Almost Disaster
“Yang aku maksud Manda, habis makan malam
kita langsung pulang saja.”
Yoshua Dwi Putra
Enam puluh menit
kemudian
Ini adalah kesepuluh kalinya ia datang ke hadapanku setelah
sepuluh kali aku rapatkan jariku dan menekan di atas shutter kamera. Kamera itu
ia timang di tangannya, sambil berceramah untuk ke sepuluh kali juga tentang
aparatur dan pencahayaan kamera yang tidak pernah akan aku mengerti. Aku lebih
meilih ia memberitahuku tanpa bertele-tele, bahwa gambar yang aku ambil buram.
Sederhana saja.
“Kamu sudah capek, Yos?” tanyanya kepadaku. Mungkin tidak,
namun mungkin juga iya. Namun sebetulnya aku tengah mempelajari air mukanya
yang tenang itu. Aku mempelajari kalau saja ada segelintir rasa sebal tersirat
di wajah manisnya. Kalau tidak ada, berarti sabar betul ia menghadapi
keudikanku akan benda berlensa satu ini. Kalau benar ada, susah aku memaafkan
diriku karena membuatnya kesal karena kecanggunganku ini yang tidak aku
sengaja.
Aku menggeleng.
“Yakin?”
“Iya.” Tegasku.
“Muka kamu kayaknya capek
tuh.” Aku paham yang ia maksudkan sebenarnya adalah mukaku yang menekuk. Tapi
kalau aku boleh menyangkal, wajahku memang diciptakan seperti ini tanpa harus
aku dipaksakan. Aku tahu sekarang sebaliknya, dia yang khawatir karena
menyuruhku terus menerus mengambil gambar di atas sini. Di tebing terjal bekas
reruntuhan gereja St. Paul.
Di sekeliling kami adalah lapangan bukit hijau di tengah bangunan
eks-kolonial yang seragam berwarna merah. Sedikit jauh di depannya adalah taman
yang sengaja dibangun untuk rekreasi moderen. Aku bisa mengintip mobil dan bus
berlalu lalang sedikit lagi di depannya, sungguh kontras bentuk dan bunyinya
dari becak yang berhiaskan bunga bunga yang hilir mudik menyusuri jalan sempit
di depan gerbang gereja. Seolah tidak cukup, pesona biru Selat Melaka—yang biasanya
hanya aku dengar sebatas di lembar buku sejarah di sekolah dulu—kini menghampar
di depan mataku, di sekeliling kami.
Rasanya ingin aku serap semua keindahan disini. Hanya saja
ada dia di timangannya.
“Pernah nggak kamu kepikiran, kenapa orang selalu bawa
kamera saat liburan?” setelah aku pikir, pertanyaan ini terlalu dangkal untuk
diajukan kepada seorang fotografer lepas yang handal.
“Untuk mengabadikan kenangan, lah.” Jawabnya enteng.
“Kenapa nggak cukup sama mata sendiri aja. You see, saat kita naik Menara apa itu
namanya—“
“—Taming Sari.”
“—iya, itu—semua turis diberi waktu tujuh menit untuk
melihat pemandangan diatas sana. Tapi yang mereka lakukan apa? Mereka malah
asik jepret sana jepret sini tanpa sadar mereka mengabaikan apa yang seharusnya
mereka bisa kenang. Jadi untuk apa bayar untuk naik ke atas sana? Untuk apa
capek capek mendaki ke sini kalau orang orang sebenarnya acuh. Yang mereka
pentingkan adalah sisi hedonisme saja. Dapat gambar bagus terus dipajang di
sosial media. Itu bukan sikap bersyukur.”
Dia menatapku bisu. Kemudian sempat ia membalas, “kalau
yang kamu bilang barusan dikarenakan kebencian dan ketidakmampuan kamu untuk
belajar fotografi. Yah, sabar dulu dong ngomongnya.” Ia mengerling kepadaku,
lalu kepada layar kamera dengan lensa sebesar meriam di gengammannya. Nada itu
datar namun cukup menghujam.
“Oke, aku nggak pernah bisa ambil gambar bagus, karena
kamera sama aku selalu musuhan. Aku juga nggak pernah kelihatan bagus di
kamera—“
Begitu secara refleks aku menoleh kepadanya, aku mendengar
suara jepretan kamera. “Got that!” Ia
menyeringai kemudian menambahkan, “—ah siapa bilang? Kamu ganteng kok.” Ia lalu
menyodorkan layarnya kehadapanku, yang aku dapatkan adalah pria umur 23 tahun
yang berbadan tinggi, tambun berisi dengan paras yang selalu nampak 10 tahun
lebih tua. Aku menyengernyit, namun aku biarkan saja tanpa mengharuskannya
untuk menghapus. Aku tidak bagi peduli.
“Kenapa sih orang lebih milih kamera—sesuatu yang harganya
berjuta juta, masih kurang sempurna dan buatan manusia—ketimbang mata yaitu
ciptaan Tuhan—“
Belum selesai, ia pun berdecak. “Wah, sampai bawa nama Tuhan
lagi Bukannya setahuku, kamu lagi absen percaya kepada siapa siapa ya?”
“Oke, aku lagi nggak mau ngomongin spiritualitas sekarang.
Tapi coba pikirin deh. Banyak manusia yang terlahir kurang sempurna, yang
secara harfiah, mereka mau bisa melihat dunia tanpa meraba dan menurutku kamera
adalah insult terbesar untuk mereka,
karena kamera sudah merenggut perhatian mereka dari itu semua.”
Aku kini memperhatikannya menyimpan kamera ke dalam tas
kembali, “Insult?” kemudian ia
menggapai sikuku dan menyeretku ke anak tangga menuju jalan ke bawah. “Yos,
sabar ya. Sebentar lagi pasar malam buka, nanti kita cari makan disana.
Sekarang kamu berhenti dong cranky
nya.”
Cranky. Sebuah
kata dari perbendaharaan Bahasa Inggris yang tidak pernah aku suka, namun
sering dikarakterkan kepadaku. Aku hanya mengatup sambil memandangnya yang
menggamit disiku. Gadis berambut sebahu yang tingginya persis sejajar dengan
bahuku kini mendehamkan melodi yang sama sama kami kenal saat kita menuruni
tangga sambil bergandengan.
Nananana Nananana
Nana Nana…. Dan, aku membayangkan nada tersebut dilagukan oleh piano besar
di gereja di hari pernikahan.
“Sebenarnya, aku kesal selalu dituduh orang karena aku
selalu cranky. Padahal, aku nggak
marah. Aku cuma berpikir. Aku selalu berpikir. Di otak aku selalu ada cerita
yang timbul dan mengejar minta ditulis—untuk pekerjaan maupun buat kesenangan
pribadi. Kadang aku selalu merasa bersalah karena aku selalu memperkeruh
suasana karena itu. Waktu kita makan siang, naik menara sampai di atas sana
barusan, aku nggak henti-hentinya kepikiran tentang cerita. Kadang aku merasa
dihantui,”
Makanya aku nggak suka kamera, karena aku nggak perlu
merasa dikontrol lagi. Mencocokkan sisi yang pas dengan pencahayaan yang pas.
Menurutku itu pekerjaan yang sia sia. Kembali lagi seperti yang aku bilang—“
aku kini menatapnya lurus lurus dan ia menatapku keheranan, “—aku nggak mau
memberatkan siapa pun dengan kondisi aku yang seperti ini. Aku nggak mau
memperkeruh suasana lagi. Aku nggak mau mengikat diri dengan siapa siapa karena
aku nggak mau menghambat aku atau pun siapa pun.”
Kami masih menurun anak tangga satu satu. Jantungku
sekarang berada di tapak kaki yang
gemetaran sementara mataku beradu dengan mata besarnya. Ia nampak keheranan
namun selalu ada sisi kepolosan yang membuatku berdebar untuk mengatakan
ini—sial, di cerita ini aku lah sang keparatnya.
“Manda, kayaknya kita harus pu—“
Tiba tiba tapakan di bawah kakiku hilang, sekejap kemudian
aku terguling dua anak tangga kebawah. Tepat mendarat dengan suara dentuman
keras di anak tangga yang bentuknya lebih lebar dan sanggup mengalaskan
badanku.
Aku mencari cari Manda, yang aku temukan hanyalah sorot
mata pengunjung yang mencemooh girang. Sial. Tiba tiba aku temukan suara tawa
ringan dan kekanak-kanakan, dan tangan itu menjulur ke arahku.
Gadis berambut sebahu itu tersenyum menahan tawa
dihadapanku.
Aku sendiri pun tergelitik. Maka aku menyambut tangannya
dan kembali berjalan bersama dengan segenap alat gerakku yang merintih. Aku
tatap lagi wajahnya yang sumringah. Aku ikut tertawa. Tertawa menang dan
kasihan dari sebuah kesalahan yang mujur dihindari.
That was close!
Comments
Post a Comment