Sepotong kue pai

Bukan, ini bukan postingan tentang cara membuat kue pai

Sebuah tulisan oleh Glenn Marsalim di Magdalene yang berjudul, "I Can Do It, But I Won't: The Trouble with Generalizing Inspiration" membuat saya berpikir dan berrefleksi tentang fokus utama saya beberapa tahun kebelakangan, sekarang dan ke depan.

Saya tidak bisa fokus dengan satu hal yang saya inginkan, karena saya menginginkan banyak hal. Pada akhirnya saya tidak mendapat apa-apa dan terlempar ke sebuah kehidupan medioker. Seharusnya saya sekarang berada di Eropa, menaiki Metro menuju kampus di tengah kota Brussels. Atau mungkin, masih duduk di sebuah restoran mamak di Kuala Lumpur melewatkan sesi latihan di gym sehabis pulang kerja. Saya akhirnya kembali ke tanah air dan terjebak di kota yang bukan kota kelahiran saya, yang saya sudah hindari amit-amit karena macetnya. Di Jakarta sekarang aku tinggal, bekerja dari pagi hingga sore dan memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan nanti ke depannya.

Aku kira tidak ada yang mustahil. Aku bisa mewujudkan impian sebagai penulis, berpetualang dan mendapatkan pemasukan tetap yang memperbolehkan aku menabung di setiap bulannya. Kalau beruntung lagi, aku mau selalu bisa menjaga tubuhku tetap langsing dan terus berolahraga ke gym dan kalau boleh aku mau punya pacar. Oh ya, dan satu tahun lagi aku mau bisa sekolah di Amerika dan 6 bulan sebelumnya aku mau keliling ke India. Serta tabunganku yang masih sisa itu, aku mau gunakan untuk membuka bisnis. Mungkin, kedai kopi manis yang bisa dipakai untuk membaca buku dan meng-host acara puisi reguler buatan aku dan teman-temanku.

Usiaku 23. Mungkin sedang di puncak kenaifan dan semangat tinggi.

Dua tahun lalu, aku bertemu seorang sahabat yang menurutku sampai saat ini adalah manusia terkeren yang pernah aku temui. Entah bagaimana bisa, ia berjalan kaki mengelilingi 5 negara bagian di Semenanjung Malaysia kemudian lanjut 6 bulan berjalanan kaki menelusuri Malaysia bagian timur dan juga Brunei.

Dia cukup merubah sudut pandangku. Dia membuatku menjadi lebih sederhana dan pandangannya membuat mimpiku cukup bertambah besar dan liar. Aku kini ingin juga berpetualang. Aku mau hidup berbeda dengan orang yang lain. Orang yang sehari-harinya cuma bekerja jam 9 sampai 5, tapi seakan-akan mereka tidak tahu bekerja itu untuk apa.

Mereka hanya menuruti perintah dan tatanan masyarakat. Individu yang menyedihkan. Sumpah aku ingin mengasingkan diri dari kerumunan orang seperti itu, karena pada akhirnya, mereka akan membandingkan hidup mereka yang sudah lumayan kepada kehidupan teman-teman mereka yang sedikit lebih mewah.

Aku ingin menjadi individu yang menginspirasi. Aku ingin bertemu dengan banyak orang dan berbicara dengan banyak orang. Mungkin, aku bisa membacakan puisiku, menggerakkan anak-anak kecil untuk mempelajari makna puisi lagi dan berbagi minat. Aku ingin menjadi seperti sahabatku itu, setidaknya, mirip.

Kini dua tahun, jarak di antara kami makin merenggang. Begitu aku mulai kembali berasimilasi kepada tatanan dan ekspektasi yang masyarakat harapkan. Sebagai wanita, tetap bekerja dan kalau ada laki-laki yang sama-sama jatuh hati padaku, mungkin aku akan menjalin hubungan serius sebelum akhirnya aku akan menikah dengannya.

Kadang aku menyalahkan sahabatku dan filosofi yang sempat ia kenalkan sekejap kepadaku. Untuk apa? Ujungnya aku jadi sakit hati, karena aku tidak bisa menjadi ideal sesuai harapanku. Perempuan cerdas yang memiliki ambisi liar.

Teringat aku akan sebuah rekaman TEDx talk Sarah Kay, seorang pujangga asal Amerika. Judulnya adalah "How Many Lives Can You Live"



Ya, berapa banyak kehidupan yang bisa kamu jalani? Sarah sendiri dulu merasa ia bisa jadi segalanya. Ia selalu menjawab, "Princess, Ballerina and Astronaut." Ia yakin ia bisa melakukan segala pekerjaan yang berada di muka bumi. Tumbuh di New York City, Sarah selalu merasa terburu-buru dan ia memiliki rasa takut, takut karena tertinggal.

Mungkin, ini adalah sebuah rasa takut yang aku kini rasakan. Aku takut, aku tidak pernah mencicipi segalanya. Aku takut kalau aku tidak menabung di masa muda, masa tuaku akan susah. Tapi di satu sisi, aku ingin mengisi masa mudaku dengan kegiatan bermanfaat. Enggan aku tumbuh dengan tulang belakang membungkuk dan muka kelabu. Tidak ada cerita menarik yang bisa aku sampaikan ke anak cucuku kecuali petuah dan dikte.

Tapi, pada akhirnya, aku sadar. Aku cuma bisa menjalani satu kehidupan. Kalau seloyang kue pai ini adalah skenario semesta, aku hanya mendapat sepotong dan itu adalah jatahku. Aku selalu berharap aku menjadi seperti sahabatku bisa berpetualang kemana saja. Atau seperti temanku satu lagi yang sudah dipinang oleh laki-laki yang yang ia sayangi, dengan janji masa depan cerah.

Tapi, di kehidupan ini aku harus memilih, mana yang lebih aku mau.

Yang aku ingat adalah bola mata sahabatku yang biru menatap kepadaku saat ia menjawabku.

"People who do not get it are always skeptical about travellers. I mean how can they travel the world. Where do they get all the money?"

"They forget that I cannot afford everything. I probably do not have what they have."



Ya, at the end, we have to choose what goes well with this slice of pie.

Comments

Popular Posts