Satu Perempuan

Author's note : Ada satu orang yang mengawali segalanya. Cerita impromptu ini tidak terlalu panjang untuk disebut cerpen, terlalu bertele tele dan kurang mengindahkan jika disebut puisi. Tidak tahu bagaimana menyebutnya, tapi ini di dedikasikan kepada yang sedang jatuh cinta tanpa pikiran panjang. Perasaan yang halus namun juga tegas. Kalut yang mereka sebut galau, yang ternyata adalah obsesi



SATU PEREMPUAN

Dari sejak pertama kali kami bertemu di klub buku itu, seperti kebanyakan dari kami, ia adalah individu yang pendiam. Aku pelajari dia. Rambut sebahunya terurai mengembang tanpa peduli ia sisir rapih. Ia mengenakan skarf abu abu yang melilit lehernya, baju yang cukup panjang menggantung di bawah panggulnya yang terbilang subur dan sejenis celana kain hitam yang membalut ketat kakinya yang tidak jenjang namun ramping. Hanya saja dia tidak mengenakan kacamata atau sejenisnya. Kalau orang berpapasan dengannya, tidak ada yang tahu bahwa penyuka Sylvia Plath ini merupakan individu dengan karakter yang gemar membaca.

Salah satu dari feminis muda yang pernah aku temui. Bagaimana aku tahu? Ya, aku tegur saja dia. Ia mempunyai tawa renyah dan sederhana saat sekali dua kali aku berkilah argumen dengannya. Tidak nampak begitu menyeramkan gadis satu ini.

Sampai suatu Kamis aku memberanikan diri untuk mengajaknya keluar, ia malah tertawa. Aku rasa dia bercanda saat ia berkata tidak ada lelaki yang pernah memacarinya atau yang mengajaknya keluar.

"Yang ada malah aku yang terobsesi dengan laki laki. Aku yang mengajak mereka keluar."

Tapi, bukankah seorang feminis tidak harus merasakan keinginan untuk mendekati lawan jenis pertama kali, meskipun ketertarikan itu terasa amat kuat. Bukannya ia harus lebih berhati hati dan kecermatan lebih dari perempuan lain. Ini bukan masalah persepsi, hanya saja kebanyakan perempuan yang aku temui selalu menunjukkan perilaku yang sama. Gengsi. Menjaga harga diri.

"Saya ini feminis, tapi bukan seksis." ujarnya. Aku memperhatikan garis cekung di dahinya yang gagal ia sembunyikan. Nampaknya ada beberapa ucapanku yang ia dapati sumbang. "Saya percaya dengan kesempatan rata dan semua manusia lahir dengan derajat sama. Entah siapa yang melahirkan wanti wanti bahwa perempuan tidak sepatutnya menjadi yang pertama mengajak atau menyatakan kepada laki laki. Kadang perempuan melihat laki laki sebagai penjahat seksual. Kejam. Saya rasa. Sama kejamnya seperti laki laki dengan stereotype mereka terhadap perempuan -- penghasut dan pemberdaya. Bahkan dalam isu gender pun ada politik macam ini."

Aku tawarkan ia sebatang rokok tapi ia menolak secara halus.

"Dan, aku tidak percaya dengan kesempatan kedua. Kalau kita suka seharusnya kita bilang. Kita bukan anak kecil lagi yang harus berbisik kepada orangtuanya, minta diambilkan seonggok permen dari laci lemari atas. Kita sudah dewasa dan dunia ini juga makin dewasa. Semua orang saling menyikut dalam hal apapun. Kita harus senantiasa bergerak."

"Tapi bukannya aku takut hidup lajang. Bukan. Aku hanya menyukai hubungan antar manusia. Indah. Dan, bukan berarti aku menyukai banyak lelaki di dalam hidupku. Hanya segelintir.  Jiwa jiwa terbengkalai. Anak anak buangan seperti aku. Bukan mereka yang mengendarai mobil mewah dan hidup dari kartu kredit orangtua mereka."

Mata belonya melirik kepadaku.

"Aku bercakap terlalu panjang, ya?"

Aku rasa.

"Aku tidak mau kau ajak keluar...."

....Apa maksudnya

"...Nanti dulu, jangan kaget." Aku rasa ekspresi di wajahku membuatnya tertawa. "Aku yang mau ajak kamu keluar. Karena aku bukan gadis yang terbiasa diajak keluar, melainkan sebaliknya. Akan terasa seperti bukan kencan kalau bukan aku yang mengajakmu keluar. Lagipula, ngobrol seperti ini sudah membuatmu mengetahui aku bukan? Nah, aku juga ingin mengetahuimu."

Aku hanya menyertai tawanya. "Kau memang gila." Memang gila, tapi aku merasa sedikit tersanjung dengan kebaikannya.

"Oke, jadi dimana?"

Sabtu itu, berselang dua hari setelah kami membuat perjanjian singkat itu. Aku akan menemuinya di alun alun dan pasrah saja mengikuti alur cerita sore ini. Ia nampak tidak berbeda dari hari biasanya, kali ini ia menggulung rambutnya dan memasang sedikit riasan agar membuat kulit putihnya tidak nampak pucat. Tapi yang membuatku menggelengkan kepala adalah saat ia turun dari sepeda. Dengan bercanda ia mengutarakan bahwa ia tidak bisa menjemputku secara formal karena tidak ada kendaraan. Dan aku balas, tidak mengapa.

Rasanya tidak ada yang berbeda dari penampilanku, kecuali mengenakan dalaman beserta kemeja flannel keluaran Wrangler yang nyaris merengguh kantong jajanku untuk sebulan. Tapi semuanya aku kerahkan untuk berpenampilan sewajarnya.

"Hai, ganteng." begitu ia menyapaku.

"Hai," jawabku seakan mengiyakan dan dalam hati mengaminkan. Entah perlu atau tidak aku membalasnya dengan sebutan 'cantik'. Aku merasa di satu sisi ia akan merasa terendahkan karena dipuji hanya dari fisik saja.

Ia tidak menggamit tanganku. Kami hanya berjalan berdampingan sambil sesekali buku buku tangan kami beradu begitu jalanan menyempit. Ia mengajakku ke pasar sore terlebih dahulu. Melihat kain kain yang berayun dari tiap toko. Rasanya bukan seperti di negeri sendiri dan dengan melihatnya berdiri di balik kain warna warni yang menembus jarang jarang. Mungkin aku ini adalah pria yang visual dan kesederhanaan gadis ini cukup membuatku terpukau. Alis matanya yang tebal. Bulu matanya yang jarang nan panjang. Gigi depannya yang besar dan kantung matanya yang mengitam dan cembung. 

"Semenjak kau menyatakan sedikit menyukaiku, ada yang membuatku heran. Aku jadi penasaran bagaimana kamu sekarang menilaiku. Biasanya kalau aku suka dengan seseorang, aku tidak pernah menyukai dari pandangan pertama namun aku akan langsung terobsesi dengan cepat. Apa kau terobsesi denganku?"

Hanya dalam batas sewajarnya.

"Obsesi tidak pernah wajar."

Terus kami berhenti dan masuk ke dalam teater. Nyaris kami melewatkan bagian awal film karena berdiskusi panjang lebar. Semasuknya ke dalam teater kami diam. Film yang kami tonton adalah film Hollywood ringan yang memang tipe blockbuster popcorn, tapi cukup menghibur.

"Semua orang mempunyai cara yang berbeda dalam menyukai. Jadi bisa dibilang aku tidak juga terobsesi." Aku mencoba melanjutkan pembicaraan.

"Aku hanya ingin mencoba terhubung dengan perasaanmu. Itu saja." 

Kami terus berjalan dan tanpa aku sadari jemarinya sudah menggamit jemariku. Begitu ia aku pandangi, ia tidak menutupi wajahnya yang tersipu namun tidak malu. Malah tertawa. Ia mengajakku makan di salah satu restoran lama.

Kita bercerita tentang banyak hal di dalam, tapi ia sengaja memilih diam dan mendengarkan. Baru kali ini aku merasakan dimanja oleh seorang perempuan. Dan, mengeluarkan keluh kesah tidak biasanya terasa begini menyenangkan. Mungkin dopamin di pusat sarafku berkerja dan aku merasakan sensasi yang luar biasa aneh dan menyenangkan saat itu, saat dua bola matanya menatapku.

Saat kami keluar dari restoran dan kali ini aku menggamit tangannya. Saat ia menatapku bergantian dengan tersipu dan menahan malu.

Saat jalanan itu sepi dan surut pejalan. Saat wajah kami maju ke depan, dan membalap mengejar nafas satu satu dari bibir masing masing.

Mata itu memandangku sayu. Sedangkan, aku merasa aliran oksitoksin deras dalam sarafku. Entah apa ia merasakan yang sama. 

Malam itu ia mengantarku pulang, atau sebaliknya. Aku memboncengnya di kursi sepeda belakang.
Malam itu juga ia mengantarku dalam nyala yang membuatku bangun sepanjangan.
Mengantar semangat hari hariku yang tertuju kepadanya

Tapi, tidak. Dia tidak pernah muncul lagi setelah itu. Mungkin ia membuat hal ini nyata. Ia mencoba terhubung denganku. Hanya pada akhirnya, ia tidak bisa. Hal yang aku cerna setelah bertahun tahun semenjak ia hilang kemana.

Ia adalah satu perempuan yang mengawali segalanya dan berhala dihati ini penuh dengan lekukan wajah dan tubuhnya, semburat nada suara dan tawanya, aku nyaris gila. Aku berharap berhala itu dihancurkan dan agar aku berhenti memuja.

Comments

Popular Posts