Namanya juga cowok
"Coba kasih tau aku, siapa dari mereka yang nyaris kawin sama kamu?"
Kata katanya barusan terus terngiang di kepalaku saat aku mengikutinya dari belakang. Jas hitamnya menggantung di bahu. Bahunya yang padat dan bidang. Rasanya ingin aku melompat dari belakang dan menggelayut disana bagai kera. Namun, aku hanya berjalan rapat rapat di belakangnya. Sampai menyembunyikan rasa malu juga tawa. Mungkin orang orang bisa melihat dari bibirku yang menggulung ke dalam dan mukaku yang panas, merah padam.
Malam itu aku diundang ke acara reuni kuliah. Pikirku, aku akan merasa sedikit bangga karena bisa memperkenalkan diri sebagai eksekutif muda dan seorang istri. Tapi tidak juga. Aku masih lah cecunguk yang berdiri di pojokan dengan segelas jus buah dingin di tangan. Mati kutu. Tidak sanggup berinteraksi dengan siapa siapa. Entahlah, padahal tugasku sehari hari adalah presentasi dan berhubungan dengan klien. Malam itu rasanya aku seperti tersedot ke mesin waktu. Kembali ke delapan tahun yang lalu. Si cecunguk.
Namun, kelewatan bagiku karena tidak menyadari bahwa aku datang tidak sendirian. Ia datang dan menyejajariku dengan bahunya. Kulitnya tidak gelap. Tidak sepertiku, namun begitu ia berdiri di sampingku, mendadak semuanya temaram. Seperti gerhana, ia membayangi posturku yang kecil lagi kikuk. Begitu ia memberiku senyum dan begitu aku tahu bahwa aku tidak perlu merasa menjadi satu satunya cecunguk di ruangan. Ia mendentingkan gelasnya dengan dinding gelasku yang nyaris kosong.
Aku masih memandanginya dari belakang. Memandanginya caranya berjalan, menapakkan kaki. Ada garis tipis antara congkak dan percaya diri. Yang hanya bisa terjawab saat ia menoleh dan menyeringai kepadaku. "Kamu masih marah?"
Satu tahun aku menikahinya. Tapi ia tidak pernah membuatku selalu lupa. Bagaimana jantung ini berdegup ketika ia membuka senyum. Menunjukkan taring atas kirinya yang tumbuh tidak sejajar dengan barisan gigi atasnya. Kadang indah bukan berarti sempurna.
Satu jam lalu, ia berhasil membawa cecunguk ini keluar dari zona aman pesta. Disamping pondok minuman dan makanan ringan. Ia membawaku ke tengah tengah. Memulai percakapan dengan orang orang. Berlagak pura pura kenal. Padahal, aku-lah yang lebih mengenal tamu tamu di pesta itu.
Sampai pada akhirnya, aku berjumpa dengan tiga orang yang paling aku hindari di malam itu. Mereka semua pria. Aku ralat, pria yang sudah tumbuh dewasa.
Pria pertama, yang aku jumpai delapan tahun lepas, datang sendirian tanpa membawa teman. Pria kedua, yang aku jumpai lima tahun lepas, aku datang bersama istri dan anak. Sedangkan pria ketiga, yang aku jumpai tiga tahun belakangan, datang bersama istri.
Ketiga pria itu berdiri di hadapanku. Terasing dari istri dan keluarga mereka. Saat itu ia mulai bertanya.
"Jadi, siapa dari kalian yang nyaris menikahi Nadra?"
Dari situ, aku seret ia keluar ruangan.
"Bikin malu." bisikku ketika kami berjalan menjauhi mereka.
"Masih marah ya, sayang?" tiba tiba saja jari ibu dan telunjuknya meraih dan menghimpit daguku. Karismatik, maksudnya?
"Nggak marah, cuma malu."
"Kenapa malu?"
"Yah, karena kamu nanya begitu ke mereka." jawabku lesu sambil menyeret langkah maju. Sedikit menghentak untuk mengisyaratkan bahwa aku lumayan kesal.
Dari belakang, aku tidak mendengar langkah apa pun. Mungkin ia tidak mengejarku.
"Kenapa malu?"
Aku memutar badan. Ia berjalan mendekatiku. Melahap separuh jarak diantara kami. "Karena--" aku menghela. Ia makin dekat. Mungkin ia bisa melihat bayanganya di bola mataku. Mukaku mulai panas. Nafasku sedikit tersengal. Lidahku tergulung.
Aku menatapnya yang kini berdiri lebih dekat. Kadang aku selalu bertanya-tanya. Apa yang bisa membuatku bersamanya. Dia tidak suka membaca. Aku tidak suka ke gym. Dia pikir nonton bioskop sendiri itu menyedihkan, bagiku itu terapi. Dia adalah seorang ahli arkeologi. Aku adalah seorang manager humas. Kami sama sama berpikir, bahwa kami bekerja dibidang yang salah.
"Kenapa?" tanyanya.
"Karena," kataku, "Aku nggak pernah punya sejarah sama mereka. Kecuali jadi penggemar rahasia."
"Yah, kalo nggak ada apa apa kenapa harus malu?"
"Justru itu. Rasanya kamu bikin aku mengharap ke mereka."
Ia mendengus. "Mengharap? Kamu kayak anak kuliahan saja. Orang mereka punya cerita sendiri sekarang."
Aku tetap berjalan ke depan makin cepat. Ia menyampingiku.
"Nadra," panggilnya. "Kamu merasa beruntung menikah denganku?"
Aku menatap kearahnya. Sekali. Merunduk lagi. Jalan satu langkah. Dua kali. Merunduk lagi. "Ya iyalah," aku mendengar nada suaraku berubah ketir. "Emang kenapa kamu pikir aku nggak merasa beruntung?"
"Aku tahu aja." cakapnya ringan
Aku memberhentikan langkah. "Kamu tahu seharusnya dimana kita membicarakan ini?" Sekeliling kami hanyalah empat sisi cermin lift. Yang memantulkan berjuta-juta bayangan kami di kanan, kiri, semua sisi. Dan, aku bisa melihat raut mukaku sendiri yang layu.
"Dimana?"
Aku menekan tombol 10 . "Di kamar mungkin?"
"Sambil lempar bantal atau banting gelas?" matanya menyipit, "pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar gadung sampai menggaduh..." ia mengutip sajak dari Ada Apa Dengan Cinta yang ia pikir lucu kalau ia berhasil mengimbangi Dian Sastro. Pintu lift berdenting terbuka, aku buru buru keluar. Sedangkan ia buru buru mengejar.
"Nadra."
Aku tetap berjalan.
"Nadra."
Dua kali. Aku masih berjalan.
"Nadra!"
Ia menyeru untuk ketiga kalinya. Suaranya tidak memekik, tapi cukup membuatku patuh dan diam di tempat. Ada sesuatu dalam suaranya yang selalu bisa membuatku tunduk, atau ada sesuatu dalam diriku yang pada dasarnya adalah wanita, seorang istri. Aku tahu dimana aku harus berjalan, dan dimana harus berhenti.
Ia mengusap pipiku dengan ibu jarinya saat ia berdiri di hadapan. Gerakan jari panjangnya memutar di atas kulitku. Menohok tulang pipiku.
"Kenapa kamu?"
Aku menghentikan jarinya yang memijat wajahku. "Aku suka menghantui diriku sendiri. Kamu tahu aku tidak pernah punya hubungan apa apa dengan lelaki sebelum kamu, kan? Aku memilih begitu, ketimbang disia siakan dan sakit hati. Ketiga lelaki tadi. Yang datang sendiri adalah teman baikku yang sekelas. Yang datang bersama anak dan istri adalah kakak seniorku. Yang hanya datang bersama istri, lebih senior lagi, kita bertemu ditempat kerja. Mereka semua adalah ketiga laki laki adalah pengecualian. Dan salahnya, aku mencoba. Aku berusaha dan mereka membuatku merasa..."
"Apa?"
"Tersia siakan?" tutupku sendiri yang membiarkan kalimat itu berubah menjadi katanya tanya. Nampaknya aku memang ragu terhadap diriku sendiri.
"Maksud kamu sia sia?"
"Begitulah. Mereka hanya menemuiku untuk bercerita secara professional. Tentang pekerjaan. Tentang masalah publisitas dan sudut pandang humas tentang masalah. Paling personal mereka bercerita tentang wanita. Wanita yang tentu saja bukan aku."
"Kamu mau jadi wanita tersebut? Hidup sepanjang hayat bersama salah satu dari mereka?"
Pernyataannya membuatku merenung. "Aneh. Aku nggak bisa membayangkan hidupku. Aku nggak bisa membayangkan hidup sebagai istri dari manager yang hidup menetap di kampung halamannya. Nggak bisa hidup sebagai istri arsitek yang ditinggal suami siang dan malam karena kerjaan. Dan nggak bisa jadi istri yang cuma sekadar duduk dirumah, dan buat sekaligus ngasuh anak."
"Makanya." Ia menunjuk ke arah dadaku dan aku terdorong membelakangi pintu kamar. "Aku tahu kamu adalah perempuan yang diam tapi ambisius. Orang nggak pernah mengira kamu bisa galak, bisa bentak orang, karena dari luar kamu seperti air tenang. Makanya aku jatuh hati sama kamu, karena kamu tahu kapan berhenti dan kapan berjalan."
"Sekarang, kamu melihatku berjalan atau berhenti?"
Ia mengangkat bahunya. "Nggak tahu." Ia menggeser tubuhku dan menempelkan kartu kamar diatas sensor. Pintu kamar terbuka, aku masuk ke dalamnya.
"Nggak tahu." Ia menyepak pintu kamar hingga berdebam dan merangkul pinggulku. "Tapi kamu seksi."
Bibirku ia kecup dalam dalam dengan satu tarikan nafas. Rasanya seperti terisap dan tersentak saat ia melepaskan wajahku. Dalam satu gerakan, tubuhnya memayungiku yang tergeletak diatas kasur. Betisku bergantung di bibir kerangka kasur. Selebihnya badanku melenggang di matras. Tangannya menjalari potongan kerah baju hingga ke dada.
"Kamu itu tipe petarung, makanya aku cinta sama kamu. Bukan tipe perempuan yang manja. Tapi entahlah, aku suka kalo kamu manja seperti ini." Ia menyadari tanganku yang menggapai belakang panggulnya dan tersenyum.
"Tapi, kamu harus tahu... Tanpa bertarung, tanpa berusaha bahkan tanpa berniat mencoba, kamu sudah memenangkanku. Tanpa syarat. Makanya aku tanya, kamu merasa beruntung nggak ketemu aku?"
Aku mengangguk sambil melepas beberapa kancing atas kemejanya. "He-eh." aku menggumam dibalik bibirku yang terkatup.
"Kalau aku nggak setengah telanjang begini, kamu masih merasa beruntung bertemu dengan aku?"
Tanganku merayapi pundaknya yang bidang dan mengalihkan tubuhnya yang berdiri diatasku. Aku biarkan ia merebah disampingku.
"Masih kok."
"Bagus." Ia tersenyum dan menguburkan wajahanya di leherku. "Tiga cowok itu terlalu bodoh untuk menyia-yiakanmu, Sayang."
"Kamu masih beruntung bertemu denganku? Berat badanku naik dua kilo loh?" ungkapku begitu ia membuka resleting bajuku dari belakang kemudian dengan lekas melepaskan satu-dua kaitan bra.
"Mau naik sepuluh kilo aja, nggak masalah." candanya sambil buru buru melepas kaitan yang terakhir kemudian mengeluarkanku dari batas pundak ke dada dari balutan baju yang ketat. Aku merasakan otot ototku merenggang. Kembali aku bernafas lega.
Ia kemudian mengecupi pipiku dan aku mengelonjak karena geli. Memintanya untuk berhenti. Sampai ia bisikkan ke kupingku. "Lain kali jangan pake baju yang ini ya."
"Kenapa?"
"Aku lihat tiga cowok itu naksir sama kamu. Apalagi buah dada kamu."
"Ngasal kamu. Kok bisa tahu."
"Namanya juga cowok, Sayang."
Satu tahun aku menikahinya. Tapi ia tidak pernah membuatku selalu lupa. Bagaimana jantung ini berdegup ketika ia membuka senyum. Menunjukkan taring atas kirinya yang tumbuh tidak sejajar dengan barisan gigi atasnya. Kadang indah bukan berarti sempurna.
Satu jam lalu, ia berhasil membawa cecunguk ini keluar dari zona aman pesta. Disamping pondok minuman dan makanan ringan. Ia membawaku ke tengah tengah. Memulai percakapan dengan orang orang. Berlagak pura pura kenal. Padahal, aku-lah yang lebih mengenal tamu tamu di pesta itu.
Sampai pada akhirnya, aku berjumpa dengan tiga orang yang paling aku hindari di malam itu. Mereka semua pria. Aku ralat, pria yang sudah tumbuh dewasa.
Pria pertama, yang aku jumpai delapan tahun lepas, datang sendirian tanpa membawa teman. Pria kedua, yang aku jumpai lima tahun lepas, aku datang bersama istri dan anak. Sedangkan pria ketiga, yang aku jumpai tiga tahun belakangan, datang bersama istri.
Ketiga pria itu berdiri di hadapanku. Terasing dari istri dan keluarga mereka. Saat itu ia mulai bertanya.
"Jadi, siapa dari kalian yang nyaris menikahi Nadra?"
Dari situ, aku seret ia keluar ruangan.
"Bikin malu." bisikku ketika kami berjalan menjauhi mereka.
"Masih marah ya, sayang?" tiba tiba saja jari ibu dan telunjuknya meraih dan menghimpit daguku. Karismatik, maksudnya?
"Nggak marah, cuma malu."
"Kenapa malu?"
"Yah, karena kamu nanya begitu ke mereka." jawabku lesu sambil menyeret langkah maju. Sedikit menghentak untuk mengisyaratkan bahwa aku lumayan kesal.
Dari belakang, aku tidak mendengar langkah apa pun. Mungkin ia tidak mengejarku.
"Kenapa malu?"
Aku memutar badan. Ia berjalan mendekatiku. Melahap separuh jarak diantara kami. "Karena--" aku menghela. Ia makin dekat. Mungkin ia bisa melihat bayanganya di bola mataku. Mukaku mulai panas. Nafasku sedikit tersengal. Lidahku tergulung.
Aku menatapnya yang kini berdiri lebih dekat. Kadang aku selalu bertanya-tanya. Apa yang bisa membuatku bersamanya. Dia tidak suka membaca. Aku tidak suka ke gym. Dia pikir nonton bioskop sendiri itu menyedihkan, bagiku itu terapi. Dia adalah seorang ahli arkeologi. Aku adalah seorang manager humas. Kami sama sama berpikir, bahwa kami bekerja dibidang yang salah.
"Kenapa?" tanyanya.
"Karena," kataku, "Aku nggak pernah punya sejarah sama mereka. Kecuali jadi penggemar rahasia."
"Yah, kalo nggak ada apa apa kenapa harus malu?"
"Justru itu. Rasanya kamu bikin aku mengharap ke mereka."
Ia mendengus. "Mengharap? Kamu kayak anak kuliahan saja. Orang mereka punya cerita sendiri sekarang."
Aku tetap berjalan ke depan makin cepat. Ia menyampingiku.
"Nadra," panggilnya. "Kamu merasa beruntung menikah denganku?"
Aku menatap kearahnya. Sekali. Merunduk lagi. Jalan satu langkah. Dua kali. Merunduk lagi. "Ya iyalah," aku mendengar nada suaraku berubah ketir. "Emang kenapa kamu pikir aku nggak merasa beruntung?"
"Aku tahu aja." cakapnya ringan
Aku memberhentikan langkah. "Kamu tahu seharusnya dimana kita membicarakan ini?" Sekeliling kami hanyalah empat sisi cermin lift. Yang memantulkan berjuta-juta bayangan kami di kanan, kiri, semua sisi. Dan, aku bisa melihat raut mukaku sendiri yang layu.
"Dimana?"
Aku menekan tombol 10 . "Di kamar mungkin?"
"Sambil lempar bantal atau banting gelas?" matanya menyipit, "pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar gadung sampai menggaduh..." ia mengutip sajak dari Ada Apa Dengan Cinta yang ia pikir lucu kalau ia berhasil mengimbangi Dian Sastro. Pintu lift berdenting terbuka, aku buru buru keluar. Sedangkan ia buru buru mengejar.
"Nadra."
Aku tetap berjalan.
"Nadra."
Dua kali. Aku masih berjalan.
"Nadra!"
Ia menyeru untuk ketiga kalinya. Suaranya tidak memekik, tapi cukup membuatku patuh dan diam di tempat. Ada sesuatu dalam suaranya yang selalu bisa membuatku tunduk, atau ada sesuatu dalam diriku yang pada dasarnya adalah wanita, seorang istri. Aku tahu dimana aku harus berjalan, dan dimana harus berhenti.
Ia mengusap pipiku dengan ibu jarinya saat ia berdiri di hadapan. Gerakan jari panjangnya memutar di atas kulitku. Menohok tulang pipiku.
"Kenapa kamu?"
Aku menghentikan jarinya yang memijat wajahku. "Aku suka menghantui diriku sendiri. Kamu tahu aku tidak pernah punya hubungan apa apa dengan lelaki sebelum kamu, kan? Aku memilih begitu, ketimbang disia siakan dan sakit hati. Ketiga lelaki tadi. Yang datang sendiri adalah teman baikku yang sekelas. Yang datang bersama anak dan istri adalah kakak seniorku. Yang hanya datang bersama istri, lebih senior lagi, kita bertemu ditempat kerja. Mereka semua adalah ketiga laki laki adalah pengecualian. Dan salahnya, aku mencoba. Aku berusaha dan mereka membuatku merasa..."
"Apa?"
"Tersia siakan?" tutupku sendiri yang membiarkan kalimat itu berubah menjadi katanya tanya. Nampaknya aku memang ragu terhadap diriku sendiri.
"Maksud kamu sia sia?"
"Begitulah. Mereka hanya menemuiku untuk bercerita secara professional. Tentang pekerjaan. Tentang masalah publisitas dan sudut pandang humas tentang masalah. Paling personal mereka bercerita tentang wanita. Wanita yang tentu saja bukan aku."
"Kamu mau jadi wanita tersebut? Hidup sepanjang hayat bersama salah satu dari mereka?"
Pernyataannya membuatku merenung. "Aneh. Aku nggak bisa membayangkan hidupku. Aku nggak bisa membayangkan hidup sebagai istri dari manager yang hidup menetap di kampung halamannya. Nggak bisa hidup sebagai istri arsitek yang ditinggal suami siang dan malam karena kerjaan. Dan nggak bisa jadi istri yang cuma sekadar duduk dirumah, dan buat sekaligus ngasuh anak."
"Makanya." Ia menunjuk ke arah dadaku dan aku terdorong membelakangi pintu kamar. "Aku tahu kamu adalah perempuan yang diam tapi ambisius. Orang nggak pernah mengira kamu bisa galak, bisa bentak orang, karena dari luar kamu seperti air tenang. Makanya aku jatuh hati sama kamu, karena kamu tahu kapan berhenti dan kapan berjalan."
"Sekarang, kamu melihatku berjalan atau berhenti?"
Ia mengangkat bahunya. "Nggak tahu." Ia menggeser tubuhku dan menempelkan kartu kamar diatas sensor. Pintu kamar terbuka, aku masuk ke dalamnya.
"Nggak tahu." Ia menyepak pintu kamar hingga berdebam dan merangkul pinggulku. "Tapi kamu seksi."
Bibirku ia kecup dalam dalam dengan satu tarikan nafas. Rasanya seperti terisap dan tersentak saat ia melepaskan wajahku. Dalam satu gerakan, tubuhnya memayungiku yang tergeletak diatas kasur. Betisku bergantung di bibir kerangka kasur. Selebihnya badanku melenggang di matras. Tangannya menjalari potongan kerah baju hingga ke dada.
"Kamu itu tipe petarung, makanya aku cinta sama kamu. Bukan tipe perempuan yang manja. Tapi entahlah, aku suka kalo kamu manja seperti ini." Ia menyadari tanganku yang menggapai belakang panggulnya dan tersenyum.
"Tapi, kamu harus tahu... Tanpa bertarung, tanpa berusaha bahkan tanpa berniat mencoba, kamu sudah memenangkanku. Tanpa syarat. Makanya aku tanya, kamu merasa beruntung nggak ketemu aku?"
Aku mengangguk sambil melepas beberapa kancing atas kemejanya. "He-eh." aku menggumam dibalik bibirku yang terkatup.
"Kalau aku nggak setengah telanjang begini, kamu masih merasa beruntung bertemu dengan aku?"
Tanganku merayapi pundaknya yang bidang dan mengalihkan tubuhnya yang berdiri diatasku. Aku biarkan ia merebah disampingku.
"Masih kok."
"Bagus." Ia tersenyum dan menguburkan wajahanya di leherku. "Tiga cowok itu terlalu bodoh untuk menyia-yiakanmu, Sayang."
"Kamu masih beruntung bertemu denganku? Berat badanku naik dua kilo loh?" ungkapku begitu ia membuka resleting bajuku dari belakang kemudian dengan lekas melepaskan satu-dua kaitan bra.
"Mau naik sepuluh kilo aja, nggak masalah." candanya sambil buru buru melepas kaitan yang terakhir kemudian mengeluarkanku dari batas pundak ke dada dari balutan baju yang ketat. Aku merasakan otot ototku merenggang. Kembali aku bernafas lega.
Ia kemudian mengecupi pipiku dan aku mengelonjak karena geli. Memintanya untuk berhenti. Sampai ia bisikkan ke kupingku. "Lain kali jangan pake baju yang ini ya."
"Kenapa?"
"Aku lihat tiga cowok itu naksir sama kamu. Apalagi buah dada kamu."
"Ngasal kamu. Kok bisa tahu."
"Namanya juga cowok, Sayang."
Comments
Post a Comment