tidak aku hiraukan.
“May,” suara itu memanggil samar.
Mata ini tidak lagi terasa ringan, namun, masih sanggup aku menoleh kepadanya.
Ia menunjuk nunjuk kearah tulang selangkanya. Aku mengernyit heran—maka aku
perhatikan lagi. Oh, dia
mengisyaratkan kancing blusku yang terbuka. Aku melirik kebawah, dan garis
padat itu membujur tegas dari bawah lipatan blus yang terbuka. Mengintip pula
bantalan atas dari braku.
Dasar wanita gendut! Ejekku
dalam hati kepada diriku sendiri. Ogah-ogahan, aku merapatkan kancing ke
lubangnya. Butuh dua-tiga kali percobaan sebelum aku berhasil mengancingkan
atas blusku dengan tanganku yang bergetar.
“Aku nggak nyangka kita udah besar.” Aku dengar ia
berdecak.
“Apa?” aku sahut ucapannya yang terdengar samar. Begitu aku
hendak menggapai gelas kedua, ia meletakkan telapak tangan diatas bibir gelas.
Ia mendorong satu gelas baru yang diantar oleh sang bartender kehadapanku.
“Nggak mau yang virgin—“ aku berontak, seraya jemariku
menggapai-gapai gelas yang diajuhkan.
“Aku tadi mau bilang—aku nggak nyangka kita udah besar,
tongkrongan kita udah bukan cuma di kantin sekolah lagi, tapi di bar juga sudah
boleh—tapi, ini.” Ia berhenti sejenak. “—ini yang buat aku sangsi. Kenapa kamu
bisa kayak gini, May?”
Lengan gempal itu merengkuhku kencang, hingga aku terdorong
satu-dua senti lebih dekat kehadapannnya. Kami mempelajari wajah yang berada
dihadapan kami masing masing.
Dia masih bocah yang aku kenal lima tahun dulu. Tidak ada
yang berubah. Bingkai kacamata itu tetap berwarna hitam dan luka di sudut
bibirnya masih bertengger disana. Sedangkan mungkin baginya, wanita
dihadapannya ini sudah jauh berbeda dari lima tahun yang dulu. Bertambah sintal
dengan nafas alkohol bercampur soda pula.
Mungkin, dia malu
punya sahabat sepertiku.
Dari situ, aku ambruk ke dadanya--dan menangis. Aku tidak
mengharapkan dada bidang, tapi yang aku butuhkan adalah sandaran. Sementara,
sandaran ini adalah yang paling sempurna dari yang aku harapkan. Empuk dan
berwangi khas—nautikal, begitu aku menyebutnya. Bagai samudra, lapang begitu
menyambutku dalam dekapannya tanpa beriak.
“Hus, hus, sudah…” perlahan tapi kedua lengan itu berhasil
menjamah lingkar tubuhku. Kedua tangannya menepuk nepuk punggungku, berusaha
menenangkan. “Kamu itu… perempuan pintar, lulus sarjana cuma tiga tahun, sudah
dapat pekerjaan layak, harusnya bersyukur. Aku aja masih magang, skripsi belum
mulai. Untung aja aku belum pulang dari Jakarta, May. Kalau nggak, kamu begini
siapa yang bisa ngurusin?”
Pipiku menempel hangat pada dadanya. “Nggak ada,” ucapku
lirih dan polos.
“Moga moga aja kamu bukan perokok berat.” Imbuhnya, kini ia
persis terdengar seperti polisi moral.
Tuhan, betapa
nyamannya dekapan itu. Aku jalari punggung hingga tengkuknya dengan jemari
jemari tangan. Dia bisa jadi salah satu koleksi boneka beruangku. Mungkin,
karena alkohol desiran darahku melancar dan jantungku memompa kencang. Ototku
terlampau lemas—dan memberontak sendiri diluar perintah otak.
Aku tarik sekelumit bagian dari lehernya dan aku arahkan
wajah itu lurus lurus kepadaku. Dia bukan lelaki tertampan yang aku pernah
temui, dan aku bukan perempuan tercantik yang pernah ia temani. Tapi, ada
sesuatu dari dirinya yang menggodaku dengan sopan. Menggodaku untuk masuk dan mengenalinya—kini
aku berjarak kurang dari sejengkal dari wajahnya. Harap harap, ia tidak
menghirup sesak alkohol dari nafasku.
Aku menghampirinya—bibirnya.
Ia mendorongku panik namun perlahan. “May, May,” panggilnya
terbata bata. Aku sebal bukan main. Sebal kepadanya, dan sebal kepada manusia
berbetis padi yang memperhatikan kami sambil bisik bisik.
“Kenapa, Rif? Kamu masih sama cewek kamu yang di Bali itu
ya? Cewek yang nggak pernah ketemuan sama kamu itu kan? Would you stop being promiscuous? We are here, attracted to each other—“ ocehku tanpa henti.
“Ayo cabut, May. Kamu mabuk.” Iya menggapai bahuku dan
berusah menyeretku turun dari kursi. Ia sudah menyiapkan lembar lembar Rupiah
yang hendak ia letakkan diatas meja.
“Aku tahu, aku lagi mabuk. Tapi, aku jujur—“ aku tercekat.
“—ibuku wanti wanti buat cari teman cowok yang punya ketertarikan sama dan bisa
diajak ngobrol untuk jadi pendamping hidup dan kamu,” tunjukku persis ke
dadanya, “—kamu dari dulu tempat aku cerita dari SMA sebagai sahabat. Dan, lima
tahun kemudian, aku baru sadar mungkin cerewet ibuku ada benarnya.”
Tahu tahu saja, kami berdua sudah menerobos kerumunan manusia
berbetis padi itu. Aku mendongak kearahnya. Tatapannya lurus kedepan, mematung.
Rona dipipinya kian memerah. Tangannya memapah badanku yang berdiri lemas.
“Shit,” aku
gulirkan kedua bola mataku. “Ibu bilang kalau aku naksir sama cowok, jangan
sampai dia tahu.” Gumamku. Lantas, ku kulum lagi nafasku dengan sesal sambil
menoleh kepadanya yang kini menatapku membelalak. Sial, aku benar benar mabuk.
Kini,
kami sudah tiba diluar gedung. Hanya semuanya sunyi, tinggal kami berdua dan
berbaris mobil mobil mewah yang terparkir di depannya. Mungkin ada beberapa
sekuriti yang hilir mudik, cuma aku menggubris mereka saat ia memutar badanku
menghadapnya. Kedua tangan itu mencengkram bahuku. Aku kenal ekspresi
itu—ekspresi penghakiman Arifian.
Matanya terbuka lebar dan serius.
Cuping hidungnya kembang kempis. Melihatnya, aku tertawa. Tawaku begitu seru
hingga mengalihkan perhatian sekuriti.
“Aku marah sama kamu.” ujinya
menggeram.
Tawaku berhenti, mendadak terasa
emosional sendiri. “Kenapa?”
“Pertama, karena kamu mabuk.”
Katanya. “Kedua, karena bilang aku promiscuous
dua kali. Asal tahu aja ya, aku sudah lama putus dari Putu dan nggak ada alasan
kamu buat ngecap aku murahan.”
“Maaf, aku cuma bercanda.” Rengekku.
“—dan, siapa yang ngajarin kamu
mabuk mabuk begini? Kamu juga promiscuous
banget seperti ini. Nggak ada bedanya sama aku.”
Aku mengernyitkan dahi dan
mengolengkan wajahku yang kemerahan. Kesal. Seketika, jarinya menjepit daguku
dan mengangkat wajahku agar menatapnya sekali lagi lurus.
“Tapi, aku paham kengerian
ibumu—persis kengerian ibuku, yang single-parent pula, terhadap adikku. Takut
anak perempuannya tercoreng karena seorang lelaki yang nggak pantas—belum
pantas buat menyentuhmu. Dia takut anaknya nggak siap. Makanya dia merasa
rahasia seperti itu harus disimpan baik baik.”
“Tapi yang barusan—“ aku merujuk
kepada ungkapan perasaanku kepadanya di dalam bar. “—itu kan hanya ungkapan
perasaan, hanya kata kata nggak lebih.”
“Tetap saja, Maya.” ujarnya sebelum
mengunci pandanganku ke matanya. Aku sudah bisa melihatnya jelas. Tidak lagi
meraba. Untung aku hanya meneguk satu gelas minuman. “Pertama selalu bermulai
dari pengungkapan, dan seterusnya akan ada celah untuk berakal. Seperti tadi, If I would have been someone else, a
stranger, of course I would have kissed you.”
Aku berusaha menangkap maksud
katanya, namun sulit. Ia melepaskan cengkramannya dari lenganku. “Ayo, biar aku
antar kamu pulang. Aku bawa kendaraan.” Ucapnya, kemudian ia memutar badan dan
berjalan. Aku hanya mengikuti secara ling lung satu meter dari belakang.
Sebelum sampai mobil tiba tiba
langkah yang berderap kembali hingga aku dibuatnya menengadah lurus ke depan.
“Sebenarnya ibumu punya pikiran yang
salah. Nggak setiap laki laki bakal riuh dan bercerita kesana kemari tentang
siapa saja perempuan yang pernah mereka sentuh dan kecup bibirnya—tentang siapa
yang pernah mengakui perasaannya kepada mereka. Toh, ini jaman emansipasi.”
Nafasnya berat saat ia berbicara,
namun terasa semilir dibibirku saat kami berdua bertemu di satu titik—lembut
dan berkecap basah. Aku membuka mataku.
“Ciuman ini aku pinjam dulu dari
orangtuamu, dan menjadi tanggung jawabku sampai—“ lagi lagi nafasnya tercekat.
“Maya, I think you are the one for me.”
Tunggu
dulu, siapa yang seharusnya mabuk disini? Mungkin temanku yang satu ini
terlalu banyak mengutip Ted Mosby dan dari situ aku berpikir mungkin kita sudah
terlalu banyak menonton serial TV kesayangan kami.
“Apa?” hati hati aku bertanya agar
tidak terkecoh.
“Mungkin aku nggak sadar kamu selalu
memanggil aku “Rif” ketimbang “Fian” seperti yang lain—that’s so sweet of you. Mungkin kita sama sama nggak sadar kita
sudah menempuh perjalanan panjang untuk bertemu disini, atau setidaknya aku
saja yang baru sadar, bahwa aku—yang buta jalanan Jakarta—rela nyetir karena
khawatir karena kamu yang barusan telefon sambil nangis.” Ia kemudian berhenti
sejenak, dan mata itu menatapku. “—seperempat umurku, kamu sudah rela mendengar
ceritaku—tentang si Putu lah, tentang kamera yang baru aku beli lah—kamu selalu
ada di jatuh-bangunku…”
Kami sama sama bertatapan, kemudia
lepas dalam tawa. “I know, pasti kamu
lagi mikirin lagu dangdut.” Ia kemudian menggamit tanganku. Lalu ia mencari
cari sesuatu dari sakunya. Nampak sedikit frustasi karena tidak menemukan apa
yang ia cari, ia melepaskan cincin dari jari manisnya.
Ia sematkan kini di jari manisku.
Aku kira cincin itu bakal bertengger longgar—namun, lingkaran perak polos itu
memeluk buku jariku dengan pas.
“Aku nggak mau terburu buru untuk
menyampaikan, tapi aku mau kamu tahu bahwa aku butuh kamu untuk jadi temanku—seperempat tahun dan
seterusnya—selama itu kamu jadi tanggung jawab yang selalu aku jaga.”
Aku hanya tercenung, membeku.
Menatap tangan kami yang saling bertaut menyatu.
Harapan terakhir yang tergumam dari bibirnya
adalah satu,
“Aku harap kamu nggak terlalu mabuk buat mencerna ini
semua.”
Comments
Post a Comment